Oleh Zulkarnaini Diran
Setiap pembelajaran harus menyenangkan. Bahkan bukan hanya itu. Harus interaktif, isnpiratif, menantang, dan memotivasi. Penegasan itu dicantumkan di dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Agar pembelajaran memenuhi kelima kriteria itu, soyogyanya diciptakan suasananya. Dapatkah suasana belajar diciptakan? Inilah yang didiskusikan dalam tulisan ini.
Pakar pendidikan Prof. Dr. Arief Rachman mengemukakan, banyak kasus di sekolah yang membuat anak kehilangan semangat belajar. Padahal, pada dasarnya tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan jadi pemalas atau pemarah. Karena itu, perlu suasana belajar yang menyenangkan, membebaskan, dan demokratis. Secara empiris, guru akan merasakan hal itu. Apalagi kalau guru mau merefleksi kondisi-kondisi kelas yang dibinanya. Peserta didik sudah lama merasakan hal itu, terutama mereka yang bersungguh-sungguh mengikuti pembelajaran. Akan tetapi, peserta didik tidak pernah mengeluhkannya secara bersungguh-sungguh kepada pendidik. ”Jika sekolah menjadi tempat yang membosankan, mengakibatkan minat belajar siswa rendah,” kata psikolog Universitas Indonesia Mayke S Tedjasaputra.
Guru adalah menejer kelas. Pengelolaan kelas berada di tangannya. Ia berperan menjadi fsilitator untuk peserta didiknya. Fasilitas yang disediakan bisa berupa perencanaan yang baik, pelaksanaan yang bermakna, dan penyediaan konteks belajar yang memberikan motivasi. Menurut Prof. Dr. Fuad Hassan, ”Mengajar ialah menciptakan suasana yang kondusif, yang menyenangkan sehingga peserta didik terangsang untuk belajar”. Jadi, menciptakan suasana yang menyenangkan adalah bagian integral dan paling vital dari tugas guru dalam pembelajaran.
Suasana belajar menyenangkan diawali dari guru. Guru masuk ke kelas dalam keadaan total, terintegrasi, dan terfokus. Ketika kakinya melangkah ke dalam kelas, (syogyanya) ia memutuskan hubungan dengan dunia luar. Permasalahan yang bergalau di luar kelas dia tinggalkan. Masalah pribadi, masalah rumah tangga, masalah kemasyarakatan, dan masalah-masalah lain dia lupakan. Kini ia ada di kelas sebagai pelayan peserta didiknya, sebagai fasilitator peserta didiknya agar mereka dapat, mau, dan mampu belajar.
Di dalam diri manusia terdapat segumpal daging, apabila baik (menyenangkan) yang segumpal itu baik seluruhnya, apabila rusak (tidak menyenangkan) yang segumpal itu, rusak semuanya, yang segumpal itu adalah qalbu (hati). Guru masuk ke ruang kelas membawa suasana hati yang menyenangkan. Ia meninggaalkan di luar kelas segala sesuatu yang mengganggu suasana menyenangkan. Dari suasana hati seperti itulah pembelajaran dimulai, dilaksanakan, dan diakhiri. Guru yang baik adalah guru yang ”masuk senang, keluar senang, dan di dalam bergairah”.
Suasana menyenangkan dapat diawali dengan membina kontak batin dengan peserta didik. Guru menciptakan hubungan batin yang harmonis dengan peserta didiknya. Hubungan atau kontak batin itu dapat tercipta melalui berbagai media. Ekpresi wajah, gerakan anggota badan, dan sorot mata merupakan bahasa tubuh yang ditangkap lebih cepat oleh peserta didik. Kemudiaan bahasa yang digunakan dan senyum yang dilontarkan merupakan wahana ril untuk menciptakan suasana yang menyenangkan. Kemampuan guru menggunakan bahasa tubuh dan bahasa lisan merupakan kompetensi dasar untuk menciptakan sasana kelas yang menyenangkan.
Melangkah cepat dan pasti ke dalam kelas menggambarkan semangat yang dimiliki oleh guru. Setiap gerak-gerik guru, melangkah masuk kelas, sorot mata, ekspresi air muka, dan gerakan-gerakan kecil lainnya akan sangat bermakna dalam menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Jika hal itu dilakukan setiap kali masuk kelas, suasana kelas yang menyengkan akan tercipta. Nuansa-nuansa gerakan itu akan menular kepada peserta didik dan semangat belajarnya pun akan muncul. Sebaliknya gerakan-gerakan tidak pasti, ragu-ragu, dan tidak bersemangat akan akan membias ke dalam suasana kelas. Hal itu akan berpengaruh negatif terhadap peserta didik.
Penggunaan bahasa juga akan sangat berpengaruh terhadap suasna kelas. Bahasa yang monoton, bahasa yang tidak bervariasi akan membosankan peserta didik. Tiap hari mereka hanya mendengar kalimat-kalimat itu saja dari mulut gurunya. Akhirnya ia menerima sebagai sesuatu yang rutin sehingga tidak memberikan dorongan dan tenaga untuk memotivasinya berkonsentrasi dalam pembelajaran. Kata-kata dan kalimat-kalimat kilise seyogyanya dihindari guru. Apalagi pengulangan kalimat yang sama setiap kali masuk kelas.
Ada contoh bahasa guru yang membuat susana kelas tidak kondusif. ”Coba menujuk, siapa yang tidak membuat pekerjaan rumah?” Biasanya peserta didik tidak langsung mengacungkan tangannya, meskipun dia termasuk yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Guru mengulang kembali kalimatnya, ”Cobalah menunjuk, jangan ibu/bapak pula yang datang ke mejamu untuk melihatnya!” Biasanya mendengar ucapan yang kedua itu peserta didik mulai ragu-ragu dan akhirnya mengacungkan tangan.
Biasanya peserta didik yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah dalam suatu kelas orangnya itu saja setiap hari. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Kadang-kadang hanya dua sampai lima orang dalam suatu kelas. Jika guru menemukan yan seperti itu, suasana mulai terganggu. Gangguan petama akan terjadi adalah terhadap suasana hati guru. Guru merasakan sesuatu yang tidak pas. Guru merasa bahwa ia tidak dihargai oleh peserta didiknya, karena tugas yang diberikan tidak dikerjakan. Jika suasana hati guru sudah terganggu, tentu akan membias ke ekpresinya dan kepada bahasa yang digunakannya. Pada akhirnya akan mewarnai suasana kelas.
Biasanya guru akan terfokus kepada peserta didik yang tidak membuat pekerjaan rumah. Kejengkelan kadang-kadang tidak dapat dihindari. Suasana kelas jadi terganggu. Padahal peserta didik yang tidak mengerjakan tugas itu jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan yang mengerjakan tugas. Oleh karena itu, seyogyanya kalimat yang menanyakan siapa yang tidak membuat pekerjaan rumah diganti dengan kalimat, ”Siapa yang menyelsaikan tugas yang diberikan kemaren?” Jika pertanyaan ini yang dilontarkan pastilah dengan spontan akan banyak yang mengacungkan tangan.
Peserta didik yang mengerjakan tugas jauh lebih banyak daripada yang tidak mengerjakan. Perasaan guru akan senang. Dia merasa dihargai dan dihormati sebagai pemberi tugas. Dengan demikian suasana hatinya pun akan senang. Semua itu akan mebias pula ke dalam ekspresi dan bahsa selanjutnya. Akhirnya akan mendukung penciptaan suasana kelas yang menyenangkan. Tentu saja, peserta didik yang tidak mengerjakan tugas tetap saja menjadi pantauan guru, tetapi tidak diporses pada saat itu. Jika diporses saat itu tentu akan merusak suasana pula.
Jadi, suasana kelas yang menyenangkan dapat diciptakan. Penciptaanya diawali dari suasana hati guru ketika masuk ke dalam kelas. Suasana hati yang kondusif, sejuk, dan damai akan membias kepada ekpresi fisik dan ekpresi bahasa guru. Ekpresi-ekpreasi itu akan ditangkap oleh peserta didik dalam satu situasi. Suasana hati peserta didik pun kondusif, sejuk, dan damai. Kombinasi kesejukan dan kedamaian hati guru dengan hati peserta didik akan membentuk suasana kelas yang menyenangkan. Di situlah peserta didik termotivasi untuk belajar. Mudah-mudahan. (Zulkarnaini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan)
Saya menemukan suasana kelas yang menyenangkan ketika duduk di kelas tiga SMP pada saat pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Biasanya, saya dikenal sebagai murid yang suka bolos, cabut, dan terlambat. Akan tetapi, khusus untuk pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia selama kelas tiga SMP, saya tidak pernah terlambat, cabut, apalagi bolos. Semua itu disebabkan suasana kelas yang menyenangkan. Demokratis. Saya dapat melontarkan opini, analisis, argumentasi, dan imajinasi dengan bebas tanpa rasa takut akan mengurangi nilai saya. Saya bisa jadi diri sendiri ketika mengikuti pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sang guru pun sangat paham dengan gejolak yang terjadi di usia saya yang masih remaja. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia saya itu dapat mengarahkan gejolak remaja saya ke dunia menulis. “Kenakalan remaja” saya justru mendapat pelabuhan yang pas, yaitu dunia menulis 🙂
Sayangnya, hanya di pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia saya bisa jadi diri sendiri. Memasuki jam pelajaran lain, saya kembali menjadi murid yang tidak bisa mengekspresikan diri saya secara jujur.
Terima kasih buat guru Bahasa dan Sastra Indonesia saya tersebut.