Oleh Zulkarnaini Diran
“Assalamulaikum Da, mudah-mudahan nanti kito bisa basuo Da”, begitu pesan singkat yang saya terima dari Zulfikri Anas, pakar kurikulum dan pakar pendidikan, Pusat Kurikulum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pukul 08.21, Minggu, 18 Maret 2018. Pukul 08.36 saya terima lagi pesan dari seorang teman, “Pak Zul jo Sriwijaya pukul 09.30 dari Jakarta ke Padang, di mana kita bertemu?” Dari dua informasi itulah pertemuan kami terjadi yaitu saya, Zulfikri Anas, dan Ali Dasni di salah satu rumah makan di kawasan Katapiang, Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman.
Mulai dari naik mobil sampai di rumah makan, sambil makan, dan usai makan siang perbincangan itu terjadi. Topik besarnya kurikulum dan pendidikan. Topik sepesfiknya mengerucut implelemntasi kurikulum yang bernuansa kearifan lokal Minangkabau. Dari situlah topik dikembangkan mulai dari hulu sampai ke hilir. Oleh karena berbicara dengan pakar, Zulfikri Anas, bincangan itu mengalir sedemikian rupa. Tak ada menit terbuang untuk hal yang di luar topik. Fokusnya, ya itu. Cara pandang (pendekatan), metode (prosedur), dan teknik (kiat) operasional kurikulum dalam pembelajaran.
Tentang kurikulum, Zulfikri Anas mengungkapkan perihal sikap atau cara pandang pendidik dan tenaga kependidikan. Satu-satunya bangsa yang resah karena muncul kurikulum baru adalah bangsa Indonesia. Keresahan itu terjadi akibat cara pandang dan cara menyikapi kurikulum. Kurikulum dianggap tujuan atau dianggap kenderaan untuk mencapai tujuan? Bila kurikulum dianggap tujuan, maka teks berupa benda mati itu akan “disakralkan”, akan dianggap sebagai “kitab suci”. Akhirnya, pendidik dan tenaga kependidikan dikuasai oleh teks kurikulum. Di sinilah kegelisahan dan keresahaan sering terjadi.
Kurikulum seyogyanya dipandang sebagai kenderaan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pandangan ini akan membuka pemikiaran bahwa kenderaan tidak boleh mengganggu perjalanan untuk mencapai tujuan. Kenderaan adalah wahana praktis dan pragmatis untuk mengantarkan penumpang ke tujuannya. Oleh karena itu, kenderaan tidak boleh mengendalikan penumpang, tetapi penumpanglah yang mengatur, mengendalikan, dan menata perjalalanan kenderaan. “Nah, di sinilah perlunya cara pandang yang benar terhadap dan tentang kurikulum”, kata Zulfikri Anas yang menamatkan S1-nya di Unand dan Masternya di salah satu perguruan tinggi di Australia itu.
Dalam hal implementasi kurikulum, putra asli 50 Kota, Sumbar ini menekankan dua hal penting. Pertama, pendidik seyogyanya berpandangan bahwa kurikulum bukanlah “kitab suci”. Kurikulum taklebih dari acuan umum yang masih perlu dispesifikasi. Spesifikasi kurikulum diawali dengan mengenal peserta didik. Peserta didik berada dalam suatu konteks kehidupan. Dia berada dalam tatanan budaya dan lingkungan tertentu. Budaya dan lingkungan itu telah menyediakan acuan-acuan tertentu yang melekat pada kehidupan setempat. Nah, dengan demikian penjabaran kurikulum untuk implementasi harus selalu terkait dengan konteks kehidupan ril peserta didik. “Inilah hal yang sangat penting untuk dipahami dalam penerapan kurikulum”, kata dpenulis buku “Kurikulum untuk Kehidupan” ini.
Kedua, pendidik mengenal konteks kehidupan peserta didik. Konteks sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya haruslah dikenali oleh peserta didik. Dalam konteks kehidupan peserta didik itu terkadung kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan itu muncul dalam bentuk dinamika yang diaamini dan diterapkan oleh masyarakat. Jika kurikulum berhasil dispesifikasi dan dikaitan dengan konteks kehidupan anak, maka kurikulum akan menjadi kenderaan untuk mengantarkan peserta didik ke tujuan pendidikan.
“Memandang kurikulum sebagai kenderaan dan memnadang peserta didik sebagai subjek yang hidup dalam konteks tertentu, adalah bagian penting dalam menerapkan kurikulum yang ‘berjenis dan bernama’ apapun”, kata Zulfikri Anas mengakhiri bincang-bincang siang itu. Tak terasa hampir dua jam waktu berlalu dalam perbincangan tersebut. Semoga bermanfaat.
Padang, 18 Maret 2018