Oleh Zulkarnaini Diran
Pagi ini, Selasa 23 Januari 2024 rencana “mangayuah” – bersepeda agak jauh. Rute yang dirancang sekitar kota Padang melalui beberapa kecamatan. Jarak tempuh diperkirakan lebih sedikit 50 km dengan kecepatan 15 km perjam. Setelah menempuh jarak lebih kurang 20 km (Kampus II UNP, Air Dingin, Lubuk Minturun, dan menuju Sungai Lareh) muncul pikiran spontan. Sepeda dibelokkan ke arah baypass menuju sebuah tempat ”pertanian perkotaan atau urban farming” di kawasan Aia Pacah, Kototangah, Padang. Ya, akhirnya sampai di lokasi itu setelah menempuh jarak 22 km dalam catatan perangkat perekam.
Urban Farming milik Ir. Yustiadi. Adek, begitu saya memanggilnya. Dia adalah siswa saya yang pertama tahun 1978 di SMP Empat Angkat, Balaigurah, Agam, Sumatra Barat. Setahun yang lalu dia memasuki masa purnabakti dari “pejabat eselon” di Dinas Pertanian Provinsi Sumatra Barat. Begitu sampai di lokasi, ternyata pintu pagar masih tertutup. Tetangganya mengatakan, kalau mobilnya ada di dalam, berarti pemiliknya ada di rumah. Sebentar kemudian pemilik ”pertanian perkotaan” ini muncul dan membuka pagarnya.
Adek menyambut saya dengan rasa gembira. Kami bertemu di tempat yang sama tahun 2023 yang lalu. Saat itu siswa yang pernah tinggal bersama saya di rumah sewaan di Kotortuo, Balaigurah ini, menghadiahi saya dua jenis ikan (patin dan lele) untuk pengisi kolam di rumah. Terlihat di ekpresi wajahnya, pensiunan pejabat ini ”sangat senang” menerima gurunya yang berusia senja. Saat itu juga, Adek mengajak saya berkeliling area pertaniannya.
Lahannya tidak begitu luas. Namanya ”pertanian perkotaan”. Akan tetapi, isinya rada-rada lengkap. Misalnya tanaman, mulai dari selderi, kangngkung, terung, lengkeng, anggur, dan sebagainya ada di situ. Begitu juga ternak unggas, mulai dari ayam kampung sampai ayam hias dia koleksi. Di lahannya itu juga ditemukan peternakan ”lebah galo-galo” yang madunya sangat berkhasiat. Ikan hias, lele, patin, gurami hitam, dan gurami merah Padang lengkap di situ. Bahkan di pojok seberang jalan juga ada peternakan ikan belut. Sebagai ”pensiunan pejabat eselon” di dinas pertanian, memang koleksinya sangat lengkap. Begitulah sedikit gambaran ”Urban Farming” milik siswa saya ini.
Sambil menikmati seduhan ”minuman rempah-rempah” kami ngobrol ke sana kemari. Rupanya, Adek juga menelponi teman-temannya yang ada di Padang. Dia mengundang teman-teman seagkatannya untuk datang ke tempatnya karena ”pak guru” ada di situ. Banyak yang tinggal di Padang yang diundangnya. Akan tetapi yang bisa hadir hanya tiga orang yakni Yunasbi, pensiunan di Surat Kabar Haluan Padang, Irwan dan istrinya. Begitu kami sudah duduk bersama, sambil menikmati meinuman serta makan buah pepaya dan melon yang dihidangkan, Adek juga menelponi teman-temannya di seluruh Indonesia.
Reuni darat dan virtual pun terjadi secara spontan. Muncul secara virtual seperti Edi Saiful dari Medan, juga sudah pensiun, Armi dari Jambi, juga sudah pensiun. Ada Amran dari Padang, pengusaha. Ada Bakhrul juga dari Padang, menunggu masa pensiun. Muncul pula di vidio Iman Iskandar di Sungai Rumbai, Diana Hayati di Tanjung Pinang, Videl Syahril dari Jakarta, dan teman-temannya yang lain yang bergabung hari ini. Reuni spontan yang tidak diduga itupun terjadi. Saya juga menghubungi teman-teman guru mereka seperti Bu Zulfia Dalim, Bu Zulnita, Bu Kambarani, dan Bu Yuwerni. Pada saat makan siang, Bu Zulfia langsung menelpon. Sempurnalah reuni spontan itu.
Tiga malam sebelumnya saya juga mendapat telepon dari siswa seangkatan Adek- Yustiadi. Dia berpangkat terakhir Jendera Angkatan Darat. Jenderal Aufid namanya. Siswa saya ini mengiformasikan bahwa akhir tahun 2023 sudah pensiun dari Kementerian Hankam. Sebelum itu pun saya juga dihubungi via wa oleh sejumlah orang yang menyatakan bahwa mereka adalah siswa saya di SMP Empat Angkat, Kototuo, Balaigurah, IV Angkat, Agam. Umumnya mereka yang ASN-PNS memberitahukan sudah memasuki masa pensiunan dan ada yang menunggu bulan-bulan pensiun.
Sampai di rumah saya merenung dan membatin. Ternyata saya memang sudah tua, bahkan ”sangat tua” karena anak-anak yang pernah saya didik pun sudah banyak yang memasuiki masa pensiun. Renungan dalam membatin itu menyadarkan bahwa “usia tua” adalah kepastian, adalah kemutlakan. Ditunggu atau tidak, disadari atau tidak, ”tua” pasti datang. Pasti tua itu akan menjelma di dalam diri jika usia dipanjangkan Allah. Ketuaan tidak bisa ditolak, tidak bisa ditangkal. Dia pasti datang jika usia panjang.
Dalam renungan dan membatin itu saya pun sadar. Ternyata “anak-anak didik” yang berbudi tidak pernah lupa pada gurunya. Guru-guru yang pernah mendidik dan mengajarnya, tetap dia ingat. Tentu mereka mengingat dengan alasannya masing-masing. Saya kaget, secara spontan Armi muncul di layar HP dan langsung menyapa saya, Pak Zul. Padahal perpisahan dengan kelas tiga SMP Angkatan Pertama itu terjadi tahun 1980, berarti berpisah sudah 44 tahun. Armi masih ingat, begitu pula Edi Saiful, Diana Hayati, dan lain-lain.
Alhamdulillah, anak-anak saya tercinta. Kalian pun sudah mulai tua dan memasuki masa pensiun. Bapak kalian ini sudah merasa ”sangat tua” dalam konteks ini. Akan tetapi yang membuat bapak bahagia adalah kalian tidak pernah lupa, masih ingat kisah, cerita, dan peristiwa selama tiga tahun 1977 -1980. peristiawa itu terjadi 44 tahun silam. Terimakasih, anak-anak smoga silaturrahim ini tetap tersambung.
Padang, 23 Januari 2024
Wow, Bapak Guruku masih sehat dan kuat walau diusia yang pengakuan beliau sudah sangat tua. semoga melihat senyum Bapak teringat kembali kenangan waktu SMP ceritanya waktu itu Ekskul pramuka kaki ku sakit karena sepatu yang kupakai ukuran nya pas karena berdiri disiang hari ukuran kaki mulai mengembang ,melihat ku meraba kaki spontan Bapak nyeletuk gimana sepatunya mengigit kaki ya , dengan agak malu ku senyum kerah Bapak. Melihat wajah Bapak tersenyum lepas maka rasa maluku hilang. terimakasih Bapak guruku , gaya mengajar Bapak yang penuh kasih sayang dan tak membedakan siswa membuat ku mengikuti kebiasaan Bapak ketika mengajarku dulu