Respon Pembaca, Menyemangati

Oleh Zulkarnaini Diran

Tulisan itu untuk dibaca. Kita menulis agar orang membacanya. Tulisan bukan hanya untuk kita, tetapi untuk para pembaca, untuk khalayak. Tidaklah berguna atau bermanfaat kita menulis, kalau orang tidak membacanya. Selain itu, setelah pembaca “mengonsumsi” tulisan kita, tentu ada yang diharapkan dari mereka. Seorang penulis memang sangat berharap, agar tulisannya direspon oleh pembacanya. Respon pembaca itu pun akan menyemangati penulis untuk terus menulis dan menulis.

Saya sebagai penulis yang juga terus belajar menulis, juga berpikiran demikian. Saya sangat berbahagia, gembira, dan senang kalau tulisan-tulisan yang diproduksi mendapat respon dari pembaca. Ada kebanggaan tersendiri manakala tulisan kita dibahas, dibincangkan oleh pembaca. Apa pun respon pembaca tetap menyenangkan penulis. Bisa jadi pembaca merepon positif atau negatif, tetapi yang jelas penulis tetap merasa berbahagia.

Respon seperti apapun dari pembaca, tetap dan selalu bermakna bagi penulis. Makna pertama yang ditangkap adalah merasa “penting”. Artinya, tulisan yang dibuat merasa diperhatikan oleh pembaca, merasa dipahami oleh pembaca. Mustahillah pembaca akan merespon, jika tulisan itu tidak penting atau tidak dipahaminya. Hal ini bermakna yang luas dan dalam bagi penulis. Apalagi penulis pemula yang tengah belajar sepeti saya, jika pembaca “mau memperkatakan” tulisan saya, saya sangat berterimakasih.

Respon pembaca muncul karena berbagai hal. Di antaranya adalah isi tulisan, bahasa yang digunakan, dan dampak tulisan terhadap lingkungan tertentu.Tulisan-tulisan saya yang terbit di surat kabar nasional terbitan daerah ini, umumnya direspon oleh orang yang terkait dengan isi tulisan. Ketika isi tulisan saya berbicara tentang guru, gurulah yang merespon. Kalau saya menggarap tulisan yang berisi pendidikan, para pendidik dan tenaga kependidikan itu merespon. Jadi, isi tulisan berpengaruh terhadap respon pembaca.

Bahasa yang digunakan juga besar pengaruhnya terhadap pembaca. Tulisan saya dalam bentuk buku, “Minangkabau Ranah nan Elok, dan Minangkabau Ranah nan Den Cinto” selain disukai oleh pembaca dari segi isinya, juga karena bahasanya. Saya melakukan penelitian dengan responden terbatas (pendidik dan peserta didik). Penelitian bertajuk “keunggulan buku pelajaran” Budaya Alam Minangkabau (BAM) untuk SD dan SLTP. Ternyata, mayoritas responden menjawab, buku itu dipakai selain karena isinya, yang paling penting adalah bahasanya. Memang saya menggunakan ragam bahasa anak setingkat SD dan SLTP untuk menyajkan buku itu.

Dampak tulisan juga akan melahirkan respon dari pembaca. Maksudnya, keberadaan tulisan itu berpengaruh terhadap kondisi-kondisi tertentu. Misalnya tulisan tentang pendidikan, bisa berpengaruh terhadap para pengambil keputusan atau pelaksana pendidikan. Ketika tulisan dengan topik tertentu dibaca oleh orang yang terkait dengan topik itu, maka akan berpengaruh kepadanya secara langsung atau tidak langsung. Hal itu juga akan memunculkan respon dari mereka. Jadi, isi tulisan, bahasa yang digunakan, dan dampak tulisan akan mengundag respon dari pembaca.

Tulisan-tulisan saya yang terpublikasi mendapat respon dari berbagai kalangan. Tentu sangat ditentukan oleh ketiga hal di atas. Saya merasa bermakna melahirkan tulisan itu karena ada respon dari pembaca. Para pembca merespon tulisan saya dengan berbagai cara.

Ada yang merespon tulisan saya melalui surat. Mereka menulis surat kepada saya. Ada seorang guru Bahasa Indonesia dari Kota Solok. Bu Emi (Zulhelmi, kini Pengawas Sekolah di Kota Solok dan telah purnatugas), menulis surat kepada saya. Ia nyatakan, tulisan saya sangat mengena di hatinya. Ia menyukai tulisan itu. Bahasanya mengalir, isinya menyentuh, dan masalah yang diangkat sangat layak. Untuk tulisan-tulisan itu ia meminta saya untuk menceritakan pengalaman menulis saya. Ia mengaku “ingin belajar” dari pengalaman saya. Hal-hal seperti itu membuat saya semakin bersemangat menulis. Dan saya terus menulis dan menulis.

Suatu hari saya menerima sepucuk surat. Alamat penulisnya tertera sebagai siswa SMP di Padang. Isinya menyatakan bahwa tulisan saya tentang sastra sangat diminatinya. Tulisan saya tentang sastra memang lebih banyak menjebatani antara karya sastra dengan pembacanya. Pernyataan siswa ini saya lihat dalam suratnya sangat tulus. Selain menyatakan tulisan saya bagus, ia juga ingin berkenalan lebih lanjut dengan saya. “Saya ingin mengenal Zulkarnaini dari dekat, latar belakangnya, kehidupan sehari-harinya, dan pergaulannya sesame remaja,” begitu ditulis oleh siswa SMP dari kota Padang itu di dalam suratnya.

Rupanya, siswa yang menulis surat ini menganggap bahwa saya adalah siswa di SMP Empat Angkat (Ampek Angkek). Di bawah judul tulisan saya selalu dibubuhi nama, di bawah nama itu selalu saya tulis “SMP Empat Angkat, Agam”. Oleh karena labelnya sekolah tempat saya bertugas, siswa tersebut mengira saya juga siswa sama dengan dia. Saya memang tidak mencantumkan di bawah nama saya “guru”, hanya nama sekolah saja.

Untuk tidak mengecewakan penulis surat, siswa SMP di Padang ini, saya membalas suratnya. Saya tempatkan  diri saya sebagai siswa. Di antara yang saya tulis adalah, “Saya Zulkarnaini, lahir dari keluarga petani, keluarga sederhana. Tinggal di desa, di kampung yang setiap pagi menghirup udara bersih. Tidak ada polusi, tidak ada ampas gas knalpot kenderaan di kampung saya. Dalam suasana itulah Zulkarnaini menapaki hidup dan kehidupannya.” Itulah di antaranya yang saya tulis. Lama kami berkorespondensi, lama juga rahasia itu terbuka. Mungkin ada satu tahun suratnya mengalir kepada saya dan konsekuensinya saya juga harus membalas surat siswa itu dengan berpura-pura sebagai siswa juga.

Rahasia itu pun terbongkar. Saat itu ada Jambore Daerah Pramuka di Padang Besi, Kota Padang. Peserta Jambore itu berasal dari berbagai Kwartir Cabang Pramuka se-Sumatera Barat. Dari Kwartir Cabang Agam, ada dua regu pramuka (putra an putri) yang berasal dari Gugus Depan (Gudep) SMP Empat Angkat yang saya bina yang menjadi utusan. Pramuka penggalang yang saya itu saya persiapkan secara fisik dan mental. Mereka ikut ke Padang Besi untuk berjambore.

Siswa yang menjadi sahabat korespondensi saya itu juga menjadi utusan dari Kwartir Cabang Pramuka Kota Padang. Mendengar ada nama SMP Empat Angkat, siswa tersebut langsung mencari tau. Apakah Zulkarnaini ikut di dalam kontingen Kwarcab Agam. Cari punya cari, dia bertemu dengan seorang Pramuka Penggalang dari Gudep SMP Empat Angkat. Mereka berdialog, mereka bercerita, mereka berbicara tentang Zulkarnaini. Pramuka Penggalang binaan saya itu juga bercerita, betapa Zulkarnaini menjadi idolanya, Zulkarnaini menjadi panutannya. Tetapi hari ini “Kak Zul” tidak bisa ikut karena berangkat ke Bali untuk suatu kegiatan. Begitu Penggalang yang saya itu menjelaskan.

Siswa teman korenspondensi saya itu penasaran. Ingin mengorek informasi lebih banyak tentang Zulkarnaini. Pada akhir cerita seorang Pramuka Penggalang (Elfia- kini telah tiada) yang saya bina mengatakan, “Zulkarnaini itu adalah guru Bahasa Indonesia kami, dia Pembina Pramuka Kami, dan dia Pembina eksrakurikuler di sekolah kami.” Rahasia saya pun terbongkar. Sang siswa SMP di Padang yang menjadi teman korespondensi saya hampir satu tahun itu menyadari bahwa selama ini yang ia anggap siswa adalah guru. “Sahabat pena” yang selama ini dianggapnya remaja ternyata adalah seorang guru. Dia tidak kecewa, hal itu dibuktikan oleh suratnya yang disampaikan melalui Pramuka Penggalang saya.

Jalinan kejadian itu ternyata muncul bukan tiba-tiba. Peristiwa itu muncul karena tulisan, kejadian itu ada karena menulis. Oleh karena itu saya terus menulis, menulis, dan menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *