Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)
Reformasi pemerintahan bergulir. Daerah kabupaten/kota diberi wewenang untuk mengurus dirinya sendiri. Urusan-urusan tertentu dilimpahkan sepenuhnya kepada daerah. Pendidikan juga termasuk yang diotonomikan. Kabupaten/ kota memegang otoritas dalam hal mengelola sumbedaya manusia, sumberdaya dana, dan sumberdaya sarana/prasarana pendidikan. Otoritas itu digunakan dalam batas-batas regulasi yang ada. Artinya, pengelolaan bidang pendidikan diserahkan kepada daerah hampir seratus persen, hampir – belum seratus persen berdasarkan regulasi yang disusun pusat.
Kurikulum sebagai sarana pendidikan juga diotonomikan. Penyusun kurikulum adalah satuan pendidikan di bawah bimbingan dan supervise pemerintah daerah (baca: dinas pendidikan). Pemerintah pusat hanya diberi wewenang untuk menyusun kerangka dasar kurikulum, kurikulumnya sendiri dibuat dan disusun oleh satuan pendidikan. Begitu amanat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada pasal 38 ayat (2) dinyatakan, “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah”. Ayat (1) menyatakan, “Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah”
Undang-undang ini jelas dan tegas mengamanatkan. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah diserahkan ke daerah. Otoritas untuk pengembangan kurikulum diserahkan kepada satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Supervisi dilakukan oleh dinas pendidikan/departemen agama. Artinya, daerah memiliki kewenangan mengembangkan kurikulum.
Untuk pelaksanaan undang-undang itu lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32/2013. Penegasannya ialah, kurikulum yang tepat adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Ditegaskan di dalam Peraturan Pemerintah itu bahwa “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan”. Regulasi operasional KTSP tersebut diatur oleh sejumlah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Artinya, secara yuridis KTSP merupakan kurikulum ideal dalam otonomi pendidikan.
Dilema utama yang muncul dalam pelaksanaan UU, PP, dan Permen tersebut adalah “ketidakmampuan” satuan pendidikan dan daerah mengembangkan dan mensupervisi kurikulum. Ketidakmapuan itu terlihat pada sisi teknis dan nonteknis. Sisi nonteknis adalah ketidakmampuan dinas pendidikan untuk meyakinkan pemerintah daerah dalam pengadaan dana, sarana, dan prasarana. Sedikit sekali anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk pendidikan terutama dalam belanja menyusun dan mensupervisi kurikulum. Bahkan di daerah tertentu tidak dianggarkan sama sekali.
Kendala teknis adalah ketidakmampuan dalam bidang teknis. Sekolah-sekolah tidak memiliki orang (guru dan komite) yang berkompeten mengembangkan kurikulum. Sebenanrnya jika aspek nonteknis terpenuhi, seperti dana, mungkin sekolah bisa menggandeng pakar dari lembaga lain seperti perguruang tinggi. Akhirnya, pengembangan kurikulum diserahkan kepada guru-guru dengan memanfaatkan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Dan MGMP pun belum dapat bekerja optimal karena berbagai keterbatasan. Akhirnya muncul KTSP yang diunduh dari berbagai sumber seperti situs dan blog tertentu di internet atau istilah kerennya KTSP kopipaste.
Satuan pendidikan terus belajar. Guru-guru terus meningkatkan kapasitasnya menyusun dan mengembangkan kurikulum. Lembaga-lembaga seperti PPPPTK, LPMP, Dinas Pendidikan provinsi terus mengupayakan peningkatan komepetensi guru dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum. Pengawas sekolah dan widyaiswara pun ditingkatkan komeptensinya. Untuk peningkatan itu pemerintah pusat dan daerah menyediakan anggaran pula. Nah, dalam kondisi itu pula tiba-tiba pemerintah mengambil alih otonomi yang diberikan undang-undang. Pengembailalihan itu ialah dengan lahirnya Kurikulum 2013.
Kini tersiar kabar, bahwa Menteri Pendidikan tidak akan memberlakukan Kurikulum 2013 untuk semua sekolah. Hanya beberapa sekolah saja yang akan menjadi sekolah model. Untuk sekolah model baru akan dipikirkan kriterianya oleh tim evaluasi kurikulum. Seperti apa kriterianya dan model seperti apa yang akan dimodelkan, tentu kita hanya menunggu.
Otonomi pendidikan sebenarnya sudah tergambar sejak Kurikulum 1994. Pada kurikulum 94 yang mengacu kepada Undang-undang Nomor 2/1989 tentang Sisdiknas, daerah diberi wewenang substansial untuk mengembangkan kurikulum paling banyak 20 persen. Artinya, pusat memiliki otortas penentuan paling sedikit 80 persen. Dari sinilah dulu munculnya mata pelajaran muatan lokal yang berdiri sendiri untuk pendidikan dasar (SD dan SLTP). Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomo 060/U/1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar menetapkan alokasi jam pelajaran untuk muatan lokal di sekolah dasar tujuh jam pelajaran dan di SLTP enam jam pelajaran. Jam-jam yang tersedia itu benar-benar secara otonom diberikan ke daeran untuk mengisinya. Hal yang sama berlanjut ke KTSP, mesikupun di KTSP jam muatan lokal (otonomi daerah) dikurangi.
Otonomi pendidikan, khusus kurikulum mungkin belum bisa diberikan ke daerah. Apalagi kalau daerah diminta mengembangkan kurikulum dengan segala perangkatnya. Akan tetapi, yang mungkin diberikan ke daerah adalah substansi isi. Artinya, kurikulumnya disusun secara nasional dan isi muatannya serta bahan ajar tertentu diserahkan ke daerah. Terutama untuk kelas rendah di sekolah dasar misalnya, muatan daerah sangatlah diperlukan. Kalau itu tidak diotonomikan kemungkinan peserta didik tidak mengenali lingkungan terdekatnya melalui pendidikan formal.
Jika kurikulum yang ada sekarang masih tetap dilanjutkan, barangkali pemerintah perlu diwanti-wanti tentang pengadaan bahan ajar (buku siswa-buku guru). Bahan ajar seperti sekarang disusun oleh penulis-penulis dari pulau Jawa. Latarbelakang, nuansa, dan warnanya warna budaya yang ada di pulau Jawa. Anak-anak luar Jawa seolah-olah dipaksa ‘melahap” budaya yang sangat jauh dari kehidupan nyatanya. Artinya, penulis buku terutama untuk pendidikan dasar dilibatkan dari daerah atau diserahkan secara otonom ke daerah sesuai dengan amanat undang-undang yang dikutip di atas. Mudah-mudahan.