Oleh Zulkarnaini Diran*)
Seorang teman bertanya. “Menurutmu, apakah Pemerintah sudah bersungguh-sungguh mengurus pendidikan di Tanah Air?” Sulit juga saya menjawabnya. Mengapa tidak. Dijawab tidak, ternyata tiap tahun anggaran pendidikan meningkat. Dijawab ia, penanganan pendidikan masih “bagalemak-peak” – pengganti amburadul. Seorang kepala daerah berpidato, isinya adalah “pendidikan adalah prioritas utama dalam pembangunan daerahnya”. Ketika kita berkunjung ke sekolah, guru menangis untuk mendapatkan selembar karton guna membuat alat peraga. Guru mengurut dada karena tinta spidol yang akan digunakan sehari-hari tidak tersedia di sekolah. Sementara itu anggota DPRD tetap saja berdiskusi untuk meningkatkan anggaran pendidikan. Mereka juga sibuk mengikuti studi banding ke berbagai tempat untuk mebanding-bandingkan mutu kita dengan mutu orang lain dalam bidang pendidikan. Apakah ”kita” bersungguh-sungguh mengurus pendidikan?
Sejumlah guru mengikuti ”penataran” di hotel berbintang daerah ini. Mereka menikmati tidur dan belajar di ruang ber-AC, mandi air panas, dan segala fasilitas untuk penghuni kelas ekonomi. Guru yang mengerti makna pendidikan bertanya, ”Apakah kegiatan ini hanya sekedar menghabiskan anggaran pada akhir tahun?” Pertanyaan itu terlontar karena memasuki hari kedua mereka belum menerima sajian materi apa-apa. Di dalam jadwal pelatihan tertera sederetan nama pejabat eselon sebagai narasumber. Akan tetapi sang pejabat tidak bisa datang. Padahal waktu sudah terbuang dua hari. Mereka membayangkan peserta didik yang dititnggalkan. Mereka menghitung biaya yang dikeluarkan untuk hotel ”mewah” ini. Adakah kita mengurus pendidikan bersungguh-sungguh?
Pemerintah memberikan subsidi untuk guru-guru. Dana itu disalurkan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk SMP dan SMA, melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk SD. Dana dikirim langsung ke rekening organisasi profesi ini. Akan tetapi sampai diujung tahun anggaran ternyata dana belum masuk ke rekening yang bersangkutan. Padahal menurut petunjuk, laporan kegiatan harus masuk ke lembaga penyalur pada minggu ketiga Desember. Ini pun mengundang pertanyaan bagi guru-guru. Apakah ”salah bunda mengandung atau buruk suratan tangan sendiri”.
Pemerintah menyedikan anggaran triliunan rupiah untuk mensejahterakan guru. Guru diberi tunjangan profesi sebanyak gaji pokok. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah jam tatap muka guru di kelas minimal 24 jam pelajaran seminggu. Guru menyambut kebijakan itu dengan penuh sukacita. Akan tetapi, hampir separoh dari guru yang sudah bepredikat profesional tidak dapat menerima tunjangan dambaannya itu. Pasalnya sederhana saja, pemerintah daerah, khususnya dinas pendidikan kabupaten/kota tidak mampu melakukan pemerataan penempatan guru. Hal ini pun sebagai bukti nyata bahwa ”kita belum bersungguh-sungguh” mengurus pendidikan.
Ada dua urusan vital dalam pendidikan. Kedua urusan itu adalah pekerjaan rutin dan pekerjaan pembangunan. Pekerjaan rutin adalah pekerjaan sehari-hari yang sudah seharusnya begitu. Tidak direncanakankan pun akan berjalan seperti kerutinan. Misalnya penerimaan siswa baru tiap tahun, ujian tengah semester, ujian semester, ujian kenaikan kelas, pembagian tugas guru, dan sebagainya. Untuk hal-hal rutin tidak diperlukan energi plus, yang diperlukan hanyakan ”pengawasan” terhadap rutinitas itu agar perjalan menurut semestinya.
Urusan kedua adalah pekerjaan pembangunan pendidikan. Untuk yang kedua ini memang diperlukan perhatian plus. Pekerjaannya sedikit rumit, diawali dengan mendefenisikan pembangunan pendidikan. Membangun dalam tataran sederhana sama dengan mengadakan yang belum ada, memperbaiki yang belum baik, dan menyempurnakan yang belum sempurna. Supaya jangan salah membangun, diperlukan kajian terhadap pengadaan, perbaikan, dan penyempurnaan. Kajian-kajian inilah yang memungkinan pembangunan pendidikan tepat sasaran, sehingga terlihat pendidikan benar-benar diurus.
Suatu sekolah di pusat kabupaten harus rela mengorbankan kantornya yang masih layak. Dinding masih utuh, atap masih baik, keramik lantai masih mengkilat, sekat-sekat ruangan pun masih memadai. Akan tetapi, ruang kantor itu harus dibongkar karena mendapat anggaran rehabilitiasi dari APBN. Warga sekolah bertanya-tanya, mengapat yang masih baik itu dibongkar, kenapa tidak ruang belajar yang atapnya bolong, lantainya terkelupas, dindingnnya berlobang-lobang yang direhabilitasi. Jawabnya sederhana, di dalam format anggaran berbunyi begitu.
Intinya sederhana, tidak ada kajian terhadap objek yang akan dibangun. Apa sesungguhnya yang akan diperbaiki, yang akan direhabilitasi, dan yang akan disempurnakan tidak pernah dikaji secara mendalam. Studi tentang itu tidak dilakukan. Fakta-fakta nyata seperti itu tidak digunakan sebagai basis untuk merencanakan dan melaksanakan pembanunan pendidikan.
Adakah pemerintah menyediakan anggaran pendidikan? Banyak, sangat banyak. Akan tetapi karena tidak tepat sasaran muncul istilah, ”minyak abih samba tak lamak – minyak habis sambal tidak enak”. Adakah kita bersungguh-sungguh mengurus pendidikan? Mari kita jawab di dalam hati sebagai refleksi untuk masa yang akan datang. Semoga dosa-dosa kita yang salah mengurus pendidikan diampuni oleh Yang Mahakuasa. (Zulkarnaini Diran adalah Praktisi, Pemerhati, dan Trainer Pendidikan)
Kototangah, Padang, September 2012