Oleh Zulkarnaini Diran
“… tetapi boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Ada dua orang sahabat, yang satu bernama Logika dan satu lagi Takdir. Keduanya tengah bersafari atau melakukan perjalanan dengan menggunakan mobil. Mereka telah melakukan perhitungan dengan cermat tentang perjalanan ini. Segala perlengkapan dipersiapkan, bekal dalam perjalanan pun dicukupkan. Kebutuhan kenderaan pun takluput dari perhitungan mereka. Begitulah perjalanan itu mereka mulai.
Secermat-cermatnya perhitungan mereka, ternyata ada saja kendala dalam perjalanan. Di tempat yang sepi, jauh dari kampung dan kota, di “pesawangan” mobil mereka kehabisan bahan bakar. Benar-benar habis sama sekali. Kenderaan itu tidak bisa bergerak sama sekali. Akhirnya mereka bersepakat untuk mendorong kenderaan ke pinggir jalan. Safari pun dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Ketika sore datang, malam pun menjelang. Mereka sepakat untuk bermalam dan tidak melanjutkan perjalanan. Di antara keduanya menetapkan pilihan masing-masing setelah berdiskusi panjang. Si Logika memilih tempat bermalam agak jauh dari jalan raya di bawah sebuah pohon. Ia berpikir, kalau terjadi sesuatu ia dapat menyelamatkan diri ke atas pohon. Selain itu, ia juga akan terhindar dari bahaya kenderaan di jalan raya.
Si Takdir menetapkan pilihan lain. Ia ingin tidur di atas aspal di tengah jalan raya. Perhitungannya, jika nanti ada kenderaan lewat, melihat ada orang tertidur di jalan, kenderaan itu akan berhenti. Dengan demikian, mereka dapat menumpang sehingga lebih cepat sampai ke tempat tujuan. Si Logika sudah manasehatkan sahabatnya, kalau tidur di jalan raya itu berbahaya. Jika kenderaan nanti lewat, dan sopirnya tidak bisa menegendalikan kenderaan, temannya Si Takdir bisa tergilas, dan meninggal dunia. Nasehati itu tidak diindahkan oleh Si Takdir.
Begitulah kedua sahabat itu mengambil keputusan masing-masing. Si Logikan tidur di bawah pohon kayu di pinggir jalan dan Si Takdir tidur di tengah jalan di atas aspal. Mereka pun mulai mengaso dan tidur pulas dengan segala resiko dari keputusannya masing-masing.
Saat keduanya tidur nyenyak, lewatlah sebuah truk besar di jalan raya itu. Truk melaju dengan kecepatan tinggi di tengah malam buta itu. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, sopir truk melihat ada benda tergelatak di tengah jalan. Semakin dekat semakin nyata. Benar ternyata ada orang tidur di tengah jalan. Serta-merta sopir truk menginjak rem, tapi apa daya mobil susah dikendalikan karena mengerem dengan mendadak. Saat itu sopir membanting strir dan menabrak pohon di pinggir jalan. Si Logika pun ikut tertabrak dan menghembuskan nafasnya terkahir. Si Takdir terbangun dan menyaksikan teman dekatnya tergilas truk.
Itulah fenomena faktual yang terbaca dalam kehidupan ini. Takdir dapat berlaku pada seseorang dalam hidup ini, meskipun berlawanan dengan logika. Sering kita berucap “tidak logis”, namun apabila sudah menjadi takdir, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah hidup dan kehidupan.
==================
Ingatlah! Kadang-kadang keterlambatan kita dalam bepergian, bisa jadi kebaikan untuk kita. Kadang-kadang terlambat atau tercepat menikah menjadi berkah sendiri dalam kehidupan. Kadang-kadang ditolaknya lamaran pekerjaan di suatu perusahaan akan menjadi kebaikan dalam hidup kita. Oleh karena itu, janganlah merasa galau dengan kejadian yang dialami. Semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah. Allah tidak pernah salah dalam menentukan suratan takdir. Namun, upaya maksimal tetaplah dianjurkan dalam menapaki kehidupan ini. Mari kita renungkan kembali QS Al-Baqarah: 216 secara intens!
(disarikan dari “110 Hikmah untuk Setiap Muslim”, Shahih Hasan, L.C., Mp.I)