Oleh Zulkarnaini Diran

Ucapan “Selamat Hari Raya” dengan berbagai versi dan variasi kita terima. Ucapan itu terkirim dan dikirim kepada kita oleh sahabat dan handai tolan. Rasa bahagia menjelma ke dalam batin ketika menerima ucapan yang beranekaragam itu. Tentu kita pun membalasnya. Bahkan kita sendiri pun juga turut berpartisipasi menyampaikan ucapan selamat kepada rekan, kenalan, dan sahabat. Ucapan itu disampaikan melalui berbagai lini atau media praktis seperti media sosial yang pelayannya sangat paragtis dan pragmatis. Itulah di antaranya kondisi yang fenomenal pasca Ramadan.
Bulan Ramadan memilik banyak sebutan. Bulan ampunan, bulan rahmad, bulan berkah, dan sebutan-sebutan lain yang berupa harapan dan motivasi bagi yang memanfaatkannya. Satu dari sekian banyak pemanfaat bulan Ramadan untuk beribadah adalah berpuasa. Puasa adalah satu dari empat ibadah mahdah yang diwajibkan kepada setiap penganut Islam. Puasa sebagai ibadah wajib memiliki target atau capaian. Capainnya itu adalah menjadi seorang hamba bertaqwa. Hal itu ditegaskan Allah di dalam Al-Quran seperti berikut ini.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah, 183). Ayat ini mengiformasikan target atau harapan terhadap orang yangberpuasa. Targetnya adalah “taqwa”, yang “agar kamu bertaqwa”, begitu penegasan Allah SWT melalui ayat yang sangat popular dan dienali mat ini.
Tanda-tanda bertaqwa itu di antaranya ditegaskan Allah SWT di dala Al-Qur’an seperti berikut ini. Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka,” (QS Al-Baqarah, 2:3). Artinya: “dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS Al-Baqarah, 2:4).
Berdasarkan ayat ini, ada lima tanda atau ciri orang bertaqwa. Kelima ciri itu adalah beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, menafkahkan rezki yang dianugrahkan Allah, beriman kepada Al-Qur’an dan kitab sebelumnya, dan yakin akan adanya hari akhirat. Kelima hal itulah yang menjadi tanda atau ciri orang yang bertaqwa.
Kelima ciri itu dapat dijadikan indikator bagi orang beriman pasca atau usai Ramadan. Tentu saja indikator itu dapat dijadikan sebagai instrument atau alat untk tetap mempertahankan, meningkatkan, dan mengoptimalkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Beriman kepada yang gaib, insya-Allah kita tercegah dari syirik. Mendirikan salat, insya-Allah kita tercegah dari perbuatan keji dan mungkar, menafkahkan rezki, isya-allah dapat menyucikan diri dan harta, beriman kepada Al-Qur’an, isnya-Allah kita mendapat petunjuk dan rahmat, meyakini bahwa ada hari akhirat insya-Allah kita akan selalu termotivasi untuk beramal saleh. Itu hanya sebagian kecil dari deskripsi indikator taqwa.
Tentu saja, pasca atau usai Ramadan diperlukan peningkatan dan pengoptimalan ketaqwaan berdasarkan indikator tersebut. Meningkatkan keimanan kepada yang gaib, diperlukan upaya terus-menerus dalam bentuk proses pemberian “nutrisi” terhadap qalbu. Iman itu ada di qalbu, teraktualisasi melalui ucapan dan perbuatan. Nutrisi utama untuk memenuhi “giizi” qalbu adalah berzikir kepad Allah. Zikir dilakukan dalam berbagai proses dan perwujudan. Zikir dengan qalbu, dengan lisan, dengan perbuatan, dan dengan harta, adalah nutrisi yang paling berqizi untuk qalbu. Hanya dengan berzikirlah qalbu akan tenang dan terhindar dari godaan syetan. Insya-Allah. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’ad:28)
Meningkatkan kualitas salat wajib dan kuantitas salat-salat sunah adalah upaya untuk membentengi diri dari perbuatan keji dan mungkar. Kekejian dan kemungkaran yang biasanya didalangi oleh syetan, senantiasa mengancam keidupan kita. Tentu saja, salat yang dapat mencegah perbuatan terkutuk itu adalah salat yang “menghadirkan hati” dalam pelaksanaannya dan memenuhi syarat, rukun, dan wajib dalam prosesnya. Artinya, pasca Ramadan kualitas dan kuantitas ibadah salat kita dapat ditingkatkan dan dioptimalkan. “Dirikanlah salat, sesungguhnyasalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar!” (QS Al-Ankabut, 45)
Menafkahkan sebagaian rezki yang dikaruniakan Allah secara kontiniu atau rutin adalah upaya untk menyucikan jiwa atau diri. Diri akan terhindar dari kekotoran, terutama “kekotoran jiwa” yang biasa didalangi oleh syetan, jika kita “menafkahkan rezki” yang dikaruniaka Allah SWT. Rezki karunia Allah itu dapat berupa materi dan harta benda, dapat pula non-materi seperti cinta, kasih sayang, santun, dan sebagainya. Jika kita tidak memiliki harta benda untuk dinafkahkan, kita dapat menggantinya dengan kasih sayang, santun, membina hubungan baik antarsesama. Jika selama Ramadan kita telah merasakan penderitaan karena tidak makan dan minum, isya-Allah tumbuh dan berkembang di dalam hati kita rasa santun untuk berbagi. Dengan demikian, kita telah berupaya untuk menyucikan jiwa dan harta.
Beriman kepada Al-Qur’an berarti membenarkan segala isi kitabullah itu. Pembenarannya tentulah dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, memahami, dan mengamalkan isinya dengan sungguh-sungguh. Ketika hal itu dilakukan dua hal yang didapat sekaligus yakni “ibadah dan petunjuk”. Membaca Al-Quran bernilai ibadah, mempelajari, memahami isinya akan mendapat petunjuk. Bahakan Al-Qur’a itu juga berupa cahaya bagi kehidupan, rahmat bagi diri, dan obat dari segala penyakit yang terdapat di dalam hati. Optimalisasi membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Quran adalah wujud dar beriman atau membenarkan kitabullah itu. Dari situ diperoleh nilai ibadah dan didapatkan petunjuk darinya. Insya-Allah.
Meyakini adanya hari akhirat dapat memotivasi kita untuk mempersiapkan diri memperbanyak bekal menuju hari itu. Bekal utama untuk menempuh alam akhirat adalah ibadah. Ada dua jenis ibadah yang harus dilakukan sebelum akhirat datng. Kedua ibadah itu adalah ibadah mahdah dan ghairu mahdah. Ibadah mahdah adalah ibadah wajib yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Ghairu mahdah adalah ibadah-ibadah berupa perbuatan baik untuk diri sendiri atau untuk orang lain yang diniatkan semata karena Allah. Ibadah itu tidak boleh menyelisihi ketentuan yang ditetapkan oleh ajaran Islam. Jika kedua ibadah itu dilakukan secara optimal dan sungguh-sungguh, ia akan menjadi amal saleh. Amal saleh inilah yang akan menjadi bekal utama menuju kampung akhirat. Jadi, meyakini adanya hari akhirat akan melecut kita untuk senantiasa bermal saleh.
Pasca atau usai Ramadan ini, mari kita evaluasi tingkat ketaqwaan kita. Hasil evaluasinya akan menjadikan kita berupaya memperbaiki yang kurang, menyempurnakan yang belum sempurna, meningkatkan dan mengoptimalkan ibadah kita. Insya-Allah, predikat taqwa yang diperoleh akan menjadi milik kita selamanya. Sekurang-kurangnya sampai Ramadan yang akan datang. Semoga tulisan sederhan ini bermanfaat.
Padang, 6 April 2025