Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)
Usai bercerita tentang ‘kedurhakaan” Malin Kundang, guru kelas tinggi di Sekolah Dasar meminta komentar peserta didiknya. Oleh pengaruh implementasi Kurikulum 2013, banyak siswa yang berkomentar. Bahkan hampir semua peserta didik di kelas itu mengacungkan tangan untuk berpendapat. Guru kelas itu mendengarkan, menerima, dan merespon semua komentar peserta didiknya dengan bahasa yang persuasif dan edukatif.
Hampir semua peserta didik menyatakan ketidaksetujuan dengan perilaku “Si Malin Kundang” yang sangat durhaka kepada ibunya. Pantaslah Si Malin menjadi batu atas sumpah ibunya. Itulah gambaran pendapat peserta didik di kelas itu. Akan tetapi ada seorang peserta didik yang mangacungkan tangan kemudian. Peserta didik ini biasanya sangat pendiam, tidak suka bertanya, tidak suka berkomentar, tetapi setiap akhir semester dan akhir tahun dia selalu menempati posisi teratas dalam perolehan nilai rata-rata.
“Bu, mungkin ibu Malin Kundang bukanlah ibu yang tulus. Jika dia tulus membesarkan anaknya dia tidak akan menyumpahi anaknya menjadi butu”, kata peserta didik itu. Spontan bu guru ini terkesima mendengar komentar peserta didiknya ini. Dalam pembelajaran pagi itu, sebenarnya guru ingin menekankan sikap sosial. Intinyan adalah agak anak-anak jangan mencontoh perilaku Malin Kundang yang durhaka. Akan tetapi, ada peserta didik yang melihat daris sisi lain. Ia melihat dari ibu Malin Kundang. Itulah yang membuat guru terkesima.
Respon peserta didik seperti itu merupakan lahan yang subur dalam pelaksanaan pembelajaran Kurikulum 2013. Dari situ guru dapat mengembangkan pembelajaran dalam suasana yang hidup dan menyenangkan. Dari suasana itu dapat diturunkan proses pembelajaran yang menarik, menyenangkan, dan menantang. Proses itu dapat dimuarakan ke kompetensi inti (sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan). Jabarannya dapat dilihat pada setiap komepetensi dasar (KD) di bawah naungan kompetensi ini (KI) tersebut.
Pendapat peserta didik yang beranekaragam tentang profil perilaku ibu Malin Kundang, profil dan perilaku malin kundang dapat dimuarakan ke keterampilan menulis. Guru dapat meminta pendapat peserta didik dalam bentuk tulisan naratif, deskriptif, argumentatif dan sebagainya. Peserta didik diberi kesempat menulis sesuai dengan kemampuannya. Warna-warni isi dan tampilan tulisan merupakan kekayaan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan sikap sipirtual dan sikap sosial peserta didik. Di ujungnya melahirkan pengetahuan dan keterampilan kewacanaan seperti yang dituntut oleh kompetensi dasar.
Bisa jadi peserta didik menolak perilaku ibu Malin Kundang kemudian ia menerima perilaku Malin Kundang. Atau bisa pula mereka mengkritisi perangai Malin Kundang dan perangai ibu Malin Kundang. Pernyataan setuju, sependapat, tidak setuju, tidak sependapat, penolakan, dan penerimaan terhadap sesuatu dengan argumentasi yang logis, adalah bagian dari pendidikan karakter, bagian dari pengembangan sikap yang diharapkan.
Substansi tulisan peserta didik dengan basis “ketulusan ibu Malin Kundang” adalah pengembangan sikap sosial dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik bisa masuk lebih dalam, andaikata kelak menjadi ibu bagaimana sikapnya. Andaikata hal itu terjadi di dalam keluarganya, bagaimana sikapnya. Jika dia menjadi Malin Kundang, bagaimana pula sikapnya pada saat bertemu dengan ibunya yang buruk, kumal, dan miskin. Sikap-sikap seperti itu dapat dieskpresikan di dalam tulisan oleh peserta didik. Substansinya adalah sikap sosial.
Tampilan tulisan bisa dalam bentuk berbabagi wacana. Bila peserta didik mau memilih wacana narasi, tulisannya dapat dimuarakan ke tulisan-tulisan fiksi. Mungkin tokoh si Malin Kundang diganti dengan tokoh lain yang bukan durhaka, atau tokoh ibu ditulkar dengan “ibu yang tulus” yang tidak mendoakan anaknya menjadi “batu”, tetapi mendoakan anaknya menjadi sadar bahwa yang di hadapannya adalah ibu kandungnya. Kreatif, tentunya bukan?
Jika peserta didik memilih wacana deskripsi, mungkin ia bisa menggambarkan kembali bagaimana kepongahan, kecongkakan, dan kesombongan Malin Kundang. Ia dapat mengekpresikan kesedihan, kedukaan, dan kesakithatian ibu Malin atas perlakukan anaknya. Tentu deksripsi itu akan menggugah perasaan batin yang pailing dalam bagi yang menuliskannya dan mungkin juga bagi pembacanya. Dengan demikian, peserta didik yang memilih jenis wacana ini telah masuk ke dalam karakter (watak) tokoh ibu dan tokoh Malin Kundang. Bukankah memahami watak tokoh dalam sebuah cerita bagian dari penyerapan nilai-nilai kemanusiaan dalam menulis dan membaca?
Jika pesera didik memilih wacana argumentasi, tentu selain menceritakan dan menggambarkan perilaku Malin Kundang dan ibunya, ia juga dapat mencari alasan atas pendapat yang diberikan terhadap perilaku itu. Misalnya, peserta didik mengkritisi perangai ibu Malin Kundang yang mendoaakan anaknya menjadi batu dengan alasan ajaran agama dan alasan ajaran moral setempat. Jika ia memberikan alasan ajaran Islam, ia dapat mencari dari sumber Quran dan Hadis Nabi, bahwa doa ibu itu sangat makbul. Jika doa ibu makbul, mengapa ibu Malin Kundang tidak mendoaakan agar Malin sadar bahwa yang dilihatnya aalah ibunya. Nah menarik, bukan?
Ketika peserta didik bertanya tentang “ketulusan Ibu Malin Kundang”, pembelajaran “tematik” di Sekolah Dasar”, khususnya kelas tinggi dapat dikembangkan secara menarik, menawan, dan menantang. Namun, itu sangat ditentukan oleh desain pembelajaran yang dibuat oleh guru. Perencanaan yang matang, pelaksanaan yang menarik, penilaian serta evaluasi pembelajaran yang mendidik merupakan kunci semua itu. Dan respon guru terhadap spontanitas pesrta didik dalam pembelajaran melebihi semua rencana yang dibuat. Bukankah para pakar mengatakan, hasil yang diperoleh sangat tergantung kepada respon terhadap suatu kejadian. “Bagaimana kalau cerita Malin Kundang Anak Durhaka diganti judul dengan Malin Kundang Memiliki Ibu Celaka?” Nah berpulang kepada sejawat guru. Mudah-mudahan.