MATA IBU

Oleh Zulkarnaini Diran

Dia adalah anak lelaki cerdas. Kemampuannya melebih anak-anak sebayanya. Terutama di bidang persekolahan atau pembelajaran, dia benar-benar berprestasi. Sejak di bangku Sekolah Dasar (SD) hal itu telah terlihat. Hasil belajarnya benar-benar luarbiasa. Tiap akhir semester dan tiap akhir tahun pelajaaran, juara umum selalu ada di tangannya. Dalam belajar dia selalu peringkat pertama umum di isntitusi pendidikan tempat dia belajar.

Di SD, SMP, dan SMA dia belajar sungguh-sungguh. Kesungguhan itulah yang membuatnya terus berprestasi. Setelah menamatkan SMA dia masuk ke perguruan tinggi pilihan tanpa tes. Dia melenggang saja memasuki fakultas dan jurusan pilihannya. Tiap semester, indeks prestasi (IP)-nya selalu tertinggi. Tiap tahun IP itu tidak pernah sumbing dari empat. Ketika menyelesaikan strata satu (S1) di perguruan tinggi ternama, dia lulus dengan dengan cumlaude atau dengan pujian. S1 dengan IP komulatif empat, selesai dalam tujuh semester atau tiga setengah tahun. Itulah prestasi anak ini di bidang akademik.

Nasib baiknya tidak hanya pada waktu menuntut ilmu, tetapi juga di lapangan pekerjaan. Ketika berada pada semester enam, sebuah perusahaan besar yang berkantor pusat di Singapura telah membukingnya untuk bekerja. Begitu menyelesaikan S1-nya, perusahaan yang memiliki cabang hampir di seluruh dunia itu langsung mengangkatnya sebagai staf. Karirnya pun melejit, dalam jangka waktu hanya dua tahun dia telah menempati posisi penting di perusahaan raksasa yang bergerak di bidang jasa itu.

Keberuntungan selalu mengikutinya. Dia menikah dengan seorang wanita Melayu kelahiran Filipina. Wanita cantik itu jebolan salah satu universitas  ternama di Amerika Serikat. Hasil perkawinannya itu melahirkan sepasang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Sempurnalah kehidupan rumah tangganya sebagai seorang lelaki sukses. Perisitiwa pernikahannya dan sampai kedua anaknya lahir terjadi di Bangkok, Tailan. Di kota itu dia bermukim karena salah satu cabang perusahaannya mempercayakan kepada lelaki ini untuk memimpinnya.

Hari itu dia bertugas ke Indonesia. Hati dan firasatnya mendorong untuk singgah di kota kelahirannya. Mumpung masih ada hari satu hari lagi untuk bertugas di Indonesia. Dia paksakan menjejakkan kaki di kota kelahiran yang tidak pernah dikunjunginya lagi sejak tamat SMA. Dari bandar udara dia terus saja menuju rumah tempat dia di lahirkan. Begitu sampai di rumah, tidak ada penghuni sama sekali. Kemudian sepasang kakek dan nenek, tetangga rumah itu menemuinya sambil memberikan kunci dan sebuah sampul berisi surat. Kedua orang tua pasangan sumi istri itu mengabarinya, bahwa ibunya telah tiada. Sebelum menghembusskan nafas terakhir, dia menitipkan kunci rumah dan sampul berisi surat itu.

Kini dia berada di pekuburan keluarga di pinggir kota di kampung kelahirannya. Di gundukan  tanah yang masih baru, belum ditumbuhi rerumputan dia bersimpuh. Pusara itu baru ditempati penghuninya sepekan yang yang lalu. Sementara tangan kanannya masih memegang lembaran kertas bertulis tangan. Isinya lembar kertas itu berkisah tentang dia dan ibunya. Tentang kehidupannya sampai dia bekerja. Kisah itu dinukilkan secara sederhana. Penulis kisah itu adalah ibunya yang kini terbaring diam di dalam kuburan yang ada di hadapannya.

Begini isi tulisan ibunya, ”Anakku semata wayang, begitu Kau membaca tulisan ini berarti ibu telah tiada. Ibu telah kembali ke haribaan-Nya. Namun, mata ibu masih tetap melihat gemerlapnya dunia. Mata ibu ada padamu, terpasang di kepalamu. Itulah mata ibu. Selama Kau masih ada, masih hidup, ibu akan tetap dapat menyaksikan gebalau kehidupan di dunia ini. Ya, kehidupan dunia yang hanya sementara”. Air mata lelaki itu mulai tumpah. Jika tadi hanya menggenang di pelupuk matanya, kini mulai jatuh membasahi pelipisnya dan terus menyatu dengan tanah pusara ibunya.

Tulisan itu pun dibacanya sambil terisak, ”Ibu memaklumi jika Kau malu menghadirkan ibu ketika menerima predikat juara pertama semester pertama di SMP. Pantaslah Kau merasa malu karena mata ibu hanya satu, yang satu lagi sudah tertutup dan tidak berfungsi lagi. Begitu seterusnya rasa malumu berkulindan dan menyatu, hingga ibu tidak mungkin mendampingimu ketika  menerima penghargaan dan berbagai prestasi di SLTA dan perguruan tinggi. Ketika Engkau diwisuda di perguruan tinggi terkenal itupun, ibu hanya menyaksikan di layar monitor televisi di rumah. Ibu tetap bangga memliki anak tuggal semata wayang yang menjadi sorotan media massa cetak dan elektronik, seorang anak pensiun guru menyandang berbagai prestasi.” Isak tangis lelaki itu akhirnya semakin menyesak ke dadanya. Kini bukan terisak lagi, tetapi dia benar-benar menangis dan menangis seperti anak kecil kehilangan mainan.

”Oh, ya. Rumah mewah yang Kau hadiahkan untuk ibu pada saat hari penikahanmu telah ibu terima. Ibu berterimakasih sungguh atas hadiah itu. Ibu pun tidak mendapat izin darimu untuk menyaksikan pernikahanmu di sebuah hotel mewah di Singapura. Ibu menyadari hal itu, karena ibu hanya memiliki satu mata. Sungguh ibu memaklumi, kalau ibu diizinkan hadir dalam helat besar itu, tentu Kau akan sangat malu karenanya. Begitu pengembang menyerahkan rumah besar serta sertifakat hak miliknya atas nama ibu, ibupun telah menghadirkan notaris di rumah. Saat itu juga, rumah tersebut telah ibu hibahkan ke sebuah yayasan yang mengelola dan menyantuni anak-anak tidak mampu. Alhamdulillah, mudah-mudahan itu semua menjadi amal jariyah bagimu dan bagi ibu”. Lelaki itu tidak lagi sekedar menangis, tetapi meratap bagai orang kesurupan. Tangannya mengais-ngais tanah pusara sambil berteriak, memanggil ibunya.

”Anakku, hampir dua puluh tahun Kau mengirimi ibu uang tiap bulan. Jumlahnya jauh melebihi kebutuhan ibu. Uang kirimanmu itu hanya singgah satu atau dua hari ke rekening ibu, kemudian segera ibu transfer ke rekening sebuah yayasan yang mengurus anak-anak cacat. Uang itu ibu sumbangkan untuk biaya operasional yayasan itu. Alhamdulillah, ibu diangkat sebagai ”penyantun utama” yang yang membantu anak-anak berkebutuhan khusus itu. Sungguh tidak satu sen pun yang ibu belanjakan untuk keperluan ibu. Oleh karena, pensiun ibu sebagai guru, dan pensiun janda dari almarhum ayahmu, sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan harian ibu. Semoga itu juga menjadi amal jariyah bagimu dan bagi ibu.

Lelaki itu terus membaca sambil menangis dan meratap, ”Kecelakaan itu terjadi ketika Kamu masih di Taman Kanak-kanak. Seperti biasa, pagi Kau diantarkan ayahmu ke sekolah yang tidak jauh dari rumah. Tiba-tiba sebuah truk menabrak sepeda motor ayahmu. Allah SWT menghendaki, ayahmu meninggal di tempat kejadian. Janjiannya di situ. Sementara Kamu terpelanting ke pekarangan rumah penduduk di pinggir jalan. Masyarakat menolongmu dan membawamu ke rumah sakit. Kamu selamat, ayahmu habis janjiannya. Ibu baru tau kejadian itu setengah  jam kemudian. Biasanya setelah mengantarmu ke sekolah, ayahmu menjeput ibu dan kami berbarengan ke sekolah karena sekolah tempat ibu mengajar berdekatan dengan sekolah tempat ayahmu mengajar.”

TuIisan ibunya yang pensiunan guru SMP itu terus dia baca, ”Jiwamu selamat dari musibah itu, tetapi sebelah matamu tidak dapat diselamatkan. Kamu akan cacat seumur hidup, kecuali ada donor mata. Tentu saja akan sulit ditemukan orang yang mau mendonorkan mata untukmu di kota kita ini. Saat itulah ibu mengambil keputusan, satu mata ibu dipersembahkan untuk matamu yang tidak dapat diselamatkan. Hasil pemeriksaan menyatakan, bahwa hal itu dapat dilakukan dokter. Sejak itulah, satu mata ibu menjadi matamu. Jadi, jika hari ini ibu telah tiada, mata ibu akan tetap melihat dunia, selama Kamu masih ada di dunia ini.”

Lelaki  itu terus meratap dan meratap. Ia meratapi kesalahan yang telah dia lakukan yakni rasa malu yang salah tempat.

****

Mari kita simak dan kita renungkan Firman Allah SWT berikut ini!

Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (Surat Al-Ahqaf ayat 15 )

Renungkan juga Hadis di ini!

Dari Bahz bin Hakim, ia berkata, “Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, kepada siapa aku berbakti? Rasulullah menjawab, ‘Kepada ibumu.’ Aku berkata, dan ’Kemudian kepada siapa?’ Jawab Rasululah, ’Kepada ibumu’ Aku berkata, kemudian kepada siapa? Jawab rasulullah, ’Kepada ibumu’. Kemudian kepada siapa,’Kepada ayahmu, kemudian kepada karibmu yang paling dekat, lalu yang paling dekat.” HR Abu Daud dan At-Tirmizi)

Padang – Manna, Pekan Kedua Januari 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *