(Catatan Guru 040319)
Guru menulis dan terus menulis. Dia menulis tentang banyak hal seperti pendidikan, pembelajaran, budaya, sastra, seni, dan Pramuka. Tulisanya mulai dikenal oleh kalangan yang lebih luas. Tulisan-tulisan tersebut mendapat respon dari pembacanya. Rekan-rekan sesama guru meresponnya dengan berbagai cara. Adakalanya guru berpolemik di surat kabar sampai berbulan-bulan. Sejawat guru bahasa Indonesia dan guru mata pelajaran lain yang sering menulis, ikut terlibat di dalam polemik itu. Bahkan dosen-dosen muda pun ikut terlibat dalam diskusi melalui media massa itu. Trsebutlah di antaranya yang sering muncul berpolemik seperti Indra Jaya Nauman, Wanndra Ilyas, Amrius Bustamam dari kalangan guru. Dari kalangan mahasiswa dan sastrawan tercatatlah seperti Dasril Ahmad (kini: menjadi k sastrawan kawakan), Jasnur Asri (kini: guru besar di UNP), dan banyak lagi untuk disebutkan satu-persatu.
Ada juga yang merespon tulisan guru melalui surat. Mereka menulis surat kepada guru. Ada pendidik Bahasa Indonesia dari Kota Solok. Bu Emi (Zulhelmi, kini pensiunan Pengawas Sekolah di Kota Solok), menulis surat kepada guru. Ia nyatakan, tulisan guru sangat mengena di hatinya. Ia menyukai tulisan itu. Bahasanya mengalir, isinya menyentuh, dan masalah yang diangkat sangat aktual. Untuk tulisan-tulisan itu ia meminta guru untuk menceritakan pengalaman menulisnya. Ia mengaku “ingin belajar” dari pengalaman guru menulis. Hal-hal seperti itu membuat guru semakin bersemangat menulis. Dan guru ini terus menulis dan menulis. Bahkan sampai kini.
Suatu hari guru menerima sepucuk surat. Alamat penulisnya tertera sebagai Siswa SMP Negeri 1 Padang. Isinya menyatakan bahwa tulisan guru tentang sastra sangat diminatinya. Tulisan guru tentang sastra memang lebih banyak menjebatani antara karya sastra dengan pembacanya. Pernyataan siswa ini sangat tulus. Hal itu terlihat jelas dalam suratnya oleh guru. Selain menyatakan tulisan itu bagus, ia juga ingin berkenalan lebih lanjut dengan guru. “Saya ingin mengenal Zulkarnaini dari dekat, latar belakangnya, kehidupan sehari-harinya, dan pergaulannya sesama remaja,” begitu ditulis oleh siswa SMP 1 Padang itu di dalam suratnya.
Rupanya, siswa yang menulis surat ini menganggap bahwa guru ini adalah siswa di SMP Empat Angkat (Ampek Angkek). Di bawah judul tulisannya, guru selalu membubuhkan nama, di bawah nama itu selalu ditulis “SMP Empat Angkat, Agam” sebagai identias sekolah. Siswa penulis surat itu mengira guru ini juga siswa seperti dia. Guru memang tidak mencantumkan di bawah namanya “guru”, hanya identitas sekolah saja.
Untuk tidak mengecewakan penulis surat, siswa SMP 1 Padang ini, guru membalas suratnya. Guru menempatkan dirinya sebagai siswa. Di antara yang ditulis adalah adalah, “Saya Zulkarnaini, lahir dari keluarga petani, keluarga sederhana. Tinggal di desa, di kampung yang setiap pagi menghirup udara bersih. Tidak ada polusi, tidak ada ampas gas knalpot kenderaan di kampung saya. Dalam suasana itulah Zulkarnaini menapaki hidup dan kehidupannya.” Itulah di antaranya yang ditulis guru. Lama guru ini berkorespondensi dengan siswa tersebut. Mungkin ada satu tahun suratnya mengalir kepada guru. Konsekuensinya guru juga harus membalas surat siswa itu dengan berpura-pura sebagai siswa juga.
Rahasia itu pun terbongkar. Saat itu ada Jambore Daerah Pramuka di Padang Besi, Kota Padang. Peserta Jambore itu berasal dari berbagai Kwartir Cabang Pramuka se-Sumatera Barat. Dari Kwartir Cabang Agam, ada dua regu pramuka (putra an putri) yang berasal dari Gugus Depan (Gudep) SMP Empat Angkat yang menjadi kontingen. Pramuka penggalang ini dipersiapkan secara fisik dan mental oleh guru bersama Pembina lainnya.
Siswa yang menjadi sahabat korespondensi guru itu juga menjadi utusan dari Kwartir Cabang Kota Padang. Mendengar ada nama SMP Empat Angkat, siswa tersebut langsung mencari tau. Apakah Zulkarnaini ikut di dalam kontingen Kwarcab Agam. Cari punya cari, dia bertemu dengan seorang Pramuka Penggalang dari Gudep SMP Empat Angkat. Mereka berdialog, mereka bercerita, mereka berbicara tentang Zulkarnaini. Pramuka Penggalang binaan guru itu juga bercerita, betapa Zulkarnaini menjadi idolanya, Zulkarnaini menjadi panutannya. Tetapi hari ini “Kak Zul” tidak bisa ikut karena berangkat ke Bali untuk suatu kegiatan. Begitu Penggalang binaan guru itu menjelaskan.
Siswa teman korenspondensi guru itu penasaran. Ingin mengorek informasi lebih banyak tentang Zulkarnaini. Pada akhir cerita seorang Pramuka Penggalang (Elfia- kini telah tiada) binaan guru itu mengatakan, “Zulkarnaini itu adalah guru Bahasa Indonesia kami, dia Pembina Pramuka Kami, dan dia Pembina eksrakurikuler di sekolah kami.” Rahasia guru pun terbongkar. Sang siswa SMP 1 Padang yang menjadi teman korespondensi guru hampir satu tahun itu menyadari bahwa selama ini yang ia anggap siswa adalah guru. “Sahabat pena” yang selama ini dianggapnya remaja ternyata adalah seorang guru. Dia tidak kecewa, hal itu dibuktiakn oleh suratnya disampaikan melalui Pramuka Penggalang binaan guru.
Padang, 4 Maret 2019