”MENGINTIP” PENDIDIKAN AKHLAK

Oleh Zulkarnaini Diran

(Praktisi, Pemerhati, dan Trainer Pendidikan)

Kini, bahkan sejak empat puluh tahun terakhir masyarakat mengeluh. Keluhan utamanya adalah ”semakin besar kerusakan akhlak” generasi muda. Jika keluhan itu dilontarkan empat puluh tahun lalu, tentu generasi muda dulu itu kini telah menjadi generasi ”dewasa” atau generasi ”tua”. Logikanya, generasi dewasa, bahkan generasi tua sekarang adalah generasi yang ”besar kerusakan akhlaknya”. Nah, kalau begitu, manusia Indonesia yang ada sekarang, yang empat puluh tahun lalu generasi muda, kini menjadi generasi dewasa atau tua, memiliki akhlak yang rusak. Jika digeneralisasi, maka akhlak bangsa ini sudah sangat besar rusaknya. Masya-Allah, astagfirullah!

Orang awam atau “non-awam” biasanya membebankan semua kerusakan akhlak itu  ke lembaga pendidikan formal. Lembaga-lembaga itulah yang dianggap paling bertanggung-jawab dalam hal ini. Instansi yang mengurus pendidikan, kementerian yang membawahi institusi-institusi pendidikan dirujuk sebagai penanggungjawab. Lembaga dan instansi terkait mulai membuat ”proyek-proyek besar” yang menelan biaya besar pula. APBN dan APBD berkontribusi mendanai proyek-proyek itu.

Proyek besar itu telah dilaksanakan bertahun-tahun semisal “pendidikan budi pekerti, pendidikan akhlak, pendidikan karakter” adalah wujud kegiatan untuk menjawab keluhan masyarakat itu. Bahkan yang terakhir dikenal dengan “Profil Pelajar Pancasila”. Kemudian kabarnya berhasil menjadi “pameran seremonial” di lembaga pendidikan formal yang menggunakan berbagai istilah untuk menyatakan “keberhasilannya”. Berhasilkah instansi atau lembaga yang memikul beban itu “mengurangi kerusakan besar akhlak” generasi kini? Atau terjawabkah keluahan Masyarakat itu? Walahualam!

Ada “institusi” yang terabaikan atau terlupakan atau sengaja diabaikan dan dilupakan. Institusi itu  adalah ”keluarga” anggota intinya dua orang yakni ayah – bunda, ditambah dengan sejumlah anak. Keluarga adalah lembaga paling kecil di dalam suatu komunitas bangsa dan negara. Lembaga ini memeliki peran pertama dan utama dalam membangun akhlak manusia. Lembaga keluarga inilah peletak dasar pembangunan akhlak. Di sinilah sendi-sendi akhlak ditanamkan. Di sini pulalah akhlak dipelihara dan ditumbuh-kembangkan.  Hasilnya dilanjutkan oleh lembaga pendidikan dan masyarakat. Adakah mereka disentuh oleh ”proyek-proyek besar” yang menelan biaya triliunan rupiah setiap tahun itu? Entalah, hanya yang ”berwajiblah” yang tahu.

Rasulullah SAW berkata, “Orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang akhlaknya paling baik, dan yang paling baik di antara orang yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya kepada istrinya/ pasangannya.” (HR At-Tirmidzi-1162, Abu Dawud -4682, dll.) Menurut ulama dan ahli hadis, hadis ini sahiah, dapat dipercaya, dan dapat dibenarkan. “Orang yang paling baik dari yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya kepada pasangannya/istrinya. Artinya, orang yang  terbaik akhlaknya , itu ada di dalam keluarga yakni “ayah-bunda”. Ayah-bunda inilah embrio “orang terbaik” dari orang beriman terbaik yaitu yang terbaik akhlaknya.

Anak sejak lahir berada di bawah pegayoman ayah – bunda. Usai tangis pertamanya, ayah mengumandangkan ”kalimat tauhid” ke telinga anak yang baru lahir itu. Kalimat azan untuk anak lelaki dan kalimat iqamah untuk anak perempuan. Selama di dalam rahim, anak menyandarkan diri kepada Rabb-nya. Sang bayi menerima limpahan kasih sayang dari Yang Maha Pencipta. Tidak ada kehadiran siapa pun di dalam rahim, kecuali ”kasih sayang Allah”. Ketika lahir, sang bayi merepsenetasikan Rabb-nya kepada ayah – bunda. Dari kecamata pendidikan, pantaslah orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya kepada pasangannya. Oleh karena, akhlak ayah-bunda akan menjadi pundasi dasar untuk membangun generasi baru, generasi penerusnya.

Akhlak adalah sikap yang teraktualisasi dalam perilaku. Sikap itu sendiri adalah respon terhadap objek yang ada di luar diri. Respon itu muncul dari hati atau di dalam Islam disebut “qalbu”. Perilaku bersumber dari sikap yang baik, sikap yang baik berasal dari qalbu yang baik pula. Rentetan ketiga komponen itu bagaikan aliran air dari hulu ke muara. Hulunya adalah hati atau qalbu, alirannya adalah sikap, muaranya adalah perilaku yaitu tindakan-tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW  bersabda, ”Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Akhlak diperoleh melalui pendidikan, bukan pengajaran. Pendidikan yang mangkus adalah ”mencontohkan”. Pendidik “mencontohkan” kepada peserta didik perihal akhlak yang baik. Pendidik pertama dan utama seorang anak adalah ayah-bundanya. Akhlak ayah – bunda dalam bergaul sesamanya menjadi wahana pendidikan bagi anak. Interaksi  mereka sehari-hari akan menjadi teladan bagi anak. Secara tidak langsung, interaksi ayah – bunda akan ditiru dan dijadikan model oleh anak dalam berperilaku. Jika ayah – bunda menampilkan perilaku atau akhlak yang baik di dalam kehidupan sehari-hari, tentu akan menjadi patron bagi anak untuk tumbuh dan berkembang dalam berakhlak. Artinya, pendidikan akhlak pertama dan utama diterima anak dari ayah-bundanya yakni dari perilaku ayah – bundanya.  “…di antara orang yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya kepada istrinya/ pasangannya.”

Ibnu Qayyim berkata, “Di antara aspek yang sangat perlu diperhatikan dalam pendidikan anak adalah persoalan akhlak. Anak tumbuh sesuai dengan kebiasaan yang ditanamkan oleh pendidik masa kecilanya (kedua orang tua). Akhlak buruk anak tumbuh dari kedua orang tuanya, misalnya galak, suka marah, keras kepala, suka terburu-buru, cepat tergoda oleh hawa nafsu,ceroboh, dan cepat naik darah. Itu semua tertular dari akhlak yang ditampilkan oleh kedua orang tuanya”. Barangkali hal ini semakin meyakinkan kita bahwa ”akhlak satu generasi ke generasi berikutnya ditentukan oleh baik buruknya akhlak kedua orang tua terhadap pasangan di dalam rumah tangga”.

Penelusuran “terbalik” mungkin dapat dilakukan terhadap perialku anak. Sampel dapat diambil melalui kategori sederhana. Misanya anak yang berakhlak baik dalam berkomunikasi atau berbicara dengan orang lain. Diidentifikasi dua kelompok sederhana yakni anak yang santun berkomunikasi dan tidak atau kurang santun. Kemudian ditelusuri ke dalam keluarganya. Titik berat penelusuran akhir adalah ”cara ayah – bundanya berkomunikasi”. Hal itu akan dapat dibuktikan, bahwa anak yang ”kasar, galak, dan tidak sopan berbicara” akan menjadi representasi ”cara berkomunikasi kedua orang tuanya” di rumah. Penelitian-penetian paraktis seperti ini telah banyak dilakukan. Bahkan di Minangkabau dinyatakan dengan kiasan, ”baa tapak sarupo itu jajak – seperti apak bapak, seperti itu pula anak”.

Pendidikan akhlak mungkin agak ”naif” kalau dimulai hanya di institusi pendidikan formal. Sekurang-kurangnya tidak diperoleh hasil optimal, jika dimulai dari sekolah dan madrasah. Kepedulian pemerintah menyiapkan sekolah atau madrasah untuk pendidikan akhlak pantaslah ”diacungkan jempol” dengan proyek-proyek besar sepanjang tahun. Akan tetapi semua itu belum ”menghilangkan keluhan masayarakat”. ”Besarnya kerusakan ahklak” anak bangsa tidak terobati dan termetigasi dengan hanya pendidikan di lembaga formal. Oleh karena itu, seyogyanya telah menjadi pemikiran bangsa ini, untuk menyiapkan generasi berakhlak mulia melalui prosedur sistemik yang dimulai dari keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat.

Pendidikan akhlak dengan prosedur sistemik mungkin diawali dari pembentukan atau transformasi akhlak dari ”calon ayah – bunda”. Pasangan-pasangan yang akan menikah, yang akan membentuk keluarga baru dibekalai dengan pendidikan akhlak berumah tanga yang praktis tetapi akuntabel. Artinya pendidikan dalam bentuk praktik yang dapat dipertanggungjawab dan wujud “bedayaguna dan berhasilguna”. Dengan demikian, calon ibu dan dan calon ayah telah berbekal khusus “berakhlak kepada pasangan”. Hal itu dapat disandarkan secara konseptual kepada hadis yang dikuti di atas. “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya kepada pasangannya”. Ini sistem pertama yang mungkin dilakukan. Tentu lembaga pengelolanya bisa disesuaikan dengan menurut regulasi yang berlaku. Bila proyek besar pendidikan akhlak itu dialirkan sebagian kecil ke wilayah ini, mungkin akan berdampak lebih baik.

Sistem kedua adalah pendidikan akhlak untuk calon atau ayah – bunda setelah pernikahan. Tadinya, sebelum pernikahan, calaon ayah – bunda diberi pembekalan paraktis yang berdayaguna dan berhasil guna. Pada tataran ini benar-benar ”dipraktikkan” dalam kehidupan berumah tangga. Artinya, pasangan suami istri ini benar-benar merealisasikan bentuk-bentuk perilaku akhlak yang baik  terhadap pasangannya. Hal ini pun biasa dilakukan oleh instansi pemerintah atau masyarakat yang memiliki otoritas atau kewenangan untuk itu. Pengendalian, pengawasan, dan perbaikan terus-menerus dapat dilakukan secara intensif oleh lembaga atau instansi pembina dengan ”mengalirkan sebagian proyek besar pendidikan akhlak” itu untuk keperluan praktis di dalam keluarga.

Sistem selanjutnya dapat dilakukan di lembaga pendidikan formal dan asyarakat. Jadi ada garis lurus atau jenjang linier antara pendidikan akhlak yang dilakukan oleh keluarga dengan lembaga pendidikan dan masyarakat. Jika keluarga sebagai “madrasah pertama dan utama” yang meletakkan sendi atau fundasi akhlak, pendidikan formal merupakan pelanjutnya. Penumbuh-kembangan akhlak dilakukan di atas fundasi yang telah terbentuk itu. Kemudian, masyarakat dapat membantu menumbuh-kembangkan, memelihara, dan merawat akhlak anak di dalam komunitasnya. Artinya, masyarakat yang dimaksud adalah tempat suatu keluarga berdomisili atau berada. Biasa jadi, kalua di perkotaan adalah lingkungan rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Kalau di nagari bisa jadi di dusun atau di jorong atau korong.

Jadi, empatbelas abad yang lalu, Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya yang beriman, bahwa orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik ahklaknya kepada pasangannya. Hal itu merupakan aba-abak, bahwa akhlak itu diawali dari pasangan suami – istri, dari ayah – bunda. Dari situlah akhlak generasi berikutnya dibentuk, ditumbuhkan, dikembangkan, dan dipelihara. Pasangan inilah peletak fundasi atau dasar atau landasan akhlak suatu masyrakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan akhlak syogyanya diawali dari terbentuknya pasangan suami – istri, baru dilanjutkan ke pendidikan formal. Campur tangan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang bersifat nasional, tentulah sangat dibutuhkan. Dengan demikian, institusi paling awal dalam pendidikan akhlak, yakni keluarga, tidak terbaikan baik dari sudut kebijakan maupun pembiayaan. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat.

Padang, 6 November 2024

One comment

  1. Masya Allah …
    Luar biasa pak sangat menyentuh …pada saat ini memang pendidikan di keluarga yg terabaikan ini diawali dg komunikasi ortu yg kurang baik dg alasan rutinitas yg menyita waktu sehingga lupa klu di keluarga ortu adalah pendidik pemula yg sangat berpengaruh….terimakasih pak semoga sehat n bahagia selalu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *