JANGAN SOMBONG

Oleh Zulkarnaini Diran

وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِى الۡاَرۡضِ مَرَحًا ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٍ فَخُوۡرٍۚ

Wa laa tusa’-‘ir khaddaka linnaasi wa laa tamshi fil ardi maarahan innal laaha laa yuhibbu kulla mukhtaalin fakhuur

18. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. (QS Lukman, 31:18)

Sombong adalah penyakit. Ia merupakan sifat tercela. Sifat ini harus dihindari dan dijauhi oleh setiap insan. Sifat tercela ini dapat menjadi akar dari sifat-sifat tercela lainnya. Penyakit ini dapat “menyerang” semua orang. Sombong dapat menimpa ulama, pejabat, orang kaya, pengusaha, bahkan orang miskin dan orang bodoh pun dapat diserangnya.


الْـكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR Muslim). Penyakit ini diawali dengan ‘ujub. Ujub adalah sifat manusia yang merasa lebih dari orang lain. Orang yang dihinggapi sifat ini selalu merasa lebih baik, lebih hebat, dan lebih berjasa, dan sebagainya. Dua hal yang menonjol dari sifat ujub yakni bangga kepada diri sendiri dan bangga kepada milik sendiri. Dari kebanggaan itulah muncul bibit-bibit sombong di dalam diri.

Bangga kepada diri sendiri karena diri merasa lebih dari orang lain. Hal itu secara pisik misalnya,  tampilan yang gagah, cantik, dan sebagainya menjadikan diri merasa jauh lebih dari orang lain. Orang lain tidak menyerupainya. Kebanggaan yang berlebihan itu terus dipupuk dan dikembangkan terus-menerus. Pada akhirnya muncul rasa sombong yakni ”meremehkan” orang lain. Menganggap orang lain lebih rendah darinya karena tampilannya dianggap serba sempurna. Bangga kepada diri sendiri bermuara kepada ”sombong” yang beruwujud meremehhkan orang lain.

Bangga kepada milik sendiri karena merasa bahwa milik orang lain jauh lebih rendah dari yang dimilikinya. Seorang ilmuwan sangat bangga dengan ilmu yang dimilikinya, sehingga dia meremehkan orang lain yang dianggap ilmunya lebih rendah darinya. Seorang penusaha sangat bangga dengan kesuksesannya, sehingga keberhasilan orang lain jauh tertinggal darinya. Hal yang sama dapat terjadi pada profesi dan bidang-bidang lain. Bangga terhadap yang dimiliki dan dikaitkan  dengan orang lain, inilah yang disebut sombong.

Ujub adalah embrio dari sombong. Bedanya sangat tipis. Ujub hanyalah sekedar merasa bangga kepada diri sendiri dan hal yang dimiliki. Ujub akan menjelma menjadi sombong jika kebanggaan diri itu dibandingkan dengan orang lain. Sifat sombong memang diawali dengan kebanggaan yang berlebihan terhadap diri dan yang dimiliki oleh diri. Kebanggaan itu dihubungkan dan dibandingkan dengan orang lain, akhirnya bangga, angkuh, dan itulah sombong.

Sifat sombong ditandai dengan dua hal seperti di dalam hadis di atas. Pertama “menolak kebenaran” dan kedua “meremehkan manusia”. Jika dikaitkan dengan keidupan sehari-hari, betapa ”berbahayanya” sifat menolak kebenaran. Kalau semua kebenaran ditolak, kehidupan individu dan kehidupan bermasayarakat akan terncam. Kalau kebenaran relatif yang ditolak, mungkin masih dapat ditolerir, tetapi kalau kebenaran mutlak, seperti kebenaran agama yang ditolak, maka sifat sombong itu akan menjatuhkan seseorang menjadi kafir. Jadi, menolak kebenaran adalah penyakit, sombong adalah penyakit.

Meremehkan manusia adalah sifat sombong yang kedua. Ada kaitan dengan sifat yang pertama. Merasa benar sendiri, merasa hebat, merasa lebih, dan merasa bangga kepada diri sendiri dan yang dimiliki, akan cendrung meremehkan manusia lain. Jika dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, bertapa buruknya kondisi masyarakat, kalau tidak saling menghargai dan  tidak saling menghormati. Mungkin setiap saat akan terjadi benturan, pertengkaran, dan bahkan mungkin perkelahian antara individu dengan individu atau antara kelompok denga kelompok. Jadi, meremehkan manusia lain adalah penyakit,  sombong adalah penyakit.

Timothy Freke dalam bukunya “Rumi Wisdom: Daily Teaching from the Great Sufi Master” (diindonesiakan Abdullah Ali): “Hari-hari bersama Rumi: Ajaran-ajaran Harian Sang Maestro Sufi” New York, 2000:170 menulis dengan judul “November”. Isinya adalah,

” Seorang ulama angkuh tengah berlayar dengan perahu.

‘Pernahkah engkau mengkaji kitab-kitab, saudaraku?’

Ia bertanya kepada tukang perahu:

‘Tidak’, muncul jawaban yang memalukan. 

‘Kalau begitu hidupmu sampai sekarang telah sia-sia,’ ujar sang ulama. Tak lama kemudian, pusaran air menangkap perahu itu dalam arusnya. ’Pernahkah Anda belajar berenang, Tuan?’ tanya tukang perahu.

’Tidak, aku tidak punya waktu untuk bersenang-senang semacam itu,’ ulama itu menjawab.

‘Kalau begitu,’ ujar tukang perahu, ‘hidup Anda mulai sekarang telah sia-sia, karena kita akan tenggelam’”.

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *