Oleh Zulkarnaini Diran

Manusia hidup mencari kemuliaan. Untuk itulah dia berjuang mati-matian setiap waktu. Siang – malam membanting tulang, mengorbankan waktu, tenaga, dan materi untuk mencari atau mendapatkannya. Kadang-kadang manusia lupa tentang ”kemuliaan” itu. Mulia seperti apa yang mereka perjuangan, mulia seperti apa yang diharapkan, lupa konsepnya. Akhirnya usia senja menerjang, tenaga habis, materi tidak kunjung terkumpul, dan maut pun datang kemuliaan tidak tercapai. Hidup menjadi sia-sia. Masya-Allah.
Fenomena begitu banyak terjadi. Saya menyebutnya fenomena karena belum ditemukan hasil penelitian yang akurat tentang itu, tentang seorang manusia atau kelompok manusia yang mencari kemuliaan, tetapi tidak memahami sungguh-sungguh konsep kemuliaan itu. Pada perjalanan hidup sehari-hari fenomen itu terlihat. Ada Manusia yang ambisius mengumpulkan harta, menimbun kekayaan, menguber jabatan, memperjuangkan kedudukan, dan sebagainya, tetapi di ujungnya bukan kemuliaan yang didapat. Malah kadang-kadang kebalikannya yang diperoleh, yakni kehinaan.
Untuk menyimak fenomena itu tidaklah terlalu sulit. Media informasi menyajikan hal itu setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik. Informasi itu berseleweran di hadapan kita. Kadang-kadang tidak dicari pun informasi itu datang sendiri, masuk ke android kita lewat media sosial. Tentu, namanya fenomena tidaklah semuanya benar, tetapi sekedar untuk melihat bukti bahwa fenomena orang mengejar kemulian, tetapi tidak kunjung terwujud karena kemuliaan yang dicari tidak jelas konsepnya, dapat dilihat di situ.
Ada dua kemuliaan yang dicari, yakni mulia di hadapan manusia dan mulia di hadapan Allah SWT. Mulia di hadapan manusia tidak gampang mencarinya. Oleh karena, manusia memiliki indikator subjektif tentang kemuliaan. Indikator itu memiliki varian tinggi dalam kenyataannya. Mereka yang memiliki kekayaan melimpah, sukses berkarir, bergelar akademik berjibun, berparas cantik dan ganteng, berkuasa dalam suatu organisasi, berjabatan tinggi dalam pemerintahan, dan sebagainya adalah indikator-indikator kemuliaan yang dijadikan ukuran oleh masyarakat. Mengenai indikator ini belum ada kesepakatan untuk membakukannya. Oleh karena itu, mencari kemuliaan di hadapan manusia sungguh sangatlah rumit.
Meskipun mencari kemuliaan seperti itu sangat rumit, mereka yang menginginkan tetap saja berjuang untuk mendapatkannya. Mereka menghabiskan usia, tenaga, dan segala potensi untuk meraihnya. Kadang-kadang hal yang dicari bagaikan fatamorgana di gurun pasir. Ia terlihat nyata, tetapi ketika dijamah rupanya hanya bayangan. Pada usia senja, biasanya hal ini dirasakan. Ketika semua potensi sudah menurun dan berkurang, hal ini mulai terasa. Ternyata kemuliaan yang dicari hanyalah kemuliaan semu yakni kemuliaan di hadapan manusia dengan indikator yang bervariasi.
Berikutnya adalah kemuliaan di hadapan Allah SWT. Banyak yang berjuang untuk mendapatkan ini. Meskipun tidak semua yang berjuang memperolehnya, tetapi yang jelas upaya ke arah itu cukup sukses. Dalam proses mungkin upaya mendapatkan kemuliaan ini sama dengan mendapatkan kemuliaan di hadapan manusia. Akan tetapi, di dalam hasil sangatlah berbeda. Pasalnya, kemuliaan di hadapan Allah SWT ada indikatornya, jelas ukurannya, tidak ada variasi dari ukuran itu. Ukurannya adalah ukuran tunggal. Ukuran tunggal itu pun absolut dan pasti. Hal itu tentu hanya akan diyakini bukan hanya oleh pencari kemuliaan saja, tetapi ”pencari kemuliaan yang beriman”.
Allah SWT berfirman, ”…. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”(QS Al-Hujurat,49:13). Indikator kemuliaan di hadapan Allah SWT hanya satu, yakni ”paling bertaqwa”. Itu absolut, mutlak, tidak terbantahkan karena yang memfirmankan adalah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Teliti, dan Yang Maha Mengetahui. Tentu hal itu hanya dibenarkan oleh mereka yang ”beriman”.
Konsep taqwa itu pun tidak rumit, sederhana, dan simpel. Pengertian Taqwa secara etimologi adalah dari kata waqa – yaqi – wiqayah yang artinya menjaga diri, menghindari dan menjauhi. Sedangkan pengertian taqwa secara terminologi adalah ”Takut kepada Allah SWT dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan dengan menjauhi segala larangan-Nya. Konsep ini dapat diwujudkan dengan perjuangan yang penuh kesadaran. Mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dilandasi dengan penuh kesadaran, menjauhi larangannya pun demikian.
Banyak sekali ditemukan di dalam Al-Quran perintah untuk bertaqwa, agar hamba-Nya menjadi mulia di hadapan Allah SWT. Di antaranya, ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Ali Imran,3:102). Sekurang-kurangnya 259 kali kalimat taqwa ditemukan di dalam Al-Quran. Redaksi kalimatnya dapat bervariasi, tetapi intinya tetap bahwa bertaqwa itu adalah melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Berjuang dan berupaya untuk mendapatkan kemuliaan di hadapan Allah adalah pula berjuang dan berupaya menjadi orang yang paling bertaqwa. Jika memang kemuliaan seperti itu yang diharapkan, bukan kemuliaan di hadapan manusia, tentulah satu-satunya jalan adalah beribadah kepada-Nya. Allah memang memberikan alasan yang tegas pula untuk menciptakan manusia, termasuk jin, yakni beribadah kepadanya. Firman Allah SWT, ”Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az-Zariyat,51:56). Hanya satu alasan saja yang diberikan Allah SWT dalam menciptakan manusia dan jin, yakni beribadah kepada-Nya.
Ada dua jenis ibadah di dalam Islam. Kedua jenis itu adalah ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah. Ibadah mahdah adalah ibadah yang telah diatur secara spesifik atau khusus. Pelaksanaan ditentukan waktu, tempat, dan tatacaranya. Ibadah ini mutlak dan wajib dilakukan oleh hamba-Nya. Ibadah-ibadah itu adalah shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdah adalah semua perbuatan yang bermanfaat dan dikerjakan dengan niat karena Allah SWT dan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Intinya adalah ibadah mahdah adalah hubungan pertikal kepada Allah SWT dan ghairu mahdah adalah hubungan horizontal sesama makhluk-Nya.
Jadi, untuk mendapatkan kemuliaan di hadapan Allah adalah bertaqwa. Untuk mendapat predikat taqwa laksanakan printah Allah SWT dan jauhi larangan-Nya. Melaksanakan perintah Allah SWT adalah melalui ibadah mahdah dan ghairu mahdah. Jika kedua ibadah ini terlaksana, maka akan terhindar dari larangan Allah. Mengoptimalkan pelaksanaan kedua jenis ibadah itu akan mengantarkan kita ke tingkat taqwa. Dengan demikian, insya-Allah kita akan mendapat kemuliaan di hadapan Allah SWT. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat. Terimakasih!
Manna, 18 Januari 2025