FASE PEMBELAJARAN BUDAYA ALAM MINANGKABAU ATAU KEMINANGKABAUAN

(bagian keempat)

Oleh Zulkarnaini Diran

Kini ada kecendrungan pemerintah kabupaten dan kota untuk kembali melaksanakan pembelajaran budaya Minangkabau pada satuan pendidikan. Hal itu terlihat munculnya aneka nama kurikulum muatan lokal tentang budaya Minankabau yang disusun di setiap daerah. Nama yang bermacam-amacm itu dibuat berdasarkan selera yang kompeten atau mungkin berdasarkan kajian teoretik dan empirik. Tidak perlulah dipermasalahkan soal nama menurut selera atau menurut kajian ilmiah. Hal penting yang menarik adalah adanya ”kecendrungan”untuk mebali ”mengajarkan” budaya Minangkabau pada satuan pendidikan.

Tentu saja hal penting utama yang harus diperhatikan oleh daerah dan tim penyusun kuriukuulum budaya Minangkabau adalah tujuan. Pertanyaan mendasar yang diajukan adalah, ”Apa tujuan kurikulum ini diajarkan pada satuan pendidikan?” Tujuan itu adalah landasan utama dalam penyusunan kurikulum. Bahkan, keberadaan kurikulum itu sendiri sangat ditentukan oleh tujuan yang dirumuskan. Selain itu, tujuan menjadi patokan dalam oprasional pembelajaran, penilaian, dan tindaklanjut. Jadi, tujuan adalah ”roh’ utama sebuah kurikulum.

Banyak pilihan tujuan yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan muatan lokal budaya Minangkabau. Hal itu tentu sangat tergantung kepada kajian keadaan dan kebutuhan daerah, satuan pendidikan, peserta didik, dan masyarakat di daerah itu. Kajian keadaan dan kebutuhan itu merupakan patokan utama dalam menetapkan tujuan. Tulisan ini menawarkan tujuan (alternatif) untuk kurikulum muatan lokal keminangkabauan. Alternatif itu adalah , ”Kurikulum ini bertujuan agar peserta didik mengenal, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan menerapkan nilai-nilaia budaya Minangkabau yang relevan dengan kehidupan sehari-hari”. Tujuan ini hanyalah aternatiif yang ditawarkan.

Tujuan itu memuat dua substansi utama. Kedua substansi itu adalah tujuan dan materi pembelajaran. Tujuan dimulai dari ”mengenal” sampai kepada ”menerapkan”, sedangkan materi pembelajaran adalah ”nilai-nilia budaya Minangkabau yang relevan dengan kehidupan sehari-hari”. Kedua substansi itu akan menjadi landasan dasar dalam pembelajaran (merencanakan, melaksanakan, menilai, dan mengevaluasi). Operasional kurikulum di kelas akan bertumpu kepada kedua substansi itu.

Tujuan di atas memiliki lima fase atau tahap. Fase pertama adalah ”mengenal” Mengenal adalah fase awal, fase paling bawah atau paling rendah. Kemungkinan untuk tujuan mengenal ini diperuntukkan bagi peserta didik kelas rendah pada sekolah dasar. Pada fase ini, jika peserta didik sudah mengenal ”materi”, berari tujuan kurikulum selesai. Hal yang harus menjadi pertimbangan adalah materi. Materi bukan hanya objek yang dipelajari, tetapi nilai-nilai yang melekat pada objek itu. Untuk kelas rendah seperti kelas satu, dua, dan tiga Sekolah Dasar, kira-kira  objek keminangkabauan yang cocok dengan keadaan dan kebutuhan peserta didik  dan nilai-nilai apa saja yang melekat pada objek itu. Hal itu pelu diperhitungkan.

Menetapkan objek keminangkabauan  dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya memang perlu analisis dan kajian yang mendalam. Karakteristik belajar dan kebutuhan peserta didik kelas satu, dua, dan tiga haruslah menjadi pertimbangan utama untuk fase  ”mengenal” ini. Apa pun objek  yang dipilih, haruslah bertumpu kepada keadaan dan kebutuhan peserta didik. Hal  fatal yang sering terjadi adalah  alpa mempertimbangkan hal ini. Penyusun kurikulum adalah orang dewasa dan pakar, kadang-kadang lupa mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan konsumennya. Kurikulum tidak dapat dilaksanakan, tidak berdayaguna, dan berhasilguna jika pertimbangan ini diabaikan.

Fase setelah  ”mengenal” adalah ”memahami”. Memahami  nilai-nilai yang melekat pada objek belajar atau materi keminangkabauan mungkin cocok untuk kelas tinggi Sekolah Dasar. Fase ini bisa jadi menjadi lanjutan dari fase awal atau fase dasar. Pada fase ini, pemahaman objek dan nilai-nilai yang terkadung di dalamnya menjadi perhatian. Tentu saja, tingkat memahami lebih tinggi daripada mengenal. Oleh karena itu diposisikan pada fase kedua jika mengenal diletakkan pada fase pertama. Jadi, jika dikaitkan dengan prinsip Kurikulum Merdeka, maka di Sekolah Dasar ada dua fase yakni ’Fase A dan B”.

Penetapan fase mengenal dan memahami pada sekolah dasar, bukanlah sesuatu yang absolut atau mutlak. Bisa jadi dengan objek tertentu, peserta didik dapat sampai ke fase di atasnya yaitu ”menghayati, mengapresiasi, dan menerapkan”. Hal itu sangat tergantung kepada pemilihan dan penetapan materi atau objek yang dipelajari. Untuk objek yang ”ringan-ringan”, bisa jadi, peserta didik yang di kelas rendah dapat mencapai tingkat menerapkan. Misalnya untuk materi-materi yang berhubungan dengan perilaku sehari-hari di dalam keluarga. Hal itu dapat diambil dari petatah atau petitih yang ringan-ringan.

Rumusan tujuan kurikulum menjadi pedoman penetapan fase pembeajaran. Penetapan fase itu dilihat dari pentahapan tujuan. Kemudian, fase itu dapat diberi identitas jika mengacu ke Kurikulum Merdeka yakni ”Fase A, B, dst.” Selain itu, objek belajar atau materi pelajaran dan nilai-nilai yang relevan yang melekat padanya, juga menjadi patokan penetapan fase pembelajaran. Jadi, tujuan dan materi pembelajaran adalah hal utama yang harus disikapi dalam menyusun fase pembelajaran. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Manna, Bengkulu Selatan, 17 Oktober 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *