Oleh Zulkarnaini Diran
Makna muncul dari hubungan isi dan konteksnya. Konteks memberikan makna pada isi. Semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya bagi mereka (Jhonson,2007). Berdasarkan pemikiran itu, lahirlah sistem pembelajaran dan pengajaran kontekstual (contextual teaching and lerarning – CTL).
Isi pembelajaran sering dikotomus (terpisah) dengan konteks. Materi ajar yang dibahas, dikaji, dan dipelajari di kelas tidak berhubungan langsung dengan konteks kehidupan nyata. Materi dipelajari di dalam ruang dan waktu yang berjarak amat jauh dengan kenyataan (Kaufeldt, 2008). Akhirnya materi hanya dipelajari untuk memenuhi kebutuhan sesaat, temporer yakni untuk menjawab soal-soal ulangan atau ujian. Lagi pula, materi pembelajaran yang terpisah dengan kenyataan hidup dan kehidupan tidak tersimpan lama di dalam memori otak.
Materi pembelajaran tertentu sarat dengan teori-teori keilmuan. Teori itu bermain dengan keteoretisanya. Bahkan sedemikian idealnya teori, tidak terbayangkan sama sekali cara untuk menerapkannya. Antara teori dengan praktik terpisah sangat jauh. Oleh karena itu, seyogyanya ada upaya untuk menyelaraskan antara ranah teoretis dengan ranah praktis. Hal itu dapat dilakukan dalam bentuk pembelajaran dan pengajaran kontekstual.
Seorang guru bahasa Indonesia membelajarkan peserta didiknya tentang surat. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran itu ada dua yakni peserta didik mampu menulis surat resmi dengan benar dan dan mampu menulis surat pribadi dengan baik. Produk dari pembelajaran yang akan berlangsung selama dua jam pelajaran itu adalah surat resmi dan surat pribadi yang dibuat peserta didik.
Dalam pembelajaran biasa (konvensional), pertama-tama guru menjelaskan kepada peserta didi perihal surat. Konsep surat secara umum disampaikan kepada peserta didik. Pengertian surat resmi dan surat pribadi dijelaskan dengan tuntas. Tentu saja, guru tidak lupa mengemukakan secar detil syarat dan rukun surat yang baik. Terakhir Sang Guru menampilkan contoh surat resmi dan surat pribadi.
Untuk menjelaskan hal-hal tersebut secara rinci, guru memerlukan waktu hampir 70 menit. Padahal dua jam pelajaran hanya 80 menit untuk tingkat SLTP. Waktu yang tersisa 10 menit digunakan guru untuk pemberian tugas. Biasanya instruksinya berbunyi, “Buatlah surat resmi dari pengurus OSIS kepada Kepala Sekolah tentang ….” Perintah kedua berbunyi, “Buatlah surat kepada nenek, bahwa Kamu akan berlibur ke tempatnya”.
Untuk mempelajari sesuatu praktikkanlah! (Roger C.Schannk). Sepatu Nike membuat slogan: “Anda belajar berbicara dengan berbicara, belajar berjalan dengan berjalan, belajar bermain golf dengan bermain golf, belajar mengetik dengan mengetik, dan belajar paling baik dengan mempraktikkannya”. Tentu belajar menulis surat resmi dan surat pribadi dipraktikkan. Ilustrasi di atas ternyata peserta didik tidak pernah berpaktik dalam jam pelajaran itu. Mereka hanya menerima informasi tentang surat yang sifatnya sangat teoretis. Berhsilkan pembelajaran ini? Inilah jawaban yang perlu dicari.
Instruksi guru agar peserta didik menuslis surat resmi dari pengurus OSIS kepada kepala sekolah dan surat kepada nenek sangat dangkal atau tidak bermakna bagi semua peserta didik. Fasalnya, tidak semua peserta didik menjadi pengurus OSIS, bahkan ada yang tidak tau dan tidak peduli tentang OSIS. Begitu pula halnya surat kepada nenek. Tidak semua peserta didik memiliki nenek yang harus disurati. Kadang-kadang neneknya sudah meninggal, tidak mungkinlah membuat surat ke kuburan nenek. Atau mereka serumah dengan neneknya, tidak perlulah menulis surat untuknya. Tugas menulis surat dinas dan menulis surat pribadi seperti itu sangat kurang bahkan tidak bermakna bagi sebagian besar peserta didik karena tidak berhubungan langsung dengan(konteks) kehidupannya sehari.
Ada guru bahasa Indonesia yang kreatif. Tujuan yang dan materi ajar yang tentang surat dia olah sedemikian rupa. Dia kaitkan dengan konteks nyata yang sangat dekat dengan linkungan sekolah dan sangat familiar dengan kehidupan peserta didik. Sekolahnya terletak di pinggir kota. Jauh dari pusat kota. Jalan menuju sekolah masih jalan tanah, belum beraspal. Jika hujan, jalan itu sangat becek. Guru, peserta didik, dan warga sekolah lainnya sangat terganggu oleh kondisi jalan seperti itu. Hampir semua warga sekolah mengalaminya.
Guru kreatif ini membelajarkan peserta didiknya dari konteks jalan rusak itu. Ketika berada di kelas, guru tidak menjelaskan konsep surat, jenis-jenis surat, dan syarat-syarat sah surat. Akan tetapi guru langsung meminta peserta didik menulis satu atau dua paragraf deskriptif tentang kondisi jalan ke sekolahnya. Ia meminta peserta didik mendeskripsikan secara detil kondisi ril jalan serta akibat yang ditimbulkannya. Untuk menulis paragraf tersebut peserta didik memerlukan waktu 10 sampai 15 menit.
“Siapa yang bertanggung jawab memperbaiki jalan seperti yang kita lalui setiap hari ini?”, tanya guru kepada peserta didik.
“Pemerintah kota, Bu,” jawab peserta didiknya serentak.
“Apa nama instansi yang menanganinya”, tanya guru lagi. Jawaban peserta didiknya bervariasi. Ada yang menjawab Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Camat, Lurah, dan sebagainya. Jawaban bervariasi itu ditentukan oleh pengetahuan umum yang dimiliki peserta didik.
Dari eksplorasi koknisi peserta didik, guru melanjutkan proses pembelajarannya. Peserta didik dimintanya untuk menulis surat kepada yang bertanggung jawab memperbaiki jalan ke sekolahnya. Isi surat sangat sederhana. Pertama gambaran (deskripsi) kerusakan jalan, kedua akibat yang ditimbulkan terhadap warga sekolah, dan ketiga mohon bantuan untuk memperbaiki jalan. Proses pembelajaran tersebut telah mendorong peserta ke dalam dua hal yakni menyediakan bahan yang akan ditulis dan menulis surat. Langsung dipraktikkan dan sangat terkait dengan konteks nyata dan pengalaman nyata sehari-hari.
Kurang dari dua puluh menit, peserta didik selesai menulis surat kepada yang kompeten untuk memperbaiki jalan. Surat masuk ke dalam sampul dan dilengkapi dengan alamat tujuan dan alamat pengirim. Guru dengan ekspresi meyakinkan menyatakan kepada peserta didik bahwa orang yang dikirimi surat tidak dapat memenuhi permintaan seperti pengrim surat. Dia juga tidak bias membalas surat itu karena pegawainya tidak ada yang masuk kantor. Oleh karena itu, yang kompeten meminta bantuan peserta didik untuk mebalas surat tersebut. Caranya ialah dengan memberikan surat kepada teman yang duduk di sebalah kanan secara berantai. Setip penerima surat wajib membalasnya.
Sebelum peserta didik menulis surat balasan atas nama yang kompeten, guru telah menayangkan atau memajangkan contoh format surat di depan kelas. Lengkap dengan perihal, nomor, alamat, dan tanggal surat. Berdasarkan format itulah peserta didik menulis surat. Untuk hal seperti sampai surat selesai peserta didik dan guru menghabiskan waktu 30 menit. Sampai saat itu waktu yang sudah dihabiskan untuk menulis dua surat lebih kurang 60 menit. Waktu yang 80 menit masih tersisa 20 menit lagi. Waktu yang tersisa digunakan guru untuk mengkonfirmasi atau menegaskan konsep, prinsip, dan prosedur materi ajar.
Pembelajaran pertama syarat dengan teori, nyaris tidak ada praktik, dan sangat jauh dari konteks. Pembelajaran kedua syarat dengan praktik, hampir tidak ada teori tetapi sangat erat hubungannya dengan konteks. Tingkat kebermaknaan pada pembelajaran pertama sangat rendah dan pada pembelajaran kedua sangat tinggi. Hubungan isi pembelajaran dengan konteks belajar akan melahirkan makna dalam pembelajaran.
Sejawat guru yang berlabel “professional” ditantang untuk menyelaraskan teori dengan praktik dan dituntut untuk memperdekat jarak antara isi pembelajaran dengan konteks kehidupan nyata sehari-hari. Dengan demikian, setiap pembelajaran akan memiliki kebermaknaan tinggi. Semoga. (Zulkarnaini, praktisi dan pemerhati pendidikan)