Oleh Zulkarnaini Diran

“Bersyukur kepada yang posisinya di atasmu adalah dengan mematuhinya; kepada posisinya setara denganmu adalah dengan cara memberi penghargaan; kepada yang posisinya di bawahmu adalah dengan memperlakukannya secara baik” (Dzun Nun). Bersyukur itu berterimakasih atas segala karunia Allah SWT. Allah menyalurkan karunia kepada hamba-Nya melalui berbagai lini atau jalur. Adakalanya karunia itu ditrima dari manusia. Sadar atau tidak sadar yang jelas karunia itu sampai kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, hamba wajib “bersyukur” atas karunia itu.
Kutipan di atas mengeksplisitkan wujud bersyukur. Ada tiga bentuk atau perwujudannya. Ketiga bentuk itu adalah mematuhi, menghargai, dan memperlakukan dengan baik. Untuk mewujudkan ketiga hal itu bukanlah pekerjaan mudah atau gampang. Itu perlu proses yang melalui fase-fase tertentu. Fase-fase itu harus dilalui dengan tekun dan penuh kesadaran. Fase awal adalah “iman”. Mengimani sesuatu berarti membenarkan. Beriman bahwa segala karunia datang hanya dari Allah berarti “membenarkan” hanya Allahlah yang “Maha Pemberi”. Dari situlah awal atau fase pertama rasa syukur.
Fase kedua adalah ilmu dan atau pengetahuan. Pengetahuan itu kalau dianalisis memiliki empat dimensi. Keempat dimensi itu adalah konsep, prinsip, fakta, dan prosedur. Konsep bersyukur harus dipahami dengan benar, pengertian bersyukur harus dihayati secara mendalam. Selanjutnya mengetahui prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah bersyukur. Ketentuan-ketentuan tentang bersyukur harus pula dipahami dan dihayati. Kemudian dilanjutkan dengan memahami dan menghayati fakta-fakta tentang bersyukur. Tentu juga dilihat kenyataan atau bukti-bukti kehebatan orang-orang bersyukur. Terakhir, kita mengetahui atau berilmu tentang prosedur atau cara-cara bersyukur dengan benar. Itulah sederhananya fase kedua ini yaitu ilmu dan atau pengetahuan.
Fase ketiga adalah niat ikhlas. Niat dipasang dari awal, aktifitas bersyukur baru dilaksanakan setelah niat. Niat itu sendiri harus jelas, tegas, dan beralasan. Alasannya hanya satu, melakukan aktifitas atau mewujudkan rasa syukur hanya “semata karena Allah”, ikhlas karena Allah. Niat ikhlas karena Allah SWT hendaklah terpatri dan terpencar dari lubuk hati yang paling dalam. Niat yang tulus dan ikhlas karena Allah akan membentengi diri dari sifat ria dan syirik. “Rasa syukur yang kuwujudkan dengan kegiatan ini, dengan aktifitas ini hanya semata-mata ikhlas karena Allah SWT”. Itulah komitmen yang terpatri dan terpencar dari lubuk hati yang paling dalam.
Berbekal iman, ilmu, dan niat ikhlas rasa syukur diwujudkan dalam bentuk nyata. Wujud nyatanya adalah “menaati, menghargai, dan memperlakukan dengan baik”. Ketiga hal itu adalah tindakan nyata atau “action” dari rasa syukur yang bersarang dan terpatri di dalam qalbu. Ketiga wujud rasa syukur itu diarahkan kepada tiga subjek yakni kepada yang “posisi di atas kita, setara dengan kita, dan di bawah kita”. Perlakuan terhadap subjek tersebut merupakakan perwujudan dari rasa syukur atas karunia Allah SWT dalam bentuk nyata.
Menaati Allah da Rasul adalah wujud dari rasa syukur. Menaati berari melaksanakan perintah dan mejauhi larangan Allah dan Rasul-Nya. Melaksanakan segala perintah adalah ibadah. Jika perintah wajib yang dilasanakan, ibadah mahdah namanya. Kalau perintah selain wajib yang dilakukan, juga ibadah namanya. Itulah ibadah ghairu mahdah, yaitu segala kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain yang diniatkan semata karena Allah SWT. Dengan kedua jenis ibadah itu, kita yang hamba, terhubung senantiasa kepada Sang Khalik. Hubungan dengan Allah SWT senantiasa, berarti mengimplementasikan “akhlakul karimah”- akhlak yang baik.
Memberi penghargaan antar-sesama, kepada orang yang posisinya setara, juga termasuk wujud rasa syukur. Penghargaan itu diberikan juga atas karunia Allah yang disampaikan-Nya melalui orang atau manusia lain kepada kita. Oleh karena itu, disampaikan rasa terimakasih atau rasa syukur kepada orang yang menjadi “media menyalurkan” karunia Allah. Wujud syukur seperti itu, berarti terbinanya senantiasa hubungan sesama manusia yang posisinya setara. Hubungan baik saling menghargai itu, berarti pula implementasi dari “akhlakul karimah” – akhlak yang baik. Dengan demikian pula, berarti bersyukur juga merupakan jalan menuju akhlak yang baik.
Perlakuan yang baik antar-sesama, kepada orang yang posisinya di bawah, juga termasuk perwujudan rasa syukur pula. Bisa jadi Allah SWT menyalurkan karunianya kepada hamba melalui orang yang posisinya lebih rendah. Perlakuan yang baik antar-sesama itu, terutama kepada orang yang posisinya di bawah kita, juga implementasi dari akhlak yang baik – “akhlakuk karimah”. Kebaikan dan perlakuan baik yang ditujukan kepada orang yang posisinya seperti itu, pertanda rasa syukur atas karunia Allah SWT. Begitulah “syukur” berdampak dalam membina hubungan antar-sesama dalam tatanan akhlak yang baik.
Jadi, muara akhir dari rasa syukur adalah akhlak yang baik – “akhlakul karimah”. Jika dibuat rentetannya adalah syukur, iman, ilmu, niat ikhlas, amal, dan akhlak. Rasa syukur itu diirngi dengan proses yang merupakan fase-fase kegiatan. Fase-fase itu sendiri adalah bentuk tindakan-tindakan nyata yang muaranya adalah penerapan atau implementasi dari akhlak. Akhlak itu sendiri adalah tatanan hubungan antara makhluk dengan khalik dan antar-sesama makhluk. Selain itu, akhlak adalah perilaku atau perangai yang dimiliki oleh orang bersyukur, orang beriman, orang ikhlas, dan orang beramal kebajikan. Jika proses itu diikuti, insya-Allah kita telah menikmati keberadaan Rasul Muhammad SAW, “Sesusngguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak” (HR Bukhari- Muslim). Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat.
Padang, 08 April 2025