MENUMBUH-KEMBANGKAN FITRAH BELAJAR ANAK

Oleh Zulkarnaini Diran

Fitrah adalah ciptaan Allah berupa potensi dasar bawaan manusia sejak lahir yang netral, lurus, dan suci. Ia ibarat benih yang memiliki segala potensi untuk tumbuh, berkembang, berbunga, dan berbuah. Setiap anak yang lahir telah memiliki fitrah-fitrah itu. Tugas utama ayah-bunda adalah menumbuh-kembangkan, merawat, dan meumpuk fitrah anak-anaknya sehingga menjadi optimal yang pada saatnya berbuah manis dan harum. Di sinilah terletaknya keluarga sebagai madrasah pertama dan utama dalam pendidikan. Satu dari sekian banyak fitrah bawaan anak, adalah fitrah ”belajar”.

Setiap anak adalah pebelajar yang tangguh dan hebat yang sejati. Tidak ada anak yang tidak suka belajar, kecuali fitrahnya dikaburkan, dibelokkan, dan disimpangkan. Tidak ada satu orang bayi pun yang putus asa belajar merangkak sampai ia pandai berlari. Fitrah belajar itu telah dibekalkan Allah kepada anak sejak di dalam rahim, sejak roh ditiupkan. Jika kemudian didapat, ada anak yang tidak suka, tidak mau, dan tidak bersemangat belajar, itu disebabkan oleh lingkungan tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya.

Lingkungan pertama yang diperdapat oleh anak adalah keluarga. Orang pertama atau suara pertama yang didengarnya adalah suara ayah (azan dan atau iqomah), kemudian disusul oleh dekapan bunda. Ayah-bunda adalah orang pertama dan utama yang berinteraksi dengan anak. Oleh anak, keduanyalah yang menjadi “lingkungannya”. Oleh karena itu, jika tejadi pengaburan, pembelokan, penyimpangan pada fitrah anak, khususnya fitrah belajar, kedua orang inilah “dalangnya”. Sebaliknya, jika fitrah itu tumbuh dan berkembang secara optimal, kedua orang ini pulalah penyebabnya.

Rasullullah mengatakan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, dan Nasrani.” (Hadis, Bukhari dan Muslim). Pengaburan, pembelokan, dan penyimpangan fitrah belajar anak dapat terjadi. Jika salah satu penyebabnya adalah ayah-bunda, tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antara faktor-faktor itu adalah kealpaan keduanya dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam menerima kehadiran “Sang Anak” dalam keluarga. Untuk mencegah agar jangan terjadi pengaburan, pembelokan, dan penyimpangan fitrah anak, ayah-bunda hendaklah mempersiapkan diri menjadi “guru” pertama dan utama di dalam keluarga.

Peluang fitrah belajar anak tumbuh dengan normal dan tidak normal sangat terbuka. Kondisi-kondisi lingkungan akan berkontribusi besar untuk itu. Lingkungan rumah tangga, lingkungan masayarakat sekitar, dan lingkungan lebih luas memungkinkan hal itu dapat terjadi. Bahkan secara spiritual pun Allah telah menegaskan di dalam QS Asy-Syam (91):7-8  “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya (7) Maka dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan (menyimpang) dan ketaqwaan (lurus) (8).”  Artinya, kemungkinan fitrah itu tumbuh dengan benar dan tidak benar ada peluangnya. Kuncinya tentu kembali kepada ayah-bunda.

Ayah-bunda perlu bekal untuk menumbuh-kembangkan fitrah belajar anak. Bekal itu pada dasarnya adalah modal utama dalam aktifitas “mendidik dalam rumah tangga”. Tentu saja bekal tersebut tidaklah didapat secara serta-merta, tetapi diperoleh melalui proses yang benar. Kondisi-kondisi kekinian, memungkinkan calon ayah-bunda, atau ayah-bunda memperoleh pengetahuan dan keterampilan tentang pendidikan anak di rumah tangga, khsusunya menumbuh-kembangkan fitrah belajar anak. Teknologi dan media yang tersedia cukup menghidangkan hal itu. Dari perolehan pengetahuan dan keterampilan itu, diharapkan muncul sikap tentang fitrah belar anak, cara menumbuh-kembangkannya, dan cara merawatnya.

Secara simpel, mungkin dapat dinukilkan seperti berikut ini. Menumbuh-kembangkan fitrah belajar anak dimulai dari ayah-bunda. Madrasahnya adalah keluarga. Prosesnya tentu sepanjang waktu dan terus-menerus. Hal-hal paraktis yang perlu dilakukan oleh ayah-bunda adalah: (1) mengenali kapasitas fitrah belajar anak; (2) mengidentifikasi kecendrungan-kecendrungan objek belajar anak – fitrah unik anak; (3) merancang kegiatan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang; (4) merancang mekanisme pengendalian; dan (5) merancang kegiatan evaluasi terhadap pertumbuhan fitrah belajar anak. Hal-hal praktis seperti ini, secara operasional dapat dicarikan sumbernya di berbagai lini. Tentu saja, kata kuncinya adalah ”kemauan” ayah-bunda.

Setiap anak yang lahir memiliki bekal fitrah belajar yang luarbiasa. Fitrah itu berpeluang tumbuh dan kembang secara normal. Dapat pula tumbuh dan berkembang secara tidak normal. Peluang-peluang itu terbuka lebar karena dipengaruhi oleh berbagai variabel. Di antaranya adalah pengaruh perlakuan ayah-bunda terhadap anak, pengaruh lingkungan keluarga, dan pengaruh lingkungan yang lebih besar seperti sekolah dan masyarakat. Jika pertumbuhan dan perkembangan fitrah belajar itu normal, maka amanlah anak dalam menggapai masa depannya, tetapi jika tidak normal, maka ayah-bunda harus melakukan intervensi. Oleh karena itu, ayah-bunda perlu membekali diri dalam mengoptimalkan usaha untuk menumbuh-kembangkan fitrah belajar anak.

Kita tentu berharap, setiap anak yang lahir di bumi ini, fitrah belajarnya dapat bertumbuh dan berkembang  secara normal dan optimal, sehingga semua orang dapat memanen “buah belajar yang manis dan harum”. Mudah-mudahan.

Manna, Bengkulu Selatan, 15 November 2023

2 comments

  1. Semoga fitrah belajar anak-anak kita semua tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang dapat menghambat kesuksesannya. Walaupun pada dasarnya tumbuh kembang anak-anak diperoleh dari guru pertamanya (kedua orang tuanya) namun pengaruh lingkungan sangat berpengaruh juga terhadap terjadinya pembelokan, pengaburan terhadap fitrah belajar anak. Mudah-mudahan fitrah belajar anak-anak kita semua terhindar dari pembelokan/pengaburan dan mereka dapat meraih kesuksesan. Aamiin….

    1. Ya, tiga komponen tidak terpisah dalam menumbuhkembangkan fitrah anak. Ayah-bunda (keluarga), institusi pendidikan, dan masyarakat. Pada fase awal, menurut kajian “pendidikan berbsis fitrah” orang tuo mendominasinya. Pada fase awal itu, lembaga keluarga meletakkan dasar-dasar penumbuhkembangan fitrah anak. Jika anak telah memperolehnya pada fase awal, kemudian dia ke sekolah dan masyarakat, mereka akan memiliki “kekebalan” terhadap pengaruh negatif pertumbuhan fitrah. Repotnya kini, ayah-bunda mewakilkan kepada “guru di sekolah” dan “masayarakat sekitar” peran yang seharusnya tidak boleh dan tidak layak diiwakilkan. Lihat “hebatnya” orang tua. Dengan alasan yang dibuat-buat, mereka ramai-ramai memasukkan anaknya ke “pondok” sejak dini, sejak tamat sekolah dasar. Bayangkan keanekaragaman pengaruh teman sebaya di pondok dan kemonotoran sistem yang digunakan pondok. Kadang-kadang itulah yang sering “disindir” dengan sebutan “sekolah hutan”.

      di sekolah hutan itu bersekolah semua hewan. Sekolahnya membuat sistem bahwa semua harus belajar tentang hal yang sama. Dipkasa siswa yang bernama kambing untuk berenang, dan murid yang bernama itu diwajibkan berlari. hahaha, senang bapak diskusi seperti ini, Fit. Ajaklah teman lain untuk terlibat dalam kajian-kajian pendidikan seperti ini. Salam, Fit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *