PEDULI

Oleh Zulkarnaini Diran

Saya melihat ke perangkat perekam. Di situ tertera, bahkwa saya telah “mangayuah” lebih dari 40 km.  Sebelum sampai ke rumah saya mampir di sebuah swalayan untuk membeli sesuatu. Begitu saya masuk, belum ada pengunjung lain. Hanya saya pengunjungnya saat itu. Untuk memudahkan mencari barang yang akan saya beli, saya bertanya langsung ke petugas swalayan itu. Di hanya menunjuk ke arah rak barang yang saya maksud. Dia tetap saja duduk di kursi sambil “bermain HP”.

Pada sudut pandang saya, pelayan ini tidak layak. “Pembeli adalah raja. Dia harus mendapat pelayanan terbaik atau prima. Saya tersinggung karena merasa tidak dilayani dengan baik. Saat itu saya ingin marah, ingin berkata kasar kepada pelayan yang masih muda belia ini. Saya berhak untuk marah. Akan tetapi, hal itu tidak saya lakukan. Saya tidak menunjukkan rasa kesal sedikitpun.

Saya tetap bediri di depan meja pelayan itu. “Apakah orang bersepeda boleh berbelanja,”tanya saya dengan nada sdikit berkelakar. Mendengar pertanyaan itu di melihat kepada saya dan menonaktifkan hp-nya. “Boleh, Tuk,” katanya. Tuk yang dimaksud adalah datuk untuk panggilan orang seusia saya di daerah itu. Meskipun pertanyaan saya dia jawab dan menghentikan kegiatan ber-hp-nya, namun wajahnya tidak memperlihatkan rasa “melayani” sedikit pun.

“Kamu sudah minum belum,” tanya saya lagi dengan nada juga berkelakar. “Sudah,” jawabnya pendek. “Wajahmua seperti orang belum minum, ucap saya lagi. Mendengar pernyataan itu barulah dia tersenyum. Wajahnya drastis berubah. Tampak diwajahnya kegembiraan. Saya mulai berpikir tentang kata “peduli”. Mungkin pelayan toko ini, selama ini, tidak “dipedulikan” oleh para pembelinya. Sebaliknya, dia juga tida peduli kepada orang yang berbelanja di  situ. Padahal, dia adalah pelayan toko yang harus ramah kepada setiap pelanggannya.

****

“Peduli” adalah sebuah kata. Kata ini mudah diucapkan, mudah dilontarkan. Kata ini, dalam implementasinya dapat sangat menyenangkan dan dapat pula sangat menyakitkan. Hal itu bisa dirasakan manakala “peduli” ditempatkan secara proporsional dan ruang dan waktu yang tepat. Ketika kita berada di suatu tempat, misalnya di tempat acara, orang-orang datang menyapa dan menyalami kita. Wau, betapa senangnya hati dan perasaan karena mereka “sangat peduli” kepada kita. Pada saat lain, betapa menyakitkan, kita sudah berada di situ, tidak ada yang melirik kepada kita. Jangankan menyapa dan menyalami, melirik pun tidak. Betapa sakitnya hati dan perasaan kita dalam kondisi ini.

Peduli adalah sebuah nilai dasar dan sikap memperhatikan dan bertindak proaktif terhadap kondisi atau keadaan sekitar. Keadaan sekitar  objeknya dapat bervariasi. Bisa objek benda-benda buatan, manusia, peristiwa atau kejadian, fenomena, dan sebagainya. Kepada objek itulah “peduli” diarahkan, ditujukan. Sedangkan peduli itu sendiri ”diperankan” oleh individu atau kelompok. Jadi seseorang atau sekelompok orang dapat peduli terhadap objek-objek tertentu. Jadi, peduli adalah nilai-nilai atau sikap seseorang atau kelompok. Sasarannya adalah objek tertentu. Sikap peduli yang tepat akan menyenangkan dan sikap peduli tidak tepat atau tidak peduli, produknya bisa meyakitkan.

Peduli muncul dari rasa empati. Empati adalah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Seseorang yang berempati kepada seseorang atau sekelompok orang, akan menempatkan diri pada posisi orang atau kelompok itu. Di situ ada rasa dan merasakan. Merasakan hal yang dialami oleh orang lain. Itulah empati.

Menurut Wikipedia, “Empati atau timbang rasa adalah daya untuk memahami atau merasakan apa yang dialami orang lain dari sudut pandang mereka, yakni daya untuk menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain. Defenisi empati mencakup berbagai proses sosial, kognitif, dan emosional yang tertutama berkaitan dengan memahami orang lain.”

Seseorang tidak akan peduli kalau tidak memiliki empati. Seseorang akan peduli kepada orang lain manakala dia merasakan apa yang dirasakan orang lain itu.  Semakin besar rasa empati yang dimiliki, semakn besar pula kepedulian terhadap objeknya. Peduli dan empati seperti memiliki hubungan kausal. “Aku peduli kepadamu, karena aku berempati. Atau karena aku merasakan apa yang kaurasakan, maka aku peduli padamu.

Ketika saya membayar belanjaan pada karyawan swalayan itu saya tanyakan agama yang dianutnya. Dia menjawab bahwa agamanya Islam. “Kamu pernah dengar bahwa senyum itu termaduk sedekah?” tanya saya kepadanya. “Pernah waktu sekolah dulu, dari guru agama, Tuk,” katanya. “Kalau begitu, belajarlah tersenyum, ya!, kata saya sambil berlalu.

****

Hari berikut saya berbelanja lagi ke swalayan itu. Begitu saya masuk, karyawan ini langsung menyapa saya. “Belanja apa Atuk hari ini?, tanyanya ramah. Saya hanya tersenyum sambil berlalu menuju rak belanjaan. Begitulah saya rasakan bahwa empati melahirkan kepedulian. Peduli dapa mengubah perilaku seseorang. Mari kita saling berempati sehingga muncul saling peduli.

Semoga tulisan sederhana ini bermafaat.

Baiturrahim, 26 November 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *