BELAJAR MENULIS DENGAN MENULIS

Oleh Zulkarnaini Diran

NIKMATNYA MENULIS

Bulan Maret 1978 saya resmi menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) guru. Pintu gerbang CPNS saya masuki dengan melenggang. Tanpa bersusah payah pintu itu terbuka lebar. Tidak ada aral melintang, tidak ada hambatan apapun, tidak ada kendala berarti untuk menuju ke “sangkar emas” itu. Sekurang-kurangnya itulah yang saya rasakan saat menerima selembar Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai CPNS guru.

Resmi menjadi guru SMP di Agam mengandung konsekuensi. Konsekuensi pertama adalah menerima penghasilan sebagai CPNS, 80% dari gaji pokok. Penerimaan saat itu lebih kurang Rp 16.200,00 (enambelas ribu dua ratus rupiah). Dibandingkan dengan penghasilan saya sebelumnya lebih rendah. Sebelum jadi guru, sebelum masuk ke proyek sekolah guru (PGSLP- Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), saya bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa. Saya sempat menjabat sebagai Kepala Unit Pemasaran di perusahaan itu. Penghasilan saya lebih dari lima kali lipat penghasilan guru CPNS. Tapi apa yang hendak dikata, saya telah  masuk ke gerbang itu dan harus hidup di situ.

Penghasilan 80% dari gaji pokok yang diterima, benar-benar jauh dari cukup. Kebutuhan sebulan tidak terpenuhi dengan penerimaan seperti itu? Tidak. Tidak sama sekali. Kalau pun berhemat dengan sehemat-hematnya juga tidak cukup. Untuk makan dan keperluan sehari-hari saja tidak cukup, apalagi untuk kebutuhan lain seperti berlangganan surat kabar, majalah, dan untuk menonton di bioskop Bukittinggi. Tidak cukup sama sekali, benar-benar tidak cukup.

Surat kabar Haluan Padang Kantor Perwakilan Bukittinggi meluncurkan program Koran Masuk Desa (KMD). Kepala perwakilan Haluan Yalfema Miaz (kini: guru besar di Universitas Negeri Padang – UNP), mengajak banyak orang untuk bergabung di KMD. Salah satu yang diajak secara tidak langsung adalah saya, Zulkarnaini, guru SMP Negeri Empat Angkat, Agam, Sumatera Barat. Saya menyebutnya ajakan tidak langsung karena saya “mencoba-coba” menulis “Opini Ringan” di KMD itu. Beberapa tulisan yang saya kirim ternyata lolos dan diterbitkan. Wah, ada kebanggan. Yalfema Miaz selalu berkomentar tentang tulisan yang terbit, dia memberi semangat dan memotivasi penulis KMD (baik berita maupun opini). Itulah yang saya sebut ajakan tidak langsung.

Dua bulan menulis di Koran Masuk Desa (KMD) Haluan, saya diberi tahu oleh staf Haluan Perwakilan Bukittinggi. Saya dapat mengambil honorarium tulisan ke Padang, ke Kantor Pusat Harian Haluan Jalan Damar Padang. Ragu-ragu saya berpikir. Saya pergi ke Padang mengambil honor atau saya buat saja surat kuasa kepada staf perwakilan untuk mengmabilnya. Seminggu berpikir, akhirnya saya ambil sendiri honor tulisan itu ke Padang. Setelah mengikuti prosedur administrasi, akhirnya saya menerima sejumlah uang dari hasil tulisan. Saya berbahagia bercampur haru karena uang yang saya terima hampir tiga kali gaji saya sebulan sebagai calon PNS guru. Alhamdulillahirabbil alamin.

Kebanggan atas terbitnya tulisan, atas terpublikasikan tulisan di media massa dan kebahagiaan serta kegembiraan ketika menerima honorarium merupakan motivasi bagi saya untuk terus menulis. Saya terus menulis dan terus menulis. Saya menulis tentang apa saja. Misalnya, ketika saya berada di sekolah ada penjual sate yang datang. Saya wawancarai tukang sate ini. Sudah berapa lama menjadi tukang sate, berapa jumlah anggota keluarganya, sudah sekolah di mana anaknya, dan apakah biaya hidupnya cukup dari penghasilan berjualan sate. Jawaban dari pertanyaan-pertnyaan itu saya formulasikan di dalam tulisan. “Suka dan Duka Kehidupan Ajo Malin”. Tulisan seperti itu ternyata tersedia kolom khususnya di Haluan Minggu.

Hal-hal sederhana, hal-hal kecil yang ada dalam kehidupan sehari-hari ternyata dapat ditulis. Jika dikemas dan disajikan dengan baik, ia akan muncul dalam bentuk tulisan yang menarik. Minimal, tulisan itu menarik bagi redaktur dan akhirnya diterbitkan.

Tahun-tahun pertama menulis di Surat Kabar Haluan terbitan Padang, khususnya di Koran Masuk Desa (KMD), saya banyak berlatih. Sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP saya juga terus mendalami teori-teori tentang menulis. Setelah saya baca seperangkat teori menulis, kemudian langsung saya cobakan, saya terapkan. Kemudiaan saya mempelajari berbagai jenis tulisan jurnalitik. Opini, berita, dan lain-lain saya pelajari. Saya terus dan terus berlatih. Tanpa disadari, ternyata saya telah menjadi penulis yang produktif dalam skala kecil-kecilan.

Saya tidak hanya menulis untuk surat kabar, tetapi juga menulis bahan ajar. Materi pelajaran yang akan saya sajikan kepada peseta didik saya kemas sedemikian rupa, saya tulis dalam bentuk diktat. Sesuai dengan strategi pembelajaran yang saya pahami bahwa belajar harus dimulia dari yang dekat kepada yang jauh, dari yang konkret ke yang abstrak, dari yang mudah kepada yang sulit, dan begitu seterunya. Dengan membuat bahan ajar sendiri, pemahaman itu bisa saya terapkan. Kadang-kadang kalau saya membuat bacaan atau wacana untuk siswa, nama-nama siswa yang menonjol saya pakai untuk menamai tokoh dalam wacana itu. Begitu pula halnya dengan kejadian atau perisitiwa dalam wacana, sengaja saya ambilkan perisitiwa yang benar-benar dialami oleh lingkungan siswa.

Bahan ajar yang saya susun dan yang saya gandakan sendiri, tenyata juga diminati oleh rekan-rekan yang mengajar di sekolah lain. Saya gandakan lebih banyak, saya modali sendiri, sampulnya saya buat dalam bentuk sederhana tetapi menarik dan pas. Siswa dari sekolah lain ikut mengkonsumsi bahan ajar yang saya tulis, hingga saya pun dikenal bukan hanya oleh sejawat guru, tetapi juga oleh peserta didik SMP yang menggunakan bahan ajar itu.

Guru-guru sejenis sering berkumpul untuk membahas masalah-masalah dalam pembelajaran. Begitu juga guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMP di daerah saya bertugas. Perkumpulan guru mata pelajaran itu namanya Musyawarah Guru Bidang Studi (MGBS). Kemudian berubah  nama menjadi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sampai kini nama MGMP masih dipakai. Setiap pertemuan saya sering diminta oleh teman-teman menjadi narasumber. Dari pengalaman itu, saya pun mulai belajar menulis makalah. Makalah tentang suatu topik yang dapat disajikan dalam pertemuan-pertemuan dengan guru. Akhirnya yang meminta saya menjadi narasumber bukan hanya guru Bahasa dan Sastra Indonesia saja, guru mata pelajaran lain pun mengundang saya.

Menulis, menulis, dan terus menulis. Tulisan saya semakin banyak. Saya terus memproduksi tulisan-tulisan opini tentang pendidikan, pengajaran, bahasa, sastra, dan seni. Karena tulisan saya semakin banyak, saya mencoba mengirim ke surat kabar lain. Ada tiga surat kabar yang terbit di Padang saat itu. Ketiga surat  kabar itu adalah Haluan, Singgalang, dan Semangat. Saya juga mengirim tulisan ke Singgalang dan Semangat dengan nama samaran, bukan nama seperti di Haluan. Ternyata tulisan saya juga dimuat di dua surat kabar daerah itu. Saya menggunakan nama samaran karena saya dengar dari rekan-rekan yang juga menulis, tidak etis kita mengirim tulisan ke lebih dari satu surat kabar dengan nama yang sama.

Saya coba menghitung-hitung penghasilan sebulan dari tulisan. Ternyata tiap bulan saya menerima secara bervariasi. Dari ketiga surat kabar yang menerbitkan tulisan saya itu saya menerima rata-rata di atas penghasilan sebagai guru. Kebutuhan tulis-menulis dan kebutuhan jurnalitik saya lengkapi secara bertahap. Saya dapat membeli mesin ketik merk royal dan memberi kamera merk yasika. Mesin tik dan kamera adalah instrumen penting dalam kerja jurnalisitik dan tulis-menulis.

Sebelum membeli mesik ketik, saya menggunakan fasilitas sekolah. Saya meminjamnya dari kepala sekolah. Sore hari, mesin tik saya bawa pulang. Pagi sebelum pegawai masuk kantor, mesin sudah saya kembali ke tempatnya di kantor. Cukup lama saya menggunakan mesin sekolah untuk menulis. Untungnnya, saya tinggal dekat sekolah, hanya lebih kurang 300 meter tempat tinggal saya dari sekolah.

Tulisan-tulisan saya tentang pendidikan, pembelajaran, budaya, sastra, dan seni mulai dikenal oleh kalangan yang lebih luas. Tulisan-tulisan tersebut mendapat respon dari berbagai kalangan. Rekan-rekan sesama guru meresponya dengan berbagai cara. Adakalanya kami berpolemik di surat kabar sampai berbulan-bulan. Sejawat saya guru bahasa Indonesia dan guru mata pelajaran lain yang sering menulis ikut terlibat di dalam polemik itu. Bahkan dosen-dosen muda pun ikut terlibat dalam diskusi melalui media massa itu. Trsebutlah di antaranya yang sering muncul berpolemik seperti Indra Jaya Nauman, Wanndra Ilyas, Amrius Bustamam dari kalangan guru. Dari kalangan mahasiswa dan sastrawan tercatatlah seperti Dasril Ahmad, Jasnur Asri (kini: guru besar di UNP), dan banyak lagi untuk disebutkan satu-persatu.

Ada juga yang merespon tulisan saya melalui surat. Mereka menulis surat kepada saya. Ada seorang guru Bahasa Indonesia dari Kota Solok. Bu Emi (Zulhelmi, kini Pengawas Sekolah di Kota Solok), menulis surat kepada saya. Ia nyatakan, tulisan saya sangat mengena di hatinya. Ia menyukai tulisan itu. Bahasanya mengalir, isinya menyentuh, dan masalah yang diangkat sangat aktual. Untuk tulisan-tulisan itu ia meminta saya untuk menceritakan pengalaman menulis saya. Ia mengaku “ingin belajar” dari pengalaman saya. Hal-hal seperti itu membuat saya semakin bersemnagat menulis. Dan saya terus menulis dan menulis.

Suatu hari saya menerima sepucuk surat. Alamat penulisnya tertera sebagai Siswa SMP Negeri 1 Padang. Isinya menyatakan bahwa tulisan saya tentang sastra sangat diminatinya. Tulisan saya tentang sastra memang lebih banyak menjebatani antara karya sastra dengan pembacanya. Pernyataan siswa ini saya lihat dalam suratnya sangat tulus. Selain menyatakan tulisan saya bagus, ia juga ingin berkenalan lebih lanjut dengan saya. “Saya ingin mengenal Zulkarnaini dari dekat, latar belakangnya, kehidupan sehari-harinya, dan pergaulannya sesama remaja,” begitu ditulis oleh siswa SMP 1 Padang itu di dalam suratnya.

Rupanya, siswa yang menulis surat ini menganggap bahwa saya adalah siswa di SMP Empat Angkat (Ampek Angkek). Di bawah judul tulisan saya selalu dibubuhi nama, di bawah nama itu selalu saya tulis “SMP Empat Angkat, Agam”. Oleh karena labelnya sekolah tempat saya bertugas, siswa tersebut mengira saya juga siswa sama dengan dia. Saya memang tidak mencantumkan di bawah nama saya “guru”, hanya nama sekolah saja.

Untuk tidak mengecewakan  penulis surat, siswa SMP 1 Padang ini, saya membalas suratnya. Saya tempatkan  diri saya sebagai siswa. Di antara yang saya tulis adalah, “Saya Zulkarnaini, lahir dari keluarga petani, keluarga sederhana. Tinggal di desa, di kampung yang setiap pagi menghirup udara bersih. Tidak ada polusi, tidak ada ampas gas knalpot kenderaan di kampung saya. Dalam suasana itulah Zulkarnaini menapaki hidup dan kehidupannya.” Itulah di antaranya yang saya tulis. Lama kami berkorespondensi, lama juga rahasia itu terbuka. Mungkin ada satu tahun suratnya mengalir kepada saya dan konsekuensinya saya juga harus membalas surat siswa itu dengan berpura-pura sebagai siswa juga.

Rahasia itu pun terbongkar. Saat itu ada Jambore Daerah Pramuka di Padang Besi, Kota Padang. Peserta Jambore itu berasal dari berbagai Kwartir Cabang Pramuka se-Sumatera Barat. Dari Kwartir Cabang Agam, ada dua regu pramuka (putra an putri) yang berasal dari Gugus Depan (Gudep) SMP Empat Angkat yang saya bina yang menjadi untusan. Pramuka penggalang yang saya bina ini saya persiapkan secara fisik dan mental. Mereka ikut ke Padang Besi untuk berjambore.

Siswa yang menjadi sahabat korespondensi saya itu juga menjadi utusan dari Kwartir Cabang Kota Padang. Mendengar ada nama SMP Empat Angkat, siswa tersebut langsung mencari tau. Apakah Zulkarnaini ikut di dalam kontingen Kwarcab Agam. Cari punya cari, dia bertemu dengan seorang Pramuka Penggalang dari Gudep SMP Empat Angkat. Mereka berdialog, mereka bercerita, mereka berbicara tentang Zulkarnaini. Pramuka Penggalang binaan saya itu juga bercerita, betapa Zulkarnaini menjadi idolanya, Zulkarnaini menjadi panutannya. Tetapi hari ini “Kak Zul” tidak bisa ikut karena berangkat ke Bali untuk suatu kegiatan. Begitu Penggalang yang saya bina itu menjelaskan.

Siswa teman korenspondensi saya itu penasaran. Ingin mengorek informasi lebih banyak tentang Zulkarnaini. Pada akhir cerita seorang Pramuka Penggalang (Elfia- kini telah tiada) yang saya bina mengatakan, “Zulkarnaini itu adalah guru Bahasa Indonesia kami, dia Pembina Pramuka Kami, dan dia Pembina eksrakurikuler di sekolah kami.” Rahasia saya pun terbongkar. Sang siswa SMP 1 Padang yang menjadi teman korespondensi saya hampir satu tahun itu menyadari bahwa selama ini yang ia anggap siswa adalah guru. “Sahabat pena” yang selama ini dianggapnya remaja ternyata adalah seorang guru. Dia tidak kecewa, hal itu dibuktiakn oleh suratnya disampaikan melalui Pramuka Penggalang saya.

Jalinan kejadian itu ternyata muncul bukan tiba-tiba. Peristiwa itu muncul karena tulisan, kejadian itu ada karena menulis. Oleh karena itu saya terus menulis, menulis, dan menulis.

Selesai mengambil honor tulisan dari Singgalang di Jalan Veteran, dari Haluan di Jalan Damar, dan dari Semangat di Balai Prajurit Imam Bonjol, saya berjalan ke Toko Buku Anggrek (kemudian menjadi Sari Anggrek). Seperti biasa saya lakukan, kalau menerima honor tulisan, prioritas utama adalah buku dan keperluan tulis-menulis lainnya. Kadang-kadang tanpa disadari honor satu bulan habis untuk buku. Saat itu saya membeli buku berjudul “Kritik dan Solusinya”. Penulisnya saya tidak ingat. Penerbitnya Gramedia. Buku setebal seratus halaman itu sangat menarik bagi saya. Selain bahasanya yang mengalir dan mudah dicerna, isinya sangat bernas.

Isi buku itu mendorong saya untuk mengembangkan pola tulisan. Jika selama ini tulisan saya berbicara tentang pendidikan, pembelajaran, bahasa, sastra, dan seni kini memasuki wilayah baru yakni “mengeritik birokrasi pendidikan”. Saya mulai melihat, mengamati, mencatat, dan memahami fenomena pendidikan mulai dari kelas sampai kepada pengelolaan oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil pengamatan saya itu saya rekam dengan baik. Rekaman itu saya dokumentasikan. Ada yang dalam bentuk catatan dan ada yang  dalam bentuk foto, gambar, dan pita kaset.

Fenomena-fenomena itu menjadi bahan baku tulisan saya. Kondisi sekolah, pengelolaan pembelajaran di sekolah, pengelolaan keuangan di sekolah menjadi bahan baku tulisan saya. Saya ceritaka kondisi ril di sekolah secara umum, saya kaitkan dengan ketentuan yang berlaku, kemudian saya nukilkan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi. Kemudian saya tawarkan solusinya. Solusi yang saya tawarkan sesuai dengan permasalahan (kesenjangan antara kenyataan dengan yang seharusnya) yang terjadi. Tulisan-tulisan seperti itu belum banyak yang ingin membuatnya, apalagi dari kalangan guru. Tulisan seperti itu dianggap “menantang matahari”. Beberapa orang teman dekat mengintakan saya, bahwa tulisan saya bisa membahayakan diri sendiri.

Dampak tulisan itu luar biasa. Kepala sekolah mulai ingin tau, Zulkarnaini itu seperti apa. Pejabat pendidikan mulai menyigi dan mengintip eksistensi saya. Pejabat sturktural dan pejabat fungsional mulai menimbang-nimbang eksistensi Zulkarnaini dengan tulisan-tulisannya. Banyak yang sependapat dengan tulisan-tulisan yang saya publikasikan, tetapi lebih banyak yang kurang atau tidak sependapat. Apalagi tulisan-tulisan yang bernada kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang berlaku. Hal itu saya rasakan apabila saya bertemu dengan bapak-bapak birokrat pendidikan secara individu atau kelompok.

Banyak kejadian menarik di sekolah-sekolah. Hal-hal menarik itu tidak pernah atau jarang terungkap. Masalahnya hal-hal seperti itu selalu tertutup, atau ditutup-tutupi, tidak terpublikasi kepada masyarakat.  Misalanya dalam pengadaaan barang. Barang-barang yang dibeli dengan uang negara di sekolah, harganya sangat tinggi. Melebihi harga normal. Kala itu saya membeli satu rim kertas untuk kepentingan pribadi harganya Rp 1.000,00. Sementara sekolah tempat saya berugas dan beberapa sekolah lain membelinya Rp 4.000,00 satu rim. Kenapa mahal amat? Menjadi tanda tanya bagi saya.

Menyikapi hal itu saya lacak ke toko tempat berbelanjanya. Pemilik toko membenarkan bahwa harga sebenarnya hanya Rp 1000,00 sedangkan harga surat pertanggunang jawaban (SPJ)-nya Rp 4000,00. Memang pada harga paling tinggi itulah faktur dan kwitansi pembelian dikeluarkan toko. Kebenarannya terus saya cari ke Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) daerah itu. Saya menemui orang yang kompeten di bidang itu. Informasi yang didapat di kantor itu menjelaskan bahwa harga yang ditetapkan pemerintah memiliki rentangan. Itu ada regulasi yang mengatur. Rentangan jenis kertas seperti itu memang dari Rp 1.000,00 sampai dengan Rp 4.500,00. Jika ada yang mengambil harga Rp 4.000,00 itu sah menurut regulasi yang ada. Akhirnya saya hanya brkata, “oh”.

Hal-hal seperti itu menarik untuk ditulis. Sebenarnya itu membuka “borok” pengelolaan keuangan sekolah. Saya suka menelusuri dan menulis fenomena itu. Terus, kalau begitu akan banyak sekali uang-uang lebih belanjaan di sekolah. Uangnya untuk apa? Kepala sekolah saya orangnya terbuka. Semua investigasi yang saya lakukan dia benarkan. Sisa uang itu digunakan untuk “dana tak-tik”. Dana taktik itu adalah dana strategis dan untuk berjaga-jaga. Jika ada keperluan uang, tetaapi tidak tertera di mata anggaran, dana itulah yang digunakan. Dari kepala sekolah itu saya tau bahwa di sekolah harus ada dana strategis yang di dalam mata anggaran tidak ada.

Kalau dapat yang begitu-begitu tidak usaha ditulis. Itu akan berdampak buruk kepada  sekolah. Masyarakat nanti tau bahwa sekolah tempat “kebohongan penggunaan anggaran”. Itu saran beberapa kepala sekolah kepada saya. Oleh karena ketika itu saya wakil kepala sekolah, saya tidak jadi menulisnya. Akan tetapi, saya tau begitulah mereka yang kepala sekolah “bermain”. Ketika hal yang sama saya tanya kepada wakil kepala sekolah lain yang ada di sekitar saya, mereka tidak tahu sama sekali. Seluk-beluk keuangan tidak pernah diketahui wakil. Hanya kepala sekolah dan bendahara saja yang tahu masalah itu. Saya bersyukur mendapat kepala sekolah yang terbuka dan informasi keuangan pun ada pada saya.

Saya menyadari posisi wakil. Wakil kepala sekolah itu sebenarnya jabatan apa. Wakil kepala sekolah itu berperan sebagai wakil guru atau wakil kepala sekolah. Nah, inilah yang menarik saya tulis. Ini hal yang mungkin berpengaruh untuk ditulis. Lahirlah tulisan saya dan dipublikasikan pada Harian Haluan Padang di bawah judul, “Wakil Kepala Sekolah Itu Jabatan Apa?”

Selesai mengambil honorarium tulisan di media tempat saya menulis, saya menyempatkan diri singgah di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Sudirman 52 Padang. Ada beberapa orang pejabat yang saya kenal di kantor itu. Salah satu di antaranya adalah Drs. Syamsir Alam. Beliau menjadi pengawas sekolah SMP dan SMA. Beliau saya kenal dekat karena beberapa kegiatannya pernah saya tulis dan saya ulas. Beliau adalah pakar perpustakaan sekolah. Beliau berjuang untuk mengembangkan perpustakaan sekolah di Sumatera Barat. Ketika saya menulis tentang pentingnya perpustakaan sekolah dan perlunya perpustkaan sekolah dikelola dengan baik, beliau sangat apresiatif. Beliau menyukai tulisan-tulisan saya.

Saat saya masuk ke ruangan pengawas sekolah, beliau memperkenalkan saya dengan bapak-bapak pengawas yang ada di situ. Saya merasakan sesuatu, ada yang menyukai keberadaan saya dan banyak yang tidak menghrapkan kehadiran saya di ruangan itu. Itu perasaan atau filing saya saja. Memang tulisan-tulisan yang saya publikasikan di surat kabar daerah, banyak yang menyerempet-nyerempet dengan tugas kepengawasan dan mutu pendidikan. Mungkin ada yang merasa tersinggung, sehingga tidak menerima keberadaan saya. Mereka yang seperinsip dengan saya, tentu menyukai keberadaan saya.

Saya merasakan ada yang menyukai saya, ada tidak menyukai, bahkan ada yang membenci saya karena tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Saya senang seperti itu. Sekurang-kurangnya saya menjadi “terkenal”. Minimal saya merasakan bahwa menjadi “terkenal” di kalangan pendidikan di Sumatera Barat karena sering melontarkan kritikan-kritikan terhadap fenomena yang terjadi di dunia pendidikan. Saya dikenal orang karena saya menulis, saya “terkenal” saat itu karena tulisan saya. “Nyatakanlah dirimu dan eksistensimu melalui tulisan-tulisanmu,” kata orang-orang bijak.

Hari itu juga, saya diundang oleh Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum (Kabid Dikmenum) ke ruangannya. Kebetulan ruangan Pengawas Sekolah hanya berbatas satu gang dari ruang Kabid. Dengan ramah, Kabid Dikmenum, Drs. A. Karim (kini: almarhum) menanyakan kepada saya perihal tulisan yang berjudul “Wakil Kepala Sekolah itu Jabatan Apa”. Yang beliau tanyakan itu adalah “keinginan” saya tentang wakil kepala sekolah. Saya jelaskan kepada beliau seperti yang tertera di dalam artikel itu.

Saya ingin wakil itu adalah wakil kepala sekolah, bukan wakil guru. Oleh karena itu dia harus ditunjuk oleh kepala sekolah berdasarkan kriteria tertentu. Bukan dipilih oleh guru seperti layaknya saat itu. Jika dipilih oleh guru, yang terpilih akan menjadi wakil guru, bukan wakil kepala sekolah. Maunya saya, wakil itu adalah unsur pemimpin di sekolah. Segala hal yang berhubungan dengan kepemimpinan sekolah, wakil harus terlibat. Termasuk di dalamnya masalah-masalah mendasar sepeti keuangan dan pengambilan keputusan.

Terakhir saya meminta dan memohon kepada kepala bidang agar wakil itu dijadikan kader kepala sekolah. Untuk menjadi pemimpin sekolah yang berkualitas harus ada kader. Kader itu dibuat atau dikaderkan. Satu-satu yang dikaderkan ialah wakil kepala sekolah. Untuk itu, para wakil ini harus ditingkatkan kemampuannya, ditatar. Penataran sekurang-kurangnya dilaksanakan di tingkat provinsi. Itulah permohonan dan permintaan saya kepada Kabid Dikmenum A. Karim.

Lama beliau tercenung memikirkan permohonan saya itu. Kemudian terlontar dari mulutnya pertanyaan tentang anggaran untuk penataran. Spontan saya menjawab. Ada tiga solusi. Pertama, wakil membiayai sendiri untuk ikuti penataran. Kedua, dibiayai oleh sekolahnya dari dana Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3). Ketiga, dibiayai oleh  Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Akhirnya, diskusi hampir satu jam itu berakhir.

Yah, diskusi dengan Kabid Dikmenum yang terkenal “menakutkan” itu ternyata bisa terjadi. Hal itu tidak lain karena ada “tulisan”. Saya menulis, dan menulis. Karena tulisan-tulisan itu saya berkontribusi untuk para pengambil keputusan. Sekurang-kurangnya begitu pikiran saya.

Lebih kurang dua bulan setelah diskusi dengan Kabid Dikmenum itu, saya sebagai wakil kepala sekolah mendapat undangan. Undangan penataran wakil kepala sekolah angkatan pertama. Saya bergembira, saya bersyukur. Bukan karena saya diundang saja, saya bergembira, tetapi yang paling menggembiarakan adalah tulisan saya berupa kritik dan saran tentang posisi wakil kepala sekolah direspon oleh para pejabat pendidikan. Akhirnya, penataran itu pun dilaksanakan dengan biaya dari dana BP3 yang disetorkan sebanyak dua seetengah persen tiap bulan ke Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Sumatra Barat. Saya berbahagia dan bergembira karena dapat berkontribusi lewat tulisan. Oleh sebab itu saya terus menulis dan menulis.

Dalam kondisi seperti itu terasa nikmatnya menjadi penulis. Ada ide, gagasan, dan pendapat. Kemudian dilontarkan kepada publik melalui tulisan. Ide itu direspon oleh masyarakat pembaca. Bisa saja responnya menolah atau menerima. Jika mereka menolak, penulis juga berbahagia. Berarti ide itu tidak berkenan di hati masyarakat. Nah, jika ide itu berterima dan kemudian masyarakat menerapkannya, di situlahlah kenikmatan luar biasa bagi penulisnya. Ada bermacam-macam kenikmatan yang bergelimang di dalam diri penulis. Itulah pula sebabnya saya terus menulis dan menulis sampai kini.

Untuk mendapatkan selera “kecanduan” menulis inilah salah satu resepnya. Rasakan kenikmatan setelah tulisan kita selesai. Teguk kenikmatan sedalam-dalamnya manakala tulisan kita direspon oleh orang lain. Dan jadikan kenikmatan itu sebagai suatu kebutuhan jika tulisan kita selesai, direspon, dan digunakan oleh orang lain. Untuk memperoleh kenikkamatan akan menjadi kecanduan, memang harus dilihat dampak dari tulisan itu. Ada dua dampak yang pelu dilihat yakni dampak internal dan dampak eksternal.

Dampak internal lebih banyak dilihat dari perasaan dan pikiran penulis. Jika penulis merasa mendapat sesuatu dari menulis, akan menimbulkan efek psikologis. Efek-efek itu di antaranya adalah kepuasan batin, rasa senang, dan rasa bahagia. Bisa juga efeknya kebalikan dari itu. Ketika tulisan terpublikasi, muncul efek internal kegelisahan dan kegundahan. Jangan lupa gegelisahan dan kegundahan karena tulisan juga termasuk bagian dari “kenikmatan” menulis.

Dampak eksternal dapat dilihat dari respon pembaca. Manakala pembaca merespon positif, penulis merasa puas. Respon poisitif itu bisa bermacam-macam. Di antaranya yang paling rendah adalah pernyataan setuju dari pembaca atas gagasan yang dilontarkan melalui tulisan. Respon yang paling hebat adalah gagasan yang ada di tulisan menjadi perbincangan banyak orang dan kemudian mereka terapkan atau gunakan dalam kehidupannya. Nah, jika ini yang terjadi, betapa nikmatnya menjadi penulis. Bukan setelah kita meninggal, salah satu di antaranya yang masih tersisa adalah “ilmu yang bermanfaat”?

Mengeritik fenomena pendidikan, kebijakan pendidikan menjadi hobi saya. Saya kecanduan menulis tentang itu. Seorang profesor senior di Kampus Selatan FKSS kemudian menjadi FPBS IKIP kini menjadi FBS UNP Padang (kini beliau telah almarhum), mengatakan, “Kalau bukan menyerempet birokrasi pendidikan, bukanlah tulisan Zulkarnaini. Kekhasan Zulkarnaini adalah menyerempet-nyerempet”, kata beliau ketika mengulas tentang “guru-guru yang menulis” dalam suatu temu ilmiah. Saya merasa senang menerima pernyataan-pernyataan sejenis itu. Itulah makanya saya menyebutnya kecanduan, kecanduan menulis kritik tentang fenomena pendidikan.

Dari kampus tempat saya pernah belajar, memang ada beberapa dosen yang selalu menyupor saya untuk terus menulis. Di antaranya adalah Prof. Rizanur Gani (kini: almarhum). Beliau guru besar bahasa dan sastra Indonesia di Kampus Selatan, FPBS IKIP Padang (kini: FBS UNP). Motivasi diberikan Prof. Riza srcara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung, jika bertemu secara kebetulan, Pak Riza (begitu kami memanggilnya), selalu menymapikan saran terhadap tulisan-tulisan yang di abaca. Secara tidak langsung, beliau mengatakan bahwa semua tulisan saya yang terpublikasi di surat kabar, selalu di abaca. Betapa “nikmatnya” manakala guru kita yang guru besar, “mau” membaca tulisan-tulisan sederhana itu. Wah… menulis dan terus menulis.

Suatu kali ada temu ilmiah pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di IKIP Padang. Temu ilmiah itu terlaksana atas kerjasama Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudyaan Provinsi Sumbar. Upacara seremonial pembukaan dihadiri oleh  Kepala Kanwil dan sekaligus meberikan orasi. Orasi ilmiah atas nama Kepala Kanwil Dikbud itu disampaikan oleh kepala bidang Pendidikan Menengah Umum. Usai orasi itu, Prof. Rizanur Gani yang duduk di samping saya, berkomentar. “Makalah ini pastilah ditulis oleh Zulkarnaini,” katanya sambil menoleh kepada saya.

Prof Rizanur menjelaskan kemudian. Dia mengatakan sangat hafal dengan diksi dan langgam kalimat-kalimat Zulkarnaini. Hal itu terjadi bukan karena serta-merta, bukan pula karena Zulkarnaini pernah menjadi mahasiswanya. Langgam dan gaya bahasa Zulkarnaini dipahami guru besar ini karena hampir semua tulisan yang terpublikasi melalui surat kabar, dibacanya. Nah, benar-benar “nikmat” rasanya menjadi penulis.

NYARIS DIPECAT KARENA TULISAN

Pada waktu lain, ada lagi pengalaman menarik tentang menulis. Datanglah seorang pengawas sekolah ke sekolah saya. Sang Pengawas yang penuh wibawa itu diantarkan oleh mobil berplat merah, mobil dinas. Turun dari mobil disambut oleh kepala sekolah, langsung diajak ke ruangan kepala sekolah. Usai berbincang “basa-basi” Sang Pengawas mengutarakan maksud kedatangannya. Ia ingin melakukan supervisi terhadap guru bahasa. Kepala sekolah menawarkan kepada saya. Saya menyanggupi. Begitulah kesepakatan di kantor kepala sekolah.

Pengawas Sekolah yang di kalangan kepala sekolah dan guru yang pernah dikunjunginya terkenal “angker” itu masuk ke ruangan kelas saya. Beliau duduk di belakang. Dengan sabar mengamati saya mebelajarkan siswa. Oleh karena saya menggap pengawas adalah supervisor, tugasnya mengumpulkan informasi tentang pembelajaran, kemudian akan melakukan pembinaan, maka saya merasa sangat senang atas kehadirannya. Saya tidak gugup sedikitpun, apalagi takut. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Pak Pengawas saya ini akan membimbing dan membina saya. Begitulah pembelajaran berlangsung seperti biasa tanpa ada goncangan apapun di kelas saya.

Di akhir pembelajaran terjadi sesuatu yang mengejutkan. Ketika saya selesai menutup pelajaran, siswa saya masih dalam kelas, Sang Pengawas berdiri dan mengatakan, “Persiapan mengajar yang Saudara buat ini salah”, sambil membanting ‘satuan pelajaran’ saya ke meja guru. Siswa saya kaget, dan yang lebih kaget lagi saya. Spontan saya menjawab, “Bapak kalau menyalahkan saya, tolong jangan dekat siswa saya, tetapi nanti di kantor.” Persis begitu kalimat saya. Dengan menggerutu, Sang Pengawas berlalu dan menuju kantor kepala sekolah. Saya benahi buku-buku saya, termasuk persiapan mengajar saya yang dikatakan salah. Saya langsung menyusul Sang Pengawas menuju ruangan kepala sekolah.

Di ruangan kepala sekolah saya menjadi pesakitan. Tidak ada keramahan seorang “supervisor” yang saya dapat. Kelihatan di wajahnya ekspresi marah dengan “menyalahkan” program persiapan mengajar yang saya buat. Saya amati wajah kepala sekolah saya, menunjukka ekpresi tidak menerima gurunya disalahkan dengan cara seeperti itu. Di situlah saya tau bahwa kepala sekolah saya, Ibrahim Yahya, B.A. (kini almarhum) benar-benar konsisten mengayomi gurunya.

Kalimat-kalimat tak terkendali keluar dari mulut Sang Pengawas. Ada nada-nada ancaman. Pokoknya tidak etislah kalau dituliskan di sini. Saya merespon dengan perasaan “marah” juga. Tetapi marah saya tidak saya lampiaskan karena saya ‘menghormati dan menimbang’ keberadaan kepala sekolah saya yang santun dan kebapakan itu. Saya berdiri dan saya keluar ruangan menuju ruangan guru. Saya buka laci meja saya. Saya ambil sebuah buku kurikulum. Judul bukunya “Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar, Kurikulum 1975”. Buku itu saya bawa ke ruangan kepala sekolah. Saya lihat situasinya sedikit mereda. Saya mulai membuka pembicaraan.

“Pak, sepengetahuan saya, salah atau benar ada kriteria dan ukurannya. Saya membuat persipan mngajar berdasarkan buku ini. Buku ini dikeluarkan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kecuali jika ada petunjuk baru, saya menerima untuk disalahkan. Akan tetapi kalau petunjuk masih ini, saya tidak mau disalahkan,” begitu saya mengungkapkan dengan berusaha setenang mungkin.

Buku itu menginformasikan. Ada tiga model Persiapan Mengajar. Model pertama bermatrik dari kiri ke kanan. Ditulis secara horizontal. Model kedua dari atas ke bawah, ditulis secara vertikal. Model tiga berbentuk makalah dan diuraikan secara rinci dan detil. Saya membuat model ketiga karena saya “penulis”. Rupanya Sang Pengawas hanya memahami dua model saja, yaitu model pertama dan kedua. Model katiga tidak pernah dihayati, dan mungkin juga belum ada guru yang  membuat seperti itu. Oleh karena itulah saya disalahkan.

Namanya “pejabat” yang menganggap dirinya penguasa dari provinsi, dari Kantor Wilayah Depdikbud, tidak mau menerima penjelasan saya. Dia tidak mau menerima salah. “Pokoknya yang Saudara buat itu menyimpang dari kelaziman,”katanya dengan nada tinggi. Karena nadanya tinggi, saya pun mulai nekat. Saya dari awal berupaya menahan diri, berupaya menghormati orang ini. Akan tetapi ketika nadanya tidak lagi “etis” menurut saya, saya minimalkan resiko. Resiko paling minimal berhenti menjadi guru. Meluncurlah kalimat saya, “Tingkat keterbcaan Bapak yang rendah, saya Bapak salahkan.” Itulah kalimat saya dan saya berdiri untuk menghadapi segala kemungkinan. Kepala sekolah saya berkata, “Pak Zul, keluar, pergi ke ruangan guru!” katanya. Saya mengikuti perintah itu dengan menggigil.

Tiga langkah saya dari pintu masuk ruangan kepala sekolah, saya dengar lagi kalimat dari mulut Sang Pengawas, “Kurang aja guru angku nan surang ko (kurang hajar guru kamu yang satu ini)”.  Saya dengar juga kepala sekolah saya menjawab, “Jika pak Zul itu yang Bapak anggap kurang hajar, berarti saya telah gagal membina guru-guru saya. Jika dicari guru terbaik dari guru yang ada, dia termasuk di dalamnya. Dia mau tidur di sekolah untuk membina siswa, tidak pernah memakai hari libur untuk keluarga. Perhatiannya ditumpahkan ke sekolah. Dia sangat berdisiplin, rajin membaca, santun bergaul, tegas kepada sisiswa”. Pokoknya kalimat-kalimat pembelaan terhadap saya mengalir dengan bijak dari mulut kepala sekolah saya.

Mendengarkan kata-kata “kurang aja (kurang hajar)” itu saya benar-benar nekat dan meminimalkan segala resiko. Saya kembali ke ruangan kepala sekolah. “Coba Bapak ulang lagi kalimat itu! Bapak tau tidak, yang mengangkat saya menjadi guru adalah pemerintah. Sangat buruklah pemerintah ini kalau sempat mengakat seorang guru dari orang yang kurang hajar. Dan …”. Banyak lagi kata-kata saya yang keluar spontan saat itu. Termasuk tidak etis untuk saya tulis di sini. Akhirnya dengan nada tinggi kepala sekolah saya memerintahkan, “Pak Zul, keluar dari ruangan ini, pergi ke ruangan guru”, katanya. Saya sangat menghormati kepala sekolah saya ini. Saya menahan diri dan meninggalkan Sang Pengawas yang juga sangat marah tanpa ampun itu.

Sampai beberapa waku saya menenangkan diri. Teman-teman menyatakan dukungan kepada saya. Saya minum air bening satu sampai dua gelas. Ketika perasaan saya mulai agak nyaman dan pengawas itupun meninggalkan sekolah saya. Beberapa menit kemudian, kepala sekolah memanggil saya. Dia benar-benar membela saya. Kalimatnya, “Jika saya harus diberhentikan menjadi kepala sekolah sesudah ini, saya siap. Saya tidak dapat menerima guru-guru saya dimarahi dan dihina,” kata Pak Ibrahim Yahya dengan air mata berlinang. Saya memahami itu, saya menghormatinya. Saya berterimakasih kepadanya atas pembelaan itu. Dia “pasang badan’ untuk membela saya, yang kemudian saya sadari yang beliau bela adalah “kebenaran” yang dihayatinya.

“Saya harus membalas penghinaan ini,” itulah tekat saya. Sorenya saya selesaikan artikel untuk dikirim ke Haluan Padang dengan judul “Pengawas dan Penilik Bisa Saja Tidak Becus”. Di bawahnya saya tulis, “oleh Zulkarnaini, guru SMP Negeri Empat Angkat, Agam”. Saya benar-benar meminimalkan resiko. Jika oleh tulisan ini saya dianggap membangkang, saya siap unntuk menghadapi segala kemungkinan. Kemungkinan yang paling buruk adalah “diberhentikan” sebagai PNS guru. Saya siap untuk itu. Saya menghitung honor tulisan saya di surat kabar jauh lebih tinggi dari gaji PNS guru. Jika berhenti menjadi guru, saya masih bisa hidup dengan menulis. Begitulah saya bertekat.

Tulisan saya fax-kan melalui kantor Perwakilan Haluan Bukittinggi. Saya mohonkan kepada wakil pempin redaksi (Pak Pasni Sata), supaya tulisan saya diterbitkan secepatnya. Benar permohonan saya itu. Besok harinya tulisan saya terbit di halaman opini. Judulnya persis, tidak diubah. Isinya pun tidak diperbaiki. Saya gembira, saya bebahagia. Berarti perasaan dan pikiran saya sudah saya lontarkan untuk menghadapi fenomena pendidikan, fenomena kepengawasan saat itu. Saya dapat tidur nyenyak dan kepala sekolah saya hanya menatap kegembiraan saya, tetapi beliau tidak berkomentar atas tulisan itu.

Surat kabar Haluan memiliki oplah terbesar di Sumatera Barat dan Riau saat itu. Tentu saja dengan oplah besar itu, tulisan saya mnyebar ke berbagai pelosok dua provinsi ini. Jika tulisan itu dibaca oleh separoh pelanggan Haluan, berarti ribuan orang membaca tulisan saya. Saya senang karena perasaan marah saya tidak tersimpan. Pembalasan saya secara tidak langsung berhasil. Di dalam tulisan saya memang tidak menyebut nama, tetapi menyebut jabatan dan perangai-perangainya. Saya puas, saya senang. Teman-teman yang membaca tulisan saya di sekolah memberikan komentar yang bervariasi. Ada yang menyatakan saya terlalu “bagak – berani”, dan ada yang mendukung saya bahwa hal itu harus ditulis. Akan tetapi, ada beberapa orang senior mengingatkan saya atas resiko yang akan saya  hadapi.

Heri ketujuh setelah tulisan saya terbit di Haluan, pagi-pagi sekali sebelum pelajaran dimulai, saya dipanggil oleh kepala sekolah ke ruangannya. Saya biasa sampai di sekolah sebelum pukul tujuh. Adakalanya saya datang lebih dulu dari kepala sekolah dan adakalanya kepala sekolah lebih dulu. Pagi itu, ternyata kepala sekolah datang lebih dulu. Saya dipanggil ke ruangannya. Rupanya, saya mendapat panggilan dalam bentuk nota telepon. Panggilan itu langsung dari Kepala kantor Wilayah (Kakanwil) Deparetemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat. Isi panggilan itu sangat pendek. “Untuk kepentingan dinas, Saudara Zulkarnaini, guru SMP Negeri Empat Angkat harap menghadap Kakanwil Depdikbud pada hari Selasa pukul 09.00 jalan Sudirman 52 Padang”.

Kepala sekolah memberikan nota telepon itu kepada saya. Kemudian dia berucap, “Menurut Kakandepdikbud Agam, nota panggilan ini ada hubungan dengan tulisan Pak Zul minggu yang lalu. Nota ini sudah diterima oleh Kakandep hari Jumat, Sabtu diberikan kepada saya. Jika ini nanti beresiko memberhentikan Pak Zul sebagai PNS atau memindahkan Pak Zul ke daerah terpencil, saya tidak dapat membantu. Soalnya ini langsung dari Kakanwil.” Usai berbicara, saya menatap kepala sekolah saya. Dia benar-benar berbicara dari hatinya. Ada linangan di matanya. Saya meyakini bahwa beliau sangat prihatin dan merasakan masalah saya adalah masalahnya juga.

Saya memang sudah mempersiapkan diri untuk itu. Resiko menulis dan menulis. Konsekuensi sebuah tulisan harus diterima dan dihadapi. “Terimakasih, Pak,” hanya itu kalimat saya. Kemudian beliau memberikan nota panggilan itu kepada saya. “Berangkatlah besok pagi ke Padang. Karena ini perjalanan dinas, Pak Zul berhak mendapat transfor dari sekolah, minta kepada bendahara sekolah,” katanya. “Terimakasih, Pak,” hanya itu kata-kata saya.

Sejak menerima nota panggilan itu, saya mulai berpikir konsisten. Sejak awal, sejak menghadapi pengawas yang mensupervisi saya, sejak menulis artikel itu, dan sejak tulisan itu diterbitkan oleh Surat Kabar Haluan, saya telah mempersiapkan diri. Persiapan diri saya yang paling kuat adalah “meminimalkan resiko”. Ada sejumlah buku yang saya baca. Pesannya memang seperti itu. Jika menghadapi masalah, kemudian untuk memecahkannya memerlukan resiko, minimalkanlah resiko itu. Saya menggunakan jurus buku ini menghadapi kondisi saya saat itu. Resiko yang saya hadapi mungkin seperti yang dikatakan kepala sekolah. Pertama, saya diberhentikan sebagai PNS karena dianggap melawan atasan. Kedua dipindahkan ke daerah terpencil sebagai ganjaran atas kritikan terhadap institusi atau lembaga pemerntah.

Saya siap menghadapi resiko itu. Saya berani menerimanya. Keberanian itu muncul karena saya tidak terlalu khawatir untuk membiayai kehidupan keluarga. Selain istri saya juga guru, saya juga dapat berusaha dengan cara lain. Salah satu usaha untuk menupang kehidupan yang saya yakini saat itu adalah menulis. Dengan menulis saya bisa hidup. Dengan tulisan-tulisan saya, keluarga saya bisa saya biayai. Dengan modal itulah saya berangkat menghadap Pak Kakanwil Depdikbud, Pak Amir Ali.

Untuk dapat masuk ruangan Kakanwil juga tidak mudah. Ada sekuritinya, ada ajudannya. Kemudian harus mengisi form dulu, tujuan apa, urusan apa, dari mana, dan atas dasar hukum apa menemuinya. Wah, menghadapi seluk-beluk birokrasi seperti itu saya termasuk tidak sabaran. Akan tetapi perosedur itu, proses itu harus saya lalui. Saya ikuti semua ketentuan.

Seseorang yang duduk di depan ruangan Kakanwil, saya tidak ingat namanya, tetapi berperawakan besar, berkumis, dan kelihatan agak “angker”. “Saudara dari mana dan untuk urusan apa menemui Pak Kakanwil?” katanya. Saya jawab dengan spontan, “Saya guru Pak, guru di SMP Empat Angkat, Agam,”.  Dengan nada tinggi dia berkoemntar, “Guru tidak bisa langsung menghadap Kakanwil, Saudara harus melalui Kepala Bidang dulu, jadi Saudara harus ke lantai bawah diujung sana,” katanya. Saya mulai tidak enak, mau dijawab susah, tidak dijawab perasaan tidak enak. Saya sebagai guru merasa dilecehkan dengan kalimat-kalimat sperti itu. Saya tidak suka dilecehkan, apalagi dengan nada yang merendahkan martabat guru.

Keberanian saya terhimpun secara spontan. Ia menyatu di dalam pikiran dan perasaan saya. Dengan lantang saya menjawab, “Saya sadar sebagai guru, saya juga tidak ada niat untuk menemui Kakanwil Bapak, tetapi saya diundang untuk menemuinya, mohon maaf, Pak, Bapak telah menyinggung perasaan saya.” Pada saat itulah Pak Kakanwil keluar dari ruangannya. Saya mengenal wajahnya karena saya pernah beberapa kali mewawancarainya untuk bahan tulisan.

“Zulkarnaini? Masuk”, katanya. Saya tinggalkan orang yang telah melukai perasan saya itu dan saya langsung masuk ke ruangan Pak Kakanwil. Di ruangan itu saya disalami dengan hangat. Dia mengatakan bahwa setiap tulisan saya yang terbit di surat kabar dia baca. Dia menyatakan senang atas kritikan-kritikan itu. Oleh karena itu, dia memanggil saya hari ini untuk terus menulis, menulis, dan menulis.

Berhadapan dengan Pak Amir Ali, Pak Kakanwil sama dengan berhadapan dengan orang tua. Beliau penuh kebapakan. Beliau benar-benar pendidik. Bahasanya santun, edukatif, persuasif, dan arguemntatif. Kami berbicara tentang pendidikan. Hampir satu setengah jam saya berada di ruangannya. Dia berbicara tentang kualitas guru, kualitas pengawas, kualitas para pejabat. Di juga berbicara tentang pengelolaan sekolah, guru yang ideal, dan yang selalu ia fokuskan adalah menulis,  terus menulis.

Hal penting yang ia saran kepada saya ialah menggunakan setiap kesempatan untuk mempromosikan diri. Ada ungkapannya yang benar-benar saya catat. “Burung yang sama tidak pernah hinggap di pundak dua kali. Jika tidak ditangkap ketika ia hinggap, kita tidak akan pernah mendapat burung itu.” Ungkapan itu benar-benar saya rasakan, bahkan menjadi pengalaman hidup saya.

Hal yang saya bayangkan dan dipredikasi oleh kepala sekolah saya sebelum menemui Pak Kakanwil, ternyata tidak ditemukan seperti itu. Bertolak belakang dengan itu. Di ruangan Pak Kakanwil saya disuguhi minuman teh telur, makanan ringan, dan dilayani dengan ramah. Saya benar-benar dianggap sebagai temu. Dia bertegas-tegas, “Bapak suka tulisan-tulisan seperti yang Zul tulis, teruslah menulis. Tulisan itu memang harus menyerempet, jika tidak seperti itu, tidak akan diingat orang,” katanya. Waduh, saya senang dan berbahagia.

Tamu yang ingin menemuinya semakin banyak. Tamu-tamu lain paling diterimanya duapuluh menit. Saya hampir satu setengah jam. Sudah waktunya saya pamit. Sebelum saya meninggalkan ruangannya, beliau mengeluarkan dompet. Ini untuk ongkos pulang dan makan siang, katanya. “Itu uang Bapak, bukan dari kas negara,” katanya berkelakar. Saya kaget melihat jumlah uang itu, lebih dua kali gaji bulanan saya sebagai PNS. “Terimakasih, Pak”, sambil saya salami tangannya dengan hangat dan akrab. Dan saya meninggalkan ruangan orang nomor satu di bidang pendidikan di Sumatera Barat itu.

Saya renungkan kemudian. Jika saya tidak menulis, saya tidak akan bertemu dengan Kakanwil dalam suasana seperti itu. Hanya karena judul “Penilik dan Pengawas Bisa Saja Tidak Becus”, saya dapat berdialog panjang dengan Pak Kakanwil. Hanya karena menulis, menulis, dan menulis. Tulisan membuat peristiwa, membuat prosesi, membuat pengalaman baru. Oleh karena itu, saya terus menulis, menulis, dan menulis.

Tulisan adalah aktualisasi diri. Melalui tulisan dapat dinyatakan seperti apa diri kita, seperti apa pandangan kita, seperti apa pemikiran kita, dan seperti apa pendapat kita tentang sesuatu. Itulah yang saya lakukan melalui tulisan-tulisan saya. Itulah yang saya tulis dan saya publikasikan melalu berbagai media. Saya senang tidak disenangi oleh orang lain karena tulisan saya, saya lebih senang kalau disenangi oleh orang lain karena tulisan saya. Tentu saja untuk menghasilkan tulisan-tulisan seperti itu memerlukan perjuangan dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Itulah yang saya lakukan, belajar menulis sambil menulis.

Agar produktif menulis ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama piawai mencari bahan tulisan dan kedua terampil menggunakan bahasa tulis. Mencari bahan tulisan atau bahan yang akan ditulis dapat dilakuan dengan berbagai cara. Di antaranya ialah membaca. Semakin banyak bacaan yang dikonsumsi, semakin banyak bahan tulisan yang didapat. Selain itu juga mengamati dan mencatat fenomena hidup dan kehidupan. Semakin piawai mengamati dan mencatat kenyatan-kenyataan sehari, semakin banyak bahan untuk ditulis. Seperti dikatakan orang-orang bijak, “bacaan dan pengalaman adalah mata air tulisan yang tidak pernah kering”.

Kepala sekolah saya di SMP Negeri Empat Angkat, Ibrahim Yahya, pernah mengatakan kepada para petinggi di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bahwa ada seorang gurunya yang “gila” membaca. Gurunya itu bernama Zulkarnaini. Selain gila membaca juga gila mencari bahan bacaan. “Guru saya itu berani membuatkan saya  utang untuk membeli bahan bacaan,” kata Pak Ibrahim kepada salah seorang Pengawas Sekolah Senior di Padang. Pengawas yang bersangkutan kemudian menceritakan kepada saya. Saya merasa senang dan bangga dikatakan “gila” seperti itu.

Memang, membaca membuat kita kaya. Kaya dengan informasi. Informasi-informasi penting dan sangat berharga ada di bacaan. Informasi tentang hal-hal yuridis (hukum, undang-undang, dan peraturan) ada di bacaan. Informasi teoretis (keilmuan) ada di bacaan. Jika informasi itu dapat diserap dengan baik, apalagi dikuasai dengan baik, semua pertanyaan tentang hidup dan kehidupan terjawab olehnya. Minimal, jika berbricara dan berdialog kita selalu memiliki rujukan yang jelas dan tegas. Bukankah jika orang bijak berbicara selalu ada sumbernya? Itulah makanya saya berusaha menjadi orang “gila” membaca. Sampai usia senja seperti saat ini pun saya masih mencoba menjadi “si gila” membaca.

Jika kita mengayakan diri melalui membaca untuk bidang yuridis dan teoretis, maka harus diimbangi dengan kekayaan bidang empiris. Kekayaan empiris dapat diperoleh melalui berlatih untuk “sensitif” terhadap situasi dan kondisi. Sesintif terhadap keadaan-keadaan tertentu merupakan awal menggali kekayaan empiris. Jika kita mulai sesintif terhadap fenomena alam, sosial, budaya yang ada di lingkungan kita, tentu mulai bermodal besar mengumpulkan kekayaan empirik. Sensitifitas itu dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi yakni memiliki keterampilan memperhatikan, mengamati, dan jika perlu meneliti. Selanjutnya dikembangkan menjadi kemapuan mencatat fenomena itu dalam catatan atau rekaman-rekaman praktis. Nah, inilah yang menjadi modal untuk menulis.

Terampil menggunakan bahasa tulis adalah syarat kedua untuk dapat menulis. “Terampil” adalah kata sederhana yang selalu disebut-sebut untuk memperoleh kemampuan bidang apapun. Kata sederhana itu dapat dijelmakan melalui “berlatih”. Tidak ada jalan lain untuk mencapainya, hanya melalui “berlatih”. Jadi untuk terampil menggunakan bahasa tulis, ya, berlatihlah terus “menulis”. Tiap saat, tiap waktu, tiap hari menulis dan menulis. Tulis, tulis, dan tulis. Jadi, ada bahan tulisan tuliskanlah. Dengan demikian kita telah belajar menulis melalui menulis.

JADI WARTAWAN BENARAN

Selesai mengambil honorarium di Halun, Pak Firdaus (kini:almarhum), sekretaris redaksi memanggil saya. “Wapemred mengundang Pak Zul ke ruangannya,” kata beliau. Saya terkejut mendengarnya. Di dalam kalimat Pak Firdaus ada kata “mengundang”. Biasanya, kalau tidak terlalu sibuk Wapemred, Pak Pasni Sata juga bercengkrama di ruangan sekretaris Pemred. Berbicara tentang banyak hal, tentang pendidikan, tentang politik, tentang ekonomi, pemerintahan, dan sebagainya. Kali ini beliau mengundang saya.

“Bagaimana kalau Zul benar-benar menjadi “orang” Haluan. Artinya, menjadi wartawan di harian ini. Kelihatan Zul punya potensi untuk menjadi wartawan,” kata Pak Pasni Sata. Tentu saja ajakan itu saya respon secara spontan dan cepat. “Mau, Pak. Saya Mau,” jawab saya cepat. Memang keinginan untuk menjadi wartawan tetap sudah lama saya impikan. Pak Yalfema Miaz, Kepala Perwakilan Haluan Bukittinggi, juga pernah membayangkan hal itu. Bahwa saya memiliki potensi untuk menjadi pewarta atau wartawan.

Beberapa waktu kemudian, saya diajak Pak Pasni Sata ke ruangan Pemimpin Redaksi, Pak Anas Lubuk. Pemimpin redaksi Haluan ini sangat berwibawa. Berbicara hanya satu-satu. Tatapan matanya menakutkan (mungkin?) bagi yang tidak mengenal wataknya. Saya duduk sesopan mungkin. Saya memang baru kali ini memasuki ruangan Pemimpin Rdaksi. “Ini, Zulkarnaini yang kita bicarakan minggu lalu,” kata Pak Pasni kepada Pak Anas Lubuk. Saya mengulurkan tangan untuk menyalami beliau. Salam saya disambut dengan hangat dan akrab. “Duduk,” katanya pendek.

Pak Pasni Sata menjelaskan bahwa saya bersedia menjadi wartawan Haluan. Saya memperkuat jajaran Perwakilan Haluan Bukittinggi, terutama untuk memperkuat divisi Koran Masuk Desa (KMD). Memang, kabarnya Haluanlah yang mempelopori Koran Masuk Desa di Indonesia. Gagasan itu muncul dari pemikiran kepala Perwakilan Haluan, Yalfema Miaz. Gagasan itu terimajinasi oleh “serba masuk desa”. Seperti dulu dikenal dengan “ABRI Masuk Desa, Jaksa Masuk Desa”, dan sebaganya.

“Sudah berapa lama menulis di surat kabar?” tanya Pak Anas Lubuk.

“Hampir tiga tahun, Pak,” jawab saya.

“Ya, Zul berpotensi untuk menjadi wartawan, sekurang-kurangnya begitu evaluasi yang kami lakukan, terutama dari tulisan-tulisan dan opini yang Zul tulis,” katanya lagi.

“Terimakasih, Pak atas perhatian Bapak,” jawab saya.

Dalam pertemuan yang tidak terlalu lama itu saya dikukuhkan sebagai wartawan Haluan. Keluar dari ruangan Pemred, saya membawa secarik kertas. Kertas itu ditujukan kepada sekretaris redaksi. Isinya adalah instruksi kepada sekretaris redaksi agar saya dibuatkan surat keterangan sebagai wartawan Haluan. Surat keterangan itu berlaku tiga bulan. Setelah tiga bulan saya akan mendapat kartu pers yang dikeluarkan Pemred Haluan, Koran Nasional terbitan Padang. “Masa percobaan selama tiga bulan,” itulah yang saya tangkap di balik surat keterangan itu.

Waktu tiga bulan tidak terlalu lama. Staf Perwakilan Haluan Bukittinggi meminta pas foto saya ukuran 2×3 cm dua lembar dan 4×6 cm dua lembar. Kemudian ada format yang diisi. Foto dan format itu saya siapkan hari itu juga. Semua persyaratan itu saya serahkan kepada Pak Amiruddin (kini telah tiada), staf Perwakilan Haluan Bukittinggi. “Dalam minggu ini, mudah-mudahan Kartu Pers Pak Guru (begitu biasa Apak Amir memanggil saya) selesai,” kata pak Amir kepada saya. “Terimakasih, Pak,” jawab saya.

Tiga hari setelah mengisi formulir dan penyerahan foto itu, Kartu Pers saya selesai. Kepala Perwakilan Haluan Bukittinggi, Yalfema Miaz menyerahkan kartu itu dalam acara setengah resmi. Pada saat itu juga hadir rekan-rekan yang sudah lama bekerja di Haluan dan yang membantu Haluan tetapi belum mendapat rekomendasi untuk menjadi wartawan. Bahkan teman-teman dari perwakilan lain pun hadir seperti Nusyirwan Damahuri, Adli Etek, Armidas Munir dari Harian Singgalang, Infai, Hafni Pon, Jabir Jamal dari harian Semangat. Saya merasa sangat berbahagia dan senang menerima kartu itu. Sepertnya saya menerima Surat Pengakatan sebagai pegawai negeri sipil dulu. “Terimakasih, Pak Yal dan rekan-rekan, bantu dan bimbing saya, ya!” itulah di antranya kalimat saya dalam acara itu.

Mungkin sekitar enam bulan memegang kartu pers Haluan, saya diberi kesempatan mengikuti tes seleksi menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sumatera Barat. Untuk mengikuti tes ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Termasuk surat keterangan aktif dari surat kabar tempat bekerja, ijazah terakhir, keterangan berkelakuan baik dari polisi, dan sebagainya. Kemudian setiap peserta tes harus berkontribusi untuk biaya seleksi. Syarat lain saya penuhi terutama yang berhubungan dengan dokumen administrasi. Sedangkan untuk kontribusi uang, saya dibayarkan oleh Pak Amiruddin Bahar, staf Perwakilan Haluan Bukittinggi. Kata beliau, uang itu merupakan biaya operasional kantor. “Iuran Pak Guru ditanggung oleh Perwakilan Haluan,” kata pak Amir.

Tes seleksi menjadi anggota PWI dilakukan di Kantor PWI Sumbar Jalan Bagindo Aziskan Padang. Saya dan teman-teman lain mengikutinya sungguh-sungguh. Selain tes mengenai hal-hal yuridis tentang kewartawanan dan jurnalisitik, juga ada tes keterampilan menulis berita, menulis tajuk, menulis opini, dan sebagainya. Semuanya saya lalui dengan lancar. Alhamdulillah, tiga minggu kemudian diumumkan, bahwa saya termasuk yang dinyatakan lulus dalam tes itu. Untuk itu saya berhak menjadi anggota PWI dengan predikat “wartawan muda”.

Ketika saya menerima kartu anggota PWI, saya merasa sudah sangat lengkap sebagai wartawan. Kartu Pers dari Surat Kabar Haluan ada di tangan. Kartu anggota PWI ada di kantong. Saya merasa sangat berbekal secara administratif untuk menjadi wartawan. Saya merasa sangat bermodal secara yuridis untuk menjadi insan pers. Untuk mendapatkan legalisasi dengan bukti fisik kedua kartu itu, tentu tidaklah mudah. Panjang jalan yang harus dilalui, banyak liku yang harus ditempuh, dan berat perjuangan untuk sampai ke satu. Akan tetapi, jika disimpulkan, usaha itu hanyalah “mau” belajar menulis dengan menulis. Menulis dan menulis, itulah bekalnya.

Menjadi wartawan tahun 80-an itu rasanya lebih bergengsi dari semua jabatan. Betapa tidak. Kita leluasa meliput berita di mana dan kapan saja. Kita dapat masuk kantor manapun, termasuk kantor bupati dan kantor walikota dengan prosedur yang tidak terlalu berbelit. Kita dapat hadir dalam berbagai peristiwa di daerah kerja kita. Selain itu, banyak orang yang mengenali kita. Para pejabat, politisi, pemuka masyarakat, cendekiawan, dan unsur masyarakat lainnya mengenali kita sebagai wartawan. Dengan demikian ada semacam “personal power” yang dimiliki. Ada kekuatan individu yang dipunyai.

Ketika menulis artikel di ruangan opini, saya mulai memilah-milah substansi isi tulisan. Jika isinya biasa-biasa saja seperti bidang pendidikan, pengajaran, bahasa, budaya, dan sastra saya tulis di bawah judul tulisan identitas saya sebagai “Guru SMP Empat Angkat, Agam”. Akan tetapi, jika isi tulisan merupakan kritikan terhadap kebijakan birokrasi atau fenomena sosial di dalam masyarakat, saya menulis identitas di bawah judul tulisan dengan “Wartawan Haluan Padang”. Artinya, “wartawan” dapat menjadi tameng dalam mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Tameng dalam menyatakan pikiran dan perasaan melalui tulisan. Tameng dalam mengungkapkan gagasan, pendapat melalui tulisan. Yah, “wartawan” adalah jabatan yang melebihi jabatan-jabatan lain di muka bumi ini. Itulah pemikiran saat itu.

Melalui belajar menulis dengan menulis, saya menjadi penulis. Setelah pandai menulis saya menjadi wartawan. Melalui profesi wartawan masyarakat luas mengenal saya. Saya masuk ke wilayah lebih luas di Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi. Gerbang-gerbang kegitan pendidikan, budaya, dan sosial kemasyarakatan pun saya masuki. Banyak kalangan mengajak, menarik, mengundang, dan melibatkan saya untuk berbagai aktifitas. Sebut saja seperti Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Palang Merah Indonesia (PMI), Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Muhammadiyah, Pramuka melibatkan saya dalam kegiatannya dan masuk ke dalam struktur organisasi kepengurusannya.

Saya memasuki wilayah organisasi kemasyarakatan itu, selain memiliki dasar-dasar teknis di bidang itu, yang labih dominan saya rasakan karena saya penulis dan wartawan. Mereka mengajak saya masuk ke jantung organisasi, khususnya di Kabupaten Agam, karena saya memiliki potensi menulis dan predikat wartawan. Meskipun itu bukan mereka nyatakan, tetapi saya merasakan karena hal itu. Sebagai guru kecil, guru SMP saya bangga menempati posisi-poisisi tertentu dalam organisasi kemasyarakatan di tingkat Kabupaten Agam. Bukan karena guru saja saya sampai ke posisi itu, tetapi karena saya guru yang penulis, guru yang wartawan. Saya yakin itu.

Di suatu sisi saya PNS (kini: ASN) Guru. Di sisi lain saya penulis dan wartawan. Pada dua posisi itu saya tetap belajar. Terus belajar menulis, terus belajar mencari berita, dan terus belajar bergaul dengan tataran yang lebih luas. Tingkatan pergaulan saya karena terlibat beroganisasi kemasyarakatan, berada pada tingkat lingkaran satu di kabupaten. Lingkupan satu yang saya maksud ialah lingkaran Bupati, Kapolres, Dandim, Kepala Kejaksaan, kepala Pengadilan, Kepala Kantor Departemen Agama, Kepala Kantor Depdikbud, dan sebagainya. Saya merasakan bahwa saya bisa bergaul dengan mereka dalam tatakrama mereka.

Ada rasa senang dan gembira, ketika pada hari-hari tertentu parkir di depan rumah kontrakan saya mobil BA 1 B, milik Bupati Agam. Pak Bupati, H.M.Nur Syafei dan istrinya datang ke rumah saya. Beliau mengatakan, “ingin melihat cucu” anak-anak saya. Orang-orang sekitar melihat, mengapa bupati datang ke pondok kontrakan Zulkarnaini. Wah, tidak tau apa yang saya rasakan. Sebagai “guru kecil” saya merasa sangat terhormat didatangi oleh orang nomor satu di Agam.

Pada waktu lain, mobil plat merah Sekretaris Daerah Agam parkir di pekarangan pondok kontrakan saya. H.M.Akhyarli Jalil, S.H. sekda Agam, dan Hasan Basri Djuki Kakandepdikbud Agam datang ke rumah saya menjelang magrib. Beliau shalat Magrib berjamaah dengan keluarga saya di rumah. Kami sempat makan malam dengan masakan alakadarnya dari istri saya. Beliau berdua tidak sungkan-sungkan untuk makan dengan pegawai rendah dan pegawai kecil seperti saya. Kenapa itu mereka lakukan? Saya hubung-hubungkan kemudian, selain karena mereka memang pejabat yang berbudi, juga dipengaruhi oleh eksistensi saya sebagai guru yang penulis dan sebagai guru yang wartawan.

Menulis dan menulis, dengan menulis banyak yang dapat diraih. Dengan menulis mendapat tambahan penghasilan, dengan menulis status sosial terangkat, dengan menulis khalayak mengenali kompetensi dan eksitensi, dan dengan menulis keterlibatan lebih besar dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat dapat diraih. Menulis, menulis, belajar menulis dan menulis, itulah yang saya lakukan sampai kini dan seterusnya. Mudah-mudahan Allah meridoinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *