Oleh Zulkarnaini Diran
Selesai mengambil honorarium tulisan di media tempat saya menulis, saya menyempatkan diri singgah di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Sudirman 52 Padang. Ada beberapa orang pejabat yang saya kenal di kantor itu. Salah satu di antaranya adalah Drs. Syamsir Alam. Beliau menjadi pengawas sekolah SMP dan SMA. Beliau saya kenal dekat karena beberapa kegiatannya pernah saya tulis dan saya ulas. Beliau adalah pakar dan praktisi perpustakaan sekolah. Beliau berjuang untuk mengembangkan perpustakaan sekolah di Sumatera Barat. Ketika saya menulis tentang pentingnya perpustakaan sekolah dan perlunya perpustakaan sekolah dikelola dengan baik, beliau sangat apresiatif. Beliau menyukai tulisan-tulisan saya.
Saat saya masuk ke ruangan pengawas sekolah, beliau memperkenalkan saya kepada bapak-bapak pengawas sekolah yang ada di situ. Saya merasakan sesuatu, ada yang menyukai keberadaan saya dan banyak yang tidak mengharapkan kehadiran saya di ruangan itu. Itu perasaan atau filling saya saja. Memang tulisan-tulisan yang saya publikasikan di surat kabar daerah, banyak yang menyerempet-nyerempet dengan tugas kepengawasan dan mutu pendidikan. Mungkin ada yang merasa tersinggung, sehingga tidak menerima keberadaan saya. Mereka yang seperinsip dengan saya, tentu menyukai keberadaan saya.
Saya merasakan ada yang menyukai saya, ada tidak menyukai, bahkan ada yang membenci saya karena tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Saya senang seperti itu. Sekurang-kurangnya saya menjadi “terkenal”. Minimal saya merasakan bahwa menjadi “terkenal” di kalangan pendidikan di Sumatera Barat karena sering melontarkan kritikan-kritikan terhadap fenomena yang terjadi di dunia pendidikan. Saya dikenal orang karena saya menulis, saya “terkenal” saat itu karena tulisan saya. “Nyatakanlah dirimu dan eksistensimu melalui tulisan-tulisanmu,” kata orang-orang bijak.
Hari itu juga, saya diundang oleh Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum (Kabid Dikmenum) ke ruangannya. Kebetulan ruangan Pengawas Sekolah hanya berbatas satu gang dari ruang Kabid. Dengan ramah, Kabid Dikmenum, Drs. A. Karim (kini: almarhum) menanyakan kepada saya perihal tulisan yang berjudul “Wakil Kepala Sekolah itu Jabatan Apa”. Yang beliau tanyakan itu adalah “keinginan” saya tentang wakil kepala sekolah. Saya jelaskan kepada beliau seperti yang tertera di dalam artikel itu.
Saya ingin wakil itu adalah wakil kepala sekolah, bukan wakil guru. Oleh karena itu dia harus ditunjuk oleh kepala sekolah berdasarkan kriteria tertentu. Bukan dipilih oleh guru seperti layaknya saat itu. Jika dipilih oleh guru, yang terpilih akan menjadi wakil guru, bukan wakil kepala sekolah. Maunya saya, wakil itu adalah unsur pemimpin di sekolah. Segala hal yang berhubungan dengan kepemimpinan sekolah, wakil harus terlibat. Termasuk di dalamnya masalah-masalah mendasar sepeti keuangan dan pengambilan keputusan.
Terakhir saya meminta dan memohon kepada kepala bidang agar wakil itu dijadikan kader kepala sekolah. Untuk menjadi pemimpin sekolah yang berkualitas harus ada kader. Kader itu dibuat atau dikaderkan. Satu-satu yang dikaderkan ialah wakil kepala sekolah. Untuk itu, para wakil ini harus ditingkatkan kemampuannya, ditatar. Penataran sekurang-kurangnya dilaksanakan di tingkat provinsi. Itulah permohonan dan permintaan saya kepada Kabid Dikmenum A. Karim.
Lama beliau tercenung memikirkan permohonan saya itu. Kemudian terlontar dari mulutnya pertanyaan tentang anggaran untuk penataran. Spontan saya menjawab. Ada tiga solusi. Pertama, wakil membiayai sendiri untuk ikuti penataran. Kedua, dibiayai oleh sekolahnya dari dana Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3). Ketiga, dibiayai oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Akhirnya, diskusi hampir satu jam itu berakhir.
Yah, diskusi dengan Kabid Dikmenum yang terkenal “menakutkan” itu ternyata bisa terjadi. Hal itu tidak lain karena ada “tulisan”. Saya menulis, dan menulis. Karena tulisan-tulisan itu saya berkontribusi untuk para pengambil keputusan. Sekurang-kurangnya begitu pikiran saya.
Lebih kurang dua bulan setelah diskusi dengan Kabid Dikmenum itu, saya sebagai wakil kepala sekolah mendapat undangan. Undangan penataran wakil kepala sekolah angkatan pertama. Saya bergembira, saya bersyukur. Bukan karena saya diundang saja, saya bergembira, tetapi yang paling menggembirakan adalah tulisan saya berupa kritik dan saran tentang posisi wakil kepala sekolah direspon oleh para pejabat pendidikan. Akhirnya, penataran itu pun dilaksanakan dengan biaya dari dana BP3 yang disetorkan sebanyak dua setengah persen tiap bulan ke Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Sumatra Barat. Saya berbahagia dan bergembira karena dapat berkontribusi lewat tulisan. Oleh sebab itu saya terus menulis dan menulis.