Oleh Zulkarnaini Diran
Karya sasatra adalah karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (alat penyampainya). Karya sasatra berbicara tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan. Jika seseorang belajar sastra berarti juga belajar berbahasa, belajar tentang manusia dan kemanusiaan, serta belajar tentang hidup dan kehidupan.
Belajar sasatra berarti belajar berbahasa. Oleh karena itu, di dalam kurikilum sekolah sejak dulu sampai sekarang pembelajaran sastra selalu berbarengan dengan belajar berbahasa. Kurikilum pembelajaran sastra disatukan dengan kurikum bahasa. Dengan demikian (mungkin) asumsi penyusun kurikulum dengan belajar sastra pebelajar akan mahir berbahasa. Sebaliknya dengan kemahiran berbahasa pebelajar akan nyaman belajar sastra.
Belajar sastra berarti juga belajar tentang manusia dan kemanusiaan. Setiap karya sastra selalu berkisah tentang manusia dan kemanusiaan. Manusia adalah makahluk multidimensi, makhluk yang memiliki banyak sisi. Sisi itu pada hakikatnya dapat dikelompokkan atas tiga kategori yakni dimensi baik dan dimensi buruk serta dimensi antaranya. Kebaikan manusia dengan segala aspeknya dan keburukan manusia dengan segala seginya dapat dilihat dan ditemukan di dalam karya sastra. Jadi, belajar sastra dalam konteks ini adalah belajar dari kebaikan dan keburukan manusia. Mungkinkah?
Karya sastra menampilkan dua realitas yakni realitas objektif dan realitas imajinatif. Realitas objektif adalah realitas yang diangkat dari kenyataan yang benar-benar terjadi di dalam masyarakat. Realitas ini merupakan rekaman dari kenyataan-kenyataan manusia dan kemanusiaan dalam satu kurun tertentu. Rekaman itu memungkinkan pebelajar mengenali sisi baik dan sisi buruk manusia pada masa (kurun) tertentu.
Realitas imajinatif adalah realitas yang diciptakan oleh imajinasi pengarang/ penilis karya sastra. Reliatas ini merupakan keinginan pengarang terhadap kenyataan-kenyataan yang ada. Adakalanya pengarang menyetujui dan menguatkan realitas objektif yang ada. Kadangkala pula pengarang menolak, mengkritisi, dan menantang realitas yang ada. Dari realitas imajinatif ini pebelajar mengenali cita-cita dan harapan pengarang tentang kebaikan dan keburukan manusia yang bertolak dari realitas objektif (kenyataan yang ada).
Belajar sastra juga belajar tentang hidup dan kehidupan. Di dalam karya sastra terhidang berbagai masalah tentang hidup dan kehidupan. Hidangan tentang cinta, kasih sayang, kebahagiaan, dan sejenisnya ada di dalam karya sastra. Di dalamnya juga aka tersaji dengan tajam tentang benci, dengki, iri, penderitaan dan sejenisnya. Hal-hal yang tersaji itu menyangkut dengan kenyataan sehari-hari, dalam realitas di sekitar. Kemudian diwarnai oleh realitas imajinatif berupa harapan dan cita-cita pengarang/penulis terhadap kenyataan itu.
Mengenali manusia dan kemanusiaan dengan segala dimensinya akan memunculkan pengalaman baru kepada pebelajar. Ia akan menemukan sesuatu dari pengenalan itu. Sesuatu itu adalah bahwa manusia adalah makhluk yang unik, penuh misteri, dan memiliki banyak dimensi baik dan dimensi buruk. Sisi-sisi baik yang dapat ditiru, diteladani, dan diimplementasikan dalam keseharian dipetik pebelajar dari pengenalannya ini. Sisi buruk dapat dijauhi, dihindari, dan ditolak dalam keseharian.
Mengenali sifat dan perilaku manusia yang ada di dalam karya sastra, berarti juga pebelajar melakukan pengenalan terhadap dirinya. Ia melakukan kajian komparatif (membandingkan) perangai manusia yang ada di dalam karya sastra dengan perilakunya sehari-hari. Pembandingan itu akan mengantarkan pebelajar mengenali dirinya secara betahap dan secara mendalam. Dari situ pula ia akan melakukan otokritik (mengritik diri) terhadap perilaku baik dan perilaku buruk yang dimilikinya.
Mengenali manusia dan kemanusiaan lain, mengenali hidup dan kehidupan orang lain, kemudian mengkomparasi dengan diri sendiri, merupakan proses pembelajaran yang empiris (bedasarkan pengalaman). Proses pembelajaran seperti ini merupakan pengalaman hidup yang terang dan nyata. Dari pengalaman itu, pebelajar mendapat pengetahuan, pengetahuan langsung itu akan menjadi pemahamannya. Dari pemahaman tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan diharapkan muncul kearifan. Dari kearifan itulah diharapkan lahir tindakan yang berbudi, berakhlak, dan berkarakter.
Memang menurut para pakar belajar adalah “mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, mengubah pengetahuan menjadi pemahaman, mengubah pemahaman menjadi kearifan, dan mengubah kearifan menjadi tindakan”. Jadi, belajar dari pengalaman tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan diharapkan bermuara kepada tindakan-tindakan yang arif berdasarkan pemahaman terhadap pengetahuan.
Mungkinkan pembentukan karakter peserta didik atau pebelajar dapat terjadi melalui belajar sastra? Mungkin, sekurang-kurangnya kemungkinan itu terbuka lebar. Rasionalnya adalah ketersediaan acuan atau kurikulum. Di kurikulum termaktub dengan jelas kompetensi-kompetensi tentang pembelajaran sastra. Mulai dari sekolah dasar sampai ke tingkat sekolah lanjutan atas. Di dalam kurikulum terakhir, Kurikulum 2013 dinyatakan dengan tegas kompetensi-kpmpetensi bersastra yang harus dicapai pebelajar dalam jangka waktu tertentu.
Kemungkinan lain adalah tingkat kompetensi guru bahasa. Guru-guru bahasa Indonesia saat ini memiliki dasar pendidikan yang memadai. Selain itu, mayoritas pendidik ini telah memiliki sertifikat mengajar (sertifikasi). Sertifikat itu, jika berkorelasi secara akademis dan praktis dengan kompetnsi, berarti guru atau pendidik bahasa dan sastra sangat memadai untuk membelajarkan peserta didi bersastra.
Kemungkinan selanjutnya adalah tersedianya informasi tentang berbagai pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran bahasa dan sastra. Pendidik atau guru dapat memanfaatkan berbagai sumber informasi yang dengan mudah dapat diakses. Teknologi informasi telah menghancurkan mitos bahwa mencari metode dan teknik yang tepat untuk pembelajaran sastra sangatlah sulit. Tidak ada lagi yang sulit hari ini, bahkan terjadi masalah, bisa dicarikan solusinya saat itu juga.
Hal penting dalam memanfaatkan segala kemungkinan itu adalah proses pembelajaran di kelas. Menerjemahkan kurikulum, menuangkannya ke dalam perencanaan pembelajaran dengan segala aspeknya, melaksanakan pembelajaran, serta melakukan penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar adalah hal yang mahapenting yang dilakukan pendidik dalam pembelajaran sastra. Hal itu dikatakan mahapenting karena kurikulum adalah pesan, harapan, impian, dan cita-cita yang diwujudkan melalui proses. Oleh karena itu, perencanaan yang matang, pelaksanaan yang menawan, dan penilaian serta evaluasi yang mendidik adalah bagian yang teramat penting.
Belajar sastra adalah belajar tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan. Oleh karena karya sastra menghidangkan substansi itu, tidak ada jalan lain untuk belajar sastra selain membuat kontak langsung antara pebelajar dengan karya sastra. Pebelajar berinteraksi, berinterelasi, dan berkomunikasi dengan karya sastra. Interaksi yang mendalam (intens) hanya akan terjadi jika pebelajar masuk ke wilayah-wilayah unik dari manusia dan kemanusiaan, dari hidup dan kehidupan yang terhidang di dalam karya sastra.
Dengan interkasi seperti itu akan terjadi interelasi dan komunikasi yang memungkinkan seorang pebelajar mendapat pengalaman baru tentang hidup dan kehidupan. Pengalaman itu yang dikomparasi dengan pengalaman dirinya, sehingga diharapkan terjadi pembentukan karakter. Karakter yang mungkin dapat memilah-milah hal baik dan hal buruk tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan. Dari situ pula diharapkan bermuara suatu proses untuk meniru hal baik dan mejauhi hal buruk. Hal yang paling penting lagi adalah “mengapa” hal baik dapat terjadi dan hal buruk dapat muncul. Mungkinkah belajar sastra dapat membentuk karakter pebelajar? Jawabannya ada pada guru bahasa dan sastra. (Zulkarnaini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan).