Oleh Zulkarnaini Diran


Ahad, 19 Januari 2025 saya berulang-tahun. Saat ini usia saya tujuh puluh tiga tahun. Saya dan keluarga tidak memperingatinya dengan cara-cara khusus. Pada saat ulang tahun ini saya berada di kota Manna, Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Memang kami (saya dan istri) sengaja berkunjung ke sini untuk melihat anak, menantu, dan cucu. Mengetahui saya berulang tahun, anak dan menantu menyiapkan dua ekor ayam dan nasi ketan kuning. Mereka membuat ”panggang ayam” ala kampung kelahiran saya. Kemudian dihidangkan dan kami santap bersama-sama. Hanya begitu cara yang sudah dilazimkan di dalam keluarga.
Para sahabat, rekan, handaitolan, anak-anak, cucu, dan lain-lain mengucapkan selamat kepada saya. Hal itu saya terima melalui linimasa di fecebook, whatsapp, dan media lainnya. Sahabat dan teman bersepeda saya di Kota Manna, Pak Yulizar, pensiunan Bank Bengkulu, usai bersepeda 30 km, mengucapkan selamat kepada saya. Beliau, Pak Yul (panggilan akrab saya kepadanya) langsung mengajak saya menikmati teh telur dan katupek gulai tunjang di sebuah warung Padang di Kota Manna. Ucapan selamat para sahabat tidak dapat saya jawab satu-persatu. Melalui tulisan ini saya ucapkan terimakasih, semoga doa sahabat sekalian untuk kesehatan, keselamatan, dan keberkahan hidup dan umur saya dikabulkan oleh Allah SWT. Semoga pula ucapan selamat dan doa itu menjadi amal saleh bagi semua, amin Ya Robbal Alamin!
Harber Newton Cassson dalam bukunya ”Produktif di Usia Senja”(terjemahan) menyatakan, “Umur seseorang sebenarnya tidak bisa diukur dengan ulang tahun yang dialaminya. Yang berlaku bukanlah waktu jam, akan tetapi waku biologis (hayati). Manusia yang sesungguhnya adalah jiwanya. Badan hanyalah seperangkat yang mewadahi jiwa itu. Selagi manusia berfikir dan mencintai manusia-manusia lain, juga memperhatikan lingkungan sekitarnya, dia tidak usah kahwatir akan ketuaan jiwanya.” (2009:22-23)
Rata-rata usia harapan hidup (UHH) penduduk Indonesia pada tahun 2023 adalah 73,93 tahun. Angka ini merupakan perkiraan rata-rata jumlah tahun yang dapat dijalani seseorang sejak lahir. Jika berpatokan pada data itu, usia saya 73 tahun berarti telah hampir mencapai puncak rata-rata harapan hidup. Intinya, saya kini berada pada puncak usia, berada pada rata-rata umur tertinggi. Saya sudah tua. Dari pernyataan Casson di atas, hal yang patut saya catat adalah, “Manusia yang Sesungguhnya adalah jiwanya. Badan hanyalah seperangkat yang mewadahi jiwa itu.” Oleh karena itu, sampai pada usia ini, saya tetap berupaya untuk merawat kedua hal itu, yakni jiwa dan badan.
Upaya-upaya ”orang awam” yang saya lakukan untuk merawat badan adalah seperti yang banyak disarankan. Mengkosumsi makanan sesuai kebutuhan, istirahat yang cukup, dan berolahraga teratur adalah upaya ”orang awam” yang saya lakukan. Saya berlatih sejak lama untuk ketiga hal itu. Bahkan sebelum dikatakan ”tua” pun saya sudah berlatih untuk melakukannya. Makan bergizi yang saya pilih adalah yang alami, serba alami, dan berupaya menghindari makanan ”pabrikan”. Istirahat yang saya pilih juga sesuai dengan saran untuk ”orang awam”, yakni enam sampai delapan jam satu hari. Istirahat yang dimaksud termasuk tidur lelap. Sementara olahraga yang saya lakukan, selain berjalan kaki adalah bersepeda rutin. Beberapa tahun terkahir dalam rekaman perangkat bersepeda, saya bersepeda rata-rata 30 km setiap hari.
Allah SWT berfirman, “Dan Allah telah menciptakan kamu, kemudian mewafatkanmu, di antara kamu ada yang dikembalikan kepada usia yang tua renta (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah diketahuinya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahakuasa.”(QS An-Nahl, 70). Pikun tidak dapat dinafikan, ia akan menghinggapi manusia yang berusia lanjut. Itu penegasan Allah, tentulah itu kepastian, kemutlakan yang tidak terbantahkan. Kata para pakar, proses kepikunan hanya dapat diperlambat dengan berbagai upaya. Upaya-upaya itu berhubungan dengan memfungsikan pikiran, perasaan, dan jiwa secara optimal.
Di antara upaya-upaya yang saya lakukan untuk memperlambat proses kepikunan adalah membaca, menulis, berdiskusi, dan bersilaturahim. Setiap hari saya menyediakan waktu untuk membaca. Selalu saya pilih bacaan-bacaan yang menarik dan bermaanfaat. Tentu saja yang mutlak dibaca adalah Al-Quraan. Selain itu tiap hari saya sediakan waktu untuk menulis. Saya menulis untuk diri sendiri dan untuk dipubilikasi. Tulisan saya, selain dipublikasi dalam bentuk buku, juga melalui media sosial seperti blog, facebook, instagram, dan sebagainya. Melalui tulisan-tulisan yang dipublikasi itulah saya membuat ”jembatan silaturrahim” dengan para sabahat.
Tulisan-tulisan yang saya buat dikirim kepada para sahabat facebook dan whatsApp. Sahabat yang mendapat kiriman biasanya merespon dengan ucapan terimakasih. Kemudian diiringi dengan pertanyaan kabar tentang saya, di ujungnya mereka berdoa, semoga saya sehat. Peserta didik yang pernah belajar dengan saya di SMP, SMA, dan diklat teknis selalu mengiringi terimakasihnya dengan doa yang pantas untuk saya aminkan. Hal itu bukan hanya dikirim kepada sahabat, tetapi juga kepada kemenakan, cucu, dan cicit yang berjauhan dengan saya. Umumnya, mereka mengiringi terimakasih dengan doa. Jadi, tulisan-tulisan itu telah menjembatani silaturrahim antar-sesama.
Silaturrahim langsung biasa dilakukan dengan saudara seiman jemaah masjid. Pada hari-hari tertentu usai salat berjemaah, kami sediakan waktu untuk berbicang-bincang tentang banyak hal. Selain itu, silaturrahim juga dijalin melalui sahabat sehobi bersepeda. Sahabat sehobi yang sering menjadi teman diskusi banyak sekali. Di antaranya Prof. Dr. Herman Nirwana, M.Kons. Jika bergandengan bersepeda dengan beliau, diskusi selalu di dalam putaran topik pendidikan. Kadang-kadang tanpa disadari kami telah bersepeda puluhan kilometer sambil berdiskusi.
Membaca, menulis, berdiskusi, dan bersilaturrahin adalah upaya yang dilakukan untuk memperlambat proses kepikunan. Upaya yang sangat penting dan selalu pula dilakukan ialah berdoa kepada Allah SWT seperti Rasululullah, Muhammad SAW berdoa, ”Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut, dan aku berlindung kepada-Mu dari sikap serentah-rentahnya usia (pikun), aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur.” (HR Ahmad)
Casson 92009:15) , ”Harta benda yang paling berharga dalam hidup adalah hidup itu sendiri. Hidup ini adalah harta yang melebihi apa saja. Lebih mulia dari kekayaan, ketenaran, kekuasaan, dan kasih sayang.” Benar! Jika hidup telah berakhir, jika kematian telah datang, semua yang dimiliki tidak akan berguna lagi. Keluarga, harta, tabungan, rumah, mobil, dan sebagainya tidak bermanfaat lagi untuk dinikmati. Oleh karena itu, memanfaatkan umur yang ada, kehidupan yang ada dengan sebaik-baiknya adalah upaya untuk mempertahankan dan memelihara harta benda yang paling berharga itu.
Dari sekian banyak pesan dan ucapan selamat yang disampaikan kepada saya pada usia yang ”ketujuh puluh tiga tahun ini”, ada beberapa yang menyelipkan pertanyaan. ”Apa yang Mamak (panggilan akrab saya) lakukan sehari-hari sehingga tetap bugar dan bersemangat?”, katanya. Kemudian pertanyaan dengan redaksi berbeda, tetapi isinya sama dengan itu, juga banyak yang masuk ke whatsApp saya. Jawaban saya berikan di sini. Hanya tiga hal yang saya lakukan pada usia senja ini yakni, ”memelihara kesehatan, mengoptimalkan ibadah, dan berupaya untuk bermanfaat bagi orang lain”. Sebelum hal itu dilakukan, diawali dengan ”komitmen” yang terlahir dari renungan mendalam pada awal-awal memasuki usia senja.
Sekali lagi, saya ucapkan terimakasih kepada sahabat yang telah menyampaikan ucapan selamat dan mendoakan untuk kesehatan, keselamatan, dan keberkahan umur saya. Semoga allah SWT membalasinya dengan berlipatganda, amin YRA. Saya memohon maaf karena atensi dan ucapan itu tidak dapat saya balas satu-persatu. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat, salam!
Manna, Bengkulu Selatan, 20 Januari 2025
