Hobi “Menyerempet”

Oleh Zulkarnaini Diran

Selesai mengambil honor tulisan dari Singgalang di Jalan Veteran, dari Haluan di Jalan Damar, dan dari Semangat di Balai Prajurit Imam Bonjol, saya berjalan ke Toko Buku Anggrek (kemudian menjadi Sari Anggrek). Seperti biasa saya lakukan, kalau menerima honor tulisan, prioritas utama adalah buku dan keperluan tulis-menulis lainnya. Kadang-kadang tanpa disadari honor satu bulan habis untuk buku. Saat itu saya membeli buku berjudul “Kritik dan Solusinya”. Penulisnya saya tidak ingat. Penerbitnya Gramedia. Buku setebal seratus halaman itu sangat menarik bagi saya. Selain bahasanya yang mengalir dan mudah dicerna, isinya sangat bernas.

Isi buku itu mendorong saya untuk mengembangkan pola tulisan. Jika selama ini tulisan saya berbicara tentang pendidikan, pembelajaran, bahasa, sastra, dan seni kini memasuki wilayah baru yakni “mengeritik birokrasi pendidikan”. Saya mulai melihat, mengamati, mencatat, dan memahami fenomena pendidikan mulai dari kelas sampai kepada pengelolaan oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil pengamatan saya itu saya rekam dengan baik. Rekaman itu saya dokumentasikan. Ada yang dalam bentuk catatan dan ada yang dalam bentuk foto, gambar, dan pita kaset.

Fenomena-fenomena itu menjadi bahan baku tulisan saya. Kondisi sekolah, pengelolaan pembelajaran di sekolah, pengelolaan keuangan di sekolah menjadi bahan baku tulisan saya. Saya ceritaka kondisi ril di sekolah secara umum, saya kaitkan dengan ketentuan yang berlaku, kemudian saya nukilkan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi. Kemudian saya tawarkan solusinya. Solusi yang saya tawarkan sesuai dengan permasalahan (kesenjangan antara kenyataan dengan yang seharusnya) yang terjadi. Tulisan-tulisan seperti itu belum banyak yang ingin membuatnya, apalagi dari kalangan guru. Tulisan seperti itu dianggap “menantang matahari”. Beberapa orang teman dekat mengingatakan saya, bahwa tulisan saya bisa membahayakan diri sendiri.

Dampak tulisan itu luar biasa. Kepala sekolah mulai ingin tau, Zulkarnaini itu seperti apa. Pejabat pendidikan mulai menyigi dan mengintip eksistensi saya. Pejabat sturktural dan pejabat fungsional mulai menimbang-nimbang eksistensi Zulkarnaini dengan tulisan-tulisannya. Banyak yang sependapat dengan tulisan-tulisan yang saya publikasikan, tetapi lebih banyak yang kurang atau tidak sependapat. Apalagi tulisan-tulisan yang bernada kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang berlaku. Hal itu saya rasakan apabila saya bertemu dengan bapak-bapak birokrat pendidikan secara individu atau kelompok.

Banyak kejadian menarik di sekolah-sekolah. Hal-hal menarik itu tidak pernah atau jarang terungkap. Masalahnya hal-hal seperti itu selalu tertutup, atau ditutup-tutupi, tidak terpublikasi kepada masyarakat.  Misalanya dalam pengadaaan barang. Barang-barang yang dibeli dengan uang negara di sekolah, harganya sangat tinggi. Melebihi harga normal. Kala itu (tahun 1980-an) saya membeli satu rim kertas untuk kepentingan pribadi harganya Rp 1.000,00. Sementara sekolah tempat saya berugas dan beberapa sekolah lain membelinya Rp 4.000,00 satu rim. Kenapa mahal amat? Menjadi tanda tanya bagi saya.

Menyikapi hal itu saya lacak ke toko tempat berbelanjanya. Pemilik toko membenarkan bahwa harga sebenarnya hanya Rp 1000,00 sedangkan harga surat pertanggunang jawaban (SPJ)-nya Rp 4000,00. Memang pada harga paling tinggi itulah faktur dan kwitansi pembelian dikeluarkan toko. Kebenarannya terus saya cari ke Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) daerah itu. Saya menemui orang yang kompeten di bidang itu. Informasi yang didapat di kantor itu menjelaskan bahwa harga yang ditetapkan pemerintah memiliki rentangan. Itu ada regulasi yang mengatur. Rentangan jenis kertas seperti itu memang dari Rp 1.000,00 sampai dengan Rp 4.500,00. Jika ada yang mengambil harga Rp 4.000,00 itu sah menurut regulasi yang ada. Akhirnya saya hanya berkata, “oh”.

Hal-hal seperti itu menarik untuk ditulis. Sebenarnya itu membuka “borok” pengelolaan keuangan sekolah. Saya suka menelusuri dan menulis fenomena itu. Terus, kalau begitu akan banyak sekali uang-uang lebih belanjaan di sekolah. Uangnya untuk apa? Kepala sekolah saya orangnya terbuka. Semua investigasi yang saya lakukan dia benarkan. Sisa uang itu digunakan untuk “dana tak-tik”. Dana taktik itu adalah dana strategis dan untuk berjaga-jaga. Jika ada keperluan uang, tetapi tidak tertera di mata anggaran, dana itulah yang digunakan. Dari kepala sekolah itu saya tau bahwa di sekolah harus ada dana strategis yang di dalam mata anggaran tidak ada.

Kalau dapat yang begitu-begitu tidak usaha ditulis. Itu akan berdampak buruk kepada sekolah. Masyarakat nanti tau bahwa sekolah tempat “kebohongan penggunaan anggaran”. Itu saran beberapa kepala sekolah kepada saya. Oleh karena ketika itu saya wakil kepala sekolah, saya tidak jadi menulisnya. Akan tetapi, saya tau begitulah mereka yang kepala sekolah “bermain”. Ketika hal yang sama saya tanya kepada wakil kepala sekolah lain yang ada di sekitar saya, mereka tidak tahu sama sekali. Seluk-beluk keuangan tidak pernah diketahui wakil. Hanya kepala sekolah dan bendahara saja yang tahu masalah itu. Saya bersyukur mendapat kepala sekolah yang terbuka dan informasi keuangan pun ada pada saya.

Saya menyadari posisi wakil. Wakil kepala sekolah itu sebenarnya jabatan apa. Wakil kepala sekolah itu berperan sebagai wakil guru atau wakil kepala sekolah. Nah, inilah yang menarik saya tulis. Ini hal yang mungkin berpengaruh untuk ditulis. Lahirlah tulisan saya dan dipublikasikan pada Harian Haluan Padang di bawah judul, “Wakil Kepala Sekolah Itu Jabatan Apa?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *