KALA GETAH KARET ITU MASIH MENETES (nukilan masa lalu)

Oleh Zulkarnaini Diran

Di kampung saya ada dua hari pasar. Kedua hari itu adalah Senin dan Kamis. Hari pasar itu disebut pokan (pekan). Sebutannya disesuaikan dengan harinya. Kalau hari Senin disebut pokan Sinoyan (pasar Senin) dan untuk Kamis disebut pokan Komi (pekan Kamis). Pada hari yang dua itulah masyarakat berbelanja. Di pasar itu pula mesyarakat mendapatkan kebutuhan hariannya. Di sanalah bertemu antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi. Selian itu, pada hari itu pula masyarakat memasarkan hasil buminya seperti gambir, cengkeh, karet, beras, kerajinan pandan (lapiak – tikar), dan sebagainya. Pokoknya dalam hari yang dua itu ada pertemuan antarmasyarakat di suatu tempat yakni pasar yang letaknya di Jorong Ronah, Kenagarian Mahat.

Bagi remaja, hari Senin dan Kami situ digunakan untuk pertemuan. Pertemuan remaja antarjorong dalam nagari. Pertemuan itu yang bermacam-macam coraknya. Adakalanya hari itu digunakan untuk berolah raga seperti permainan bola kaki dan bola voli. Hal itu terjadi pada hari-hari libur sekolah.

Hari itu Kamis diujung libur sekolah. Remaja yang bersekolah di tingkat SLTP dan SLTA akan segera kembali ke tempat bersekolahnya. Memang di kampung saya belum ada sekolah setingkat SLTP dan SLTA. Semua remaja yang ingin bersekolah harus meninggalkan kampung. Artinya mereka merantau untuk satu caturwulan. Pulang pada saat liburan. Kamis ini adalah hari-hari di penghujung liburan. Hari Sabtu atau Minggu para remaja segera meninggalkan kampung. Jadi pertemuan para Kamis ini adalah pertemuan untuk berpisah dan kembali ke sekolah masing-masing di perantauan.

Bagi siswa baru, Senin depan adalah tahun pelajaran baru. Mereka yang menamatkan Sekolah Dasar melanjutkan ke sekolah baru setingkat SLTP. Bagi yang menamatkan SLTP akan memasuki sekolah baru di tingkat SLTA. Saya waktu itu menamatkan SLTP yakni SMP Negeri di Kototinggi, Kecamatan Suliki Gunung Mas. Akan tetapi, saya tidak akan melanjutkan ke mana-mana. Saya akan tetap tinggal di kampung, tinggal di nagari yang memiliki tradisi keterasingan. Ketika teman-teman seusia saya bertanya, saya melanjutkan ke SLTA mana, saya hanya menggeleng. Sayang tidak menjawabnya dengan kata-kata, hanya menjawab dengan ekpresi fisik.

Saya tidak sendiri. Banyak teman yang seperti itu. Banyak teman-teman seusia saya yang tidak melanjtukan ke tingkat SLTA setelah menamatkan SLTP. Fasalnya sederhana saja. Bukan karena kompetensi tidak memadai, bukan karena otak tidak bisa mengikuti pelajaran, dan bukan pula karena kebodohan, tetapi semata-mata karena ketiadaan biaya. Tidak ada ongkos hidup dan ongkos belajar untuk melanjtukan ke tingkat SLTA.

Sore Kamis itu saya bersalaman dengan teman-teman. Kami berpisah. Mereka akan berangkat ke sekolah baru Sabtu atau Minggunya. Sementata saya akan tetap tinggal di dalam tradisi keterasingan. Niatan dan cita-cita saya untuk memasuki salah satu SLTA sangat besar, saya tetap menggebu-gebu untuk itu, tetapi kondisi ekonomi orang tua saya tidak memungkinkan. Ekonomi orang tua benar-benar tidak memungkinkan untuk membiayai hidup saya dan membiaya sekolah saya di  luar kampung. Saya ucapkan selamat kepada teman-teman yang akan melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA, saya salami mereka dengan perasaan yang amat perih dan pedih. Hanya ekpresi fisik saya saja yang menggambarkan keperihan itu.

Setelah meninggalkan tradisi keterasingan selama tiga setengah tahun (ada pertambahan tahun pelajaran 6 bulan karena G30S PKI ketika saya di SMP), saya kembali ke kehidupan tradisi keterasingan. Tanpa persiapan apapun saya kembali menjadi orang yang hidupnya mengalir bagai aliran batang Mahat dan Batang Dingin di kampung. Pekerjaan-pekerjaan orang dewasa mulai saya ikuti. Kegiatan seperti menyabit padi, menghirik padi, menggoro padi, menunggu padi yang habis diirik, dan sebagainya saya lakukan. Saya mulai kembali menjadi bagian dari mereka yang hidup dalam tradisi keterasingan.

Bertani adalah kehidupan di kampung saya. Pertanian utamanya hanya bertanam padi,  gambir, dan karet. Bercocok tanam padi dilakukan oleh semua keluarga. Sedangkan bertanam gambir dan karet hanya dilakukan oleh keluarga tertentu saja. Artinya berladang gambir dan karet tidak dilakukan oleh semua petani, tetapi bercocok tanam padi semuanya melakukan. Di dalam kegiatan-kegiatan agraris dalam tradisi keterasingan itulah dijumpai banyak tradisi yang mengakar dan mengandung makna yang dalam. Kegiatan tradisi itu mengandung makna keaerifan lokal yang saat tulisan ini disusun sudah mulai ditinggalkan.

Sebelum melanjutkan ke SMP dahulu, saya berada di tradisi itu sekedar ikut-ikutan. Setelah menamatkan SMP saya belajar menjadi pelaku tradisi itu. Banyak tradisi yang mengandung nilai filosofi dalam kehidupan yang saya ikuti. Di antaranya gotong royong memperbaiki saluran air bandar untuk sawah (goro tali bonda), turun ke sawah secara gotong royong (lombiak hari), menabur benih (menyemai benih), mencari pupuk organik ke hutan (mongambuik), menyiangi padi dengan alat (monguyia), menghalau burung di sawah (monggoro), menyabit / menuai padi, mengirik padi (menggurukan padi dari tangkainya), menunggu padi yang sudah diirik, mengangkut padi, dan sebagainya. Tradisi-triadisi seperti itu mengandung banyak makna dalam hidup dan kehidupan.

Saya berada di dalam tradisi keterasingan. Kini saya ada di situ, ada di dalam kondisi itu. Keberadaan ini hanya semata-mata karena keterpaksaan. Terpaksa oleh kondisi, oleh situasi, dan terutama oleh tekanan ekonomi. Tidak ada niatan untuk berlama-lama di dalam tradisi ini, tidak ingin berhadapan terus-menerus dengan kondisi ini. Intinya ialah, pada suatu waktu pada suatu hari nanti, saya harus keluar dari tradisi ini. Saya harus meninggalkan tradisi ini, meskipun saya akui bahwa tidak ada yang buruk di dalam teradisi ini.

Keinginan untuk meninggalkan tradisi ini amat sederhana. Saya ingin melanjutkan pendidikan. Saya ingin berpendidikan sedikit lebih baik dari orang-orang kampung tempat saya dilahirkan. Pendidikanlah yang memungkinkan saya dapat mengubah kehidupan, dapat mengubah kondisi keterasingan yang serba terbatas menjadi tradisi terbuka yang memiliki banyak peluang. Pendidikanlah yang memungkinkan saya dapat mengubah nasib, mengubah cara berpikir, mengubah ekonomi, dan mengubah segalanya dari tradisi keterasingan ke tradisi terbuka yang berpeluang besar dan yang memiliki banyak alaternatif untuk hidup dan kehidupan.

Niatan untuk melanjutkan pendidikan tetap saya pelihara. Kehidupan di dalam tradisi keterasingan terus  saya nikmati. Dari hari-hari ke hari kehidupan itu mengalir sedemikian rupa. Tiap sore sebelum malam saya telah meninggalkan rumah. Biasanya usai Magrib duduk-duduk di warung (lapau). Berbincang tentang banyak hal. Perbincangan berkembang entah ke mana-mana sesuai dengan alur berpikir yang dimiliki. Kadangkala sampai larut malam digunakan untu main domino, main kartu. Sekali seminggu digunakan untuk berlatih silat tradisional. Pada waktu lain juga dimanfaatkan untuk mempelajari ilmu batin (metafisika) dari orang-orang berilmu di kampung.

Adalah Mak Nali. Usianya terpaut hampir tiga puluh tahun lebih tua dari saya. Dengan keluarga saya Mak Nali masih ada hubungan. Kekek (datuak) Mak Nali ini berasal dari keluarga sekaum dengan saya. Datuak Mak Nali itu berarti datuak juga bagi ibu saya. Ketika datuak ini masih hidup, pernah menghibahkan kebun karet kepada keluarga Mak Nali. Kebun itu kini tidak diurus. Mak Nali inilah yang mengajak saya untuk mengurus dan menyadap karet itu.

Ajakan itu tentu saya terima. Lagi pula untuk saat itu harga karet cukup memadai. Begitulah kami membuat kesepkatan bahwa hasil sadapan dibagi rata setelah dikurangi biaya makan dan sebagainya selama di hutan. Kesepakatan itu kami buat berdua. Kemudian untuk membantu ditambah satu tenaga yang nanti akan mendapat persenan dari hasil penjualan karet.

Ajakan Mak Nali kepada saya untuk menyadap karet itu saya sampaikan kepada ibu dan bapak pada suatu sore. Seusai makan sore, ketika mau berangkat ke warung, saya sampaikan hal itu kepada kedua orang yang sangat saya cintai itu. Lama keduanya diam. Tidak ada respon. Hanya ekspresinya saya yang terlihat bahwa kedua orang tua saya keberatan saya pergi ke hutan untuk menyadap karet.

Saya menambah penjelasan. Jika nanti ada rezeki, hasil penjualan karet itu saya pergunakan untuk iyuran masuk ke SMA serta keperluan lainnya. Intinya adalah saya bekerja walaupun di hutan adalah untuk melanjutkan pendidikan. Itulah argumen yang disampaikan kepada ibu dan bapak. Setelah argumen itu dinyatakan, keduanya dapat menyetujui niatan saya. Alhamdulillah dan terimakasih kepada kedua orang yang saya muliakan dan cintai itu.

Kebun karet itu berada di hutan belantara. Berada pada ketinggian jajaran Bukit Barisan. Jarak dari kampung lebih kurang tiga jam perjalanan, berjalan kaki. Oleh karena lokasinya sangat jauh, tidak memungkinkan untuk berulang dari kampung. Kami harus menginap di hutan, bemalam di belantara itu. Begitulah kami bertiga berangkat lokasi kebun karet itu dengan penuh keyakinan, penuh kepastian, dan penuh semangat. Semuanya dilandasri oleh tradisi keterasingan masyarakat tempat saya kini hidup dan menikmati kehidupan.

Hari pertama kami tidak banyak berbuat. Sampai di areal kebun karet, pertama-tama yang dicari adalah rumah kempaan gambir (kampaan) yang terdekat. Mak Nali tau persis kampaan yang terdekat dari kebun itu. Kampaan terdekat dari pinggir kebun karet itu kira-kira lima belas menit perjalanan, jalan kaki. Di sanalah kami berpangkalan. Di sana kami menginap, memasak, mandi, makan, dan segala aktifitas keseharian setelah mendadap karet.

Hari kedua selain survey pekerjaan, kami mulai merintis jalan yang akan dilalui. Kemudian membersihkan sema-semak belukar di sekitar batang karet yang akan disadap. Semuanya dilakukan dengan cara tradisional menggunakan parang. Pepohonan yang tumbuh di sekitar batang karet yang akan disadap kami babat habis. Dengan demikian antara satu batang dengan batang yang lain terbuat jalan yang bisa ditempuh ketika menydadap karet.

Hari ketiga barulah efektif penyadapan dilakukan. Saya masih belajar, belajar memegang piau penyadap, belajar menorehkan ke batang karet. Banyak hikmah yang saya tangkap dari penorehan pisau penyadap ke batang karet. Di antaranya, menggunakan pisau hendaklah dengan perasaan. Penggunaan perasaan itu dengan dua petimbangan. Pertama agar pisau tidak sampai perobek batang, cukup melukai kulit batang saja. Kedua menggerakkan pisau penyadap memiliki seni tersendiri. Jika seni dan liuk-liuknya tidak diikuti akan menjadikan kita cepat lelah.

Dari hari ke hari saya mulai mengapresiasi pekerjaan ini. Benar kata orang bijak, “Jangan cari pekerjaan yang disenangi, tapi senangilah pekerjaan yang ada.” Saya mulai menyenangi pekerjaan ini, saya nikmati, sungguh dan sungguh. Bahkan setelah jam istriahat pun saya merasakan bagaimana saya memainkan pisau penyadap menoreh kulit batang karet. Akibat torehan itu mnetes getah bewarna putih bak santan kelapa. Getahnya itu dialirkan ke dalam saluran yang dibuat. Saluran itu diberi tadah, dan di bawahnya ditampung dengan batok (tempurung) kelapa. Wah,  ada kesenian di situ. Begitu saya mengapresiasi pekerjaan ini.

Pekerjaan ini terjadwal secara sistemik. Pukul 07.00 sampai di kebun karet. Penyadapan berlangsung sampai pukul 10.00. Sampai pukul 13.00 atau 14.00 getah karet dibiarkan mengalir ke dalam tempurung kelapa. Pukul 15.00 sampai pukul 16.00 atau 17.00 mengumpulkan getah dalam tempurung ke dalam ember dan dibenum pada acuannya untuk dibekukkan. Begitulah mengalirnya pekerjaan dengan jadwal yang bagai tercatat seperti daftar pelajaran di sekolah. Rutinitas seperti itulah yang saya alami hampir tiga bulan lamanya di belantara bukit barisan itu.

Malam itu hujan. Curahan air yang membasahi hutan karet itu berlanjut sampai pagi. Kami tidak dapat beraktifitas menyadap karet seperti jadwal biasa. Pukul 08.30 hujan mulai reda. Kami segera turun dari kampaan untuk memulai penyadapan. Seperti biasa kami mengambil jalur masing-masing untuk disadap. Wilayah sadapan saya berada deretan tengah bagian bawah. Ketika saya mulai menorehkan pisau pada kulit batang karet yang pertama, seekor hewan melompat dari balik batang karet yang saya sadap. Saya kaget. Yang terlihat hanya kilasan ada yang melompat. Warnanya kuning. Iitu saja yang saya tau.

Mak Nali yang menyadap di deretan sebelah kanan saya ikuti kaget. Dia langsung berteriak memanggil nama saya. Kemudian dia berlari ke arah batang karet yang saya sadap. Wajahnya pucat ketakutan.

“Lai ndo baapo tio Ang? (Kamu tidak apa-apa kan?)”

“Ndo baapo tio de Mak (Tidak apa-apa Mak)”, jawab saya penuh tanda tanya. Dia benar-benar ketakutan.

Baliak wak ko kampaan, lu! (Kembali kita ke kampaan dulu!), kata Mak Nali dengan rasa cemas yang terlihat dari eksperesi wajahnya. Saya tidak bertanya lagi. Kami bertiga kembali ke kampaan. Kegiatan menyadap karet hari itu pun dibatalkan oleh Mak Nali. Sementara itu hujan kembali turun dengan lebat. Jadilah hari itu menjadi hari libur bagi kami.

Beberapa tahun kemudian saya mendengar cerita dari orang tua-tua di kampung. Mereka mengatakan bahwa di kebun karet yang saya sadap itu ada sebatang karet yang unik. Uniknya, selain batangnnya yang besar dan usianya yang sudah cukup lama, biasanya ada penunggunya. Penunggunya adalah seekor harimau. Jika hari hujan atau usai hujan, biasa sang harimau berteduh di bawah pohon karet itu. Jika sempat bertemu dengan penyadap, selama penyadap tidak melanggar pantangan, maka penyadap itu akan menjadi “ikutan” sang harimau.

Cerita tersebut diperkuat oleh orang tua-tua yang dekat dengan saya. Setiap orang yang pernah melihat harimau di dekat batang karet yang satu itu, keselamatannya di hutan akan dijaga oleh harimau tersebut. Saya sendiri antara percaya dan tidak dengan cerita itu. Akan tetapi, dalam kenyataan sejak dulu sampai tulisan ini dibuat, setiap pulang ke kampung harimau selalu memperlihat dirinya. Pihak keluarga dekat saya percaya bahwa saya “dituruik-an harimau” (diikuti harimau).

Ada rasa takut padamulanya. Setiap pulang ke kampung selalu saja bertemu dengan harimau. Ketika masih menggunakan sepeda motor, pada malah hari jika berjalan di jalan yang kiri kanannya ada belukar, harimau pasti melintas menyeberang jalan di depan sepeda motor yang dikenderai. Hal itu juga terjadi setelah menggunakan mobil. Biasanya, jika harimau melintas di depan kenderaan pada malam hari, lampu kenderaan dimatikan. Setelah harimau menghilang, baru lampu dihidupkan dan melanjutkan perjalanan. Begitulah ceritanya sekaitan dengan dikejutkan harimau di kebun karet itu.

Hari itu kami bertiga hanya duduk saja di kampaan. Jika waktu makan datang, kami makan. Makanan dibuat apa adanya. Sayurnya dari buah papaya muda yang direbus. Pepaya yang tumbuh di samping kampaan berbuah cukup lebat. Semua buah masaknya dikonsumsi oleh tupai, burung, dan kadang-kadang kera. Buah mudanya saja yang dapat dipetik dan diolah menjadi sayur. Lauknya, cukup dengan cabe bercampur garam dan digiling di dalam tempurung (batok) kelapa. Namanya sambalado duo (sambalada dua). Artinya hanya dua saja campurannya yakni cabai dan garam. Kadang-kadang ada juga ikan asin yang dibawa dari  kampung. Lauk-pauk seperti itu sudah cukup untuk mengisi perut.

Makan seperti itu dari kacamata kini (saat tulisan ini dibuat), adalah makanan pendertiaan. Soalnya kini dan masa lalu sangat berbeda. Dulu itu masa sulit, kini masa sulit hampir tidak dialami lagi. Akan tetapi, ketika itu makan dengan sambalado duo dengan sayur rebus papaya, sudah termasuk memadai. Hal penting adalah nasinya. Asal nasi ada, berarti itu adalah kemewahan. Makan tiga kali sehari dan semuanya ada nasi, adalah kemakmuran.

Malam hari di kampaan, bagi saya adalah malam-malam yang panjang. Malam hari sangat dingin. Dapat dirasakan dinginnya sampai ke tulang. Apalagi kalau hujan bercampur angin kencang. Sementara selimut yang digunakan hanyalah kain sarung yang tipis. Dinding kampaan yang sebagian terbuat dari bilik anyaman bambu banyak yang bolong. Angin malam dan udara dingin leluasa masuk melalui celah-celah dan bolong-bolong dinding. Dingin, sepi, dan kadang-kadang percampur rasa takut adalah bagian yang harus dinikmati bermalam di kampaan.

Tidak terasa waktu bergulir dengan cepat. Matahari terbit tiap pagi di ufuk timur dan terbenam setiap sore di sebelah barat. Hal itu bagaikan aba-aba bahwa waktu bergulir tanpa henti. Manusia yang tidak menghitung waktu dan memanfaatkannya dengan baik, takmungkin merasakan waktu itu bergulir. Begitulah saya bergelut dengan keseharian dalam kebun karet itu, takmerasakan telah hampir tiga bulan menjalani kehidupan di sana.

Dalam rentangan waktu itu, saya pulang ke rumah hanya empat kali. Sementara Mak Nali dan teman yang satu lagi pulang setiap minggu secara bergantian. Mereka bedua pulang selain untuk mengangkut hasil sadapan karet, juga untuk menjemput bekal harian kami. Ada alasan saya untuk jarang pulang ke rumah. Pertama, saya menolak membawa karet hasil sadapan dengan cara menjujung di kepala. Saya tidak tahan baunya, busuknya bukan main. Hal itu dimaklumi oleh Mak Nali dan teman yang satu lagi. Oleh karena itu, mereka menyediakan diri untuk mengambil tugas saya mengangkut karet hasil sadapan.

Kedua, saya tidak sering pulang ke kampung karena alasan psikologis. Maksudnya, secara kejiwaan saya takingin kedua orang tua saya sedih atau berduka melihat kondisi saya. Hal ini sangat saya jaga, sangat saya perhatikan. Bila keduanya brsedih melihat anaknya yang tamat sekolah bekerja di hutan menyadap karet, saya akan merasa berdosa. Oleh karena itu saya tidak sering pulang ke kampung.

Ampia tigo bulan awak monakiak gota. Gota wak lah banyaklo tojua. Minggu kini kito bonti dulu. Ari Komi bisuak awak boretong jo urang non momboli gota (Hampir tiga bulan kita menyadap karet. Minggu kini kita istirahat dulu. Hari Kamis nanti kita berhitung dengan pembeli karet kita)”, begitu kata Mak Nali pada suatu malam. Besoknya hari Minggu kami langsung mengemasi semua barang dan mengangkur hasil sadapan minggu itu ke kampung.

Pagi itu saya pandangi kampaan tempat kami menginap secara mendalam. Saya amati setiap sudut. Mulai dari dinding bilik yang bolong-bolong sampai ke dapur saya amati. Bahkan sampai ke tempat mencucui muka dan mencucui alat masakpun saya tilik sungguh-sungguh. Ada perasaan lain yang muncul di dalam diri saya. Saya bagaikan mau berpisah dengan keadaan ini. Saya mau mengucapkan selamat tinggal kepada kehidupan di kampaan ini. Itu hanya ada di perasaan saya, tidak pernah saya ucapkan.

Hal yang sama saya lakukan terhadap setiap pohon karet yang kami sadap. Kami lukai kulitnya di keluarkan getah yang bak santan. Getah itu kami bekukan dan kami jual kepada pedagang. Dari situ kami mendapat uang, mendapat penghasilan. Naif, rasanya. Melukai pohon untuk mendapat penghasilan. Ah, itu hanya pikiran-pikiran selintas ketika saya melewati pohon-pohon karet yang terluka itu. Selamat tinggal kebun karet warisan orang tua dulu yang takpernah saya kenal sosoknya.

Ketika kebun karet  ini saya tinggalkan, berakhir pulalah sepenggal kisah kehidupan anak manusia dalam suka dan dukanya. Sesudut kisah tentang hidup dan kehidupan pun telah ternukil, kisah itu akan segeera berakhir. Mungkin, akan tercatat sebagai kenangan, ternukil sebagai kisah bahwa pohon karet yang terluka, ternyata berkontribusi yang bermakna terhadap kelanjutan kisah anak manusia yang bernama Zulkarnaini.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *