TESTIMONI UNTUK BIOGRAFI
Prof. Dr. H. Syafruddin Nurdin, M.Pd.
Saya mengenalnya sudah lama. Catatan pastinya tidak ada, tetapi tahunnya masih saya ingat. Awal tahun 80-an, saya ikut berkiprah di kepramukaan Kwartir Cabang, Agam. Selain sebagai Pembina di Gugus Depan Pramuka yang berpangkalan di sekolah, saya juga menjadi pengurus Pramuka di Tingkat Kwartir Cabang Kabupaten Agam. Saat itulah saya mengenalnya, mengenal Kak Haji (panggilan akrab di Kwarda Pramuka Sumbar), yang kemudian lebih lengkap dengan Drs. H. Syafruddin Nurdin.
Sebagai Pembina di Gugus Depan Pramuka, dan sebagai Pengurus Pramuka di Kwartir Cabang Agam, saya sering diutus untuk mewakili Kwarcab Agam ke Kwarda. Sebagai utusan ada tugas yang saya emban. Adakalanya tugas itu berhubungan keadminstrasian Pramuka, adakalanya tugas sebagai pemegang teknis kepramukaan. Dalam tugas-tugas yang diemban itulah saya mengenal laki-laki “penunggu” Kantor Kwarda Sumbar itu, yaitu Kak Haji (Drs. Syafruddin Nurdin). Saya menyebutnya “penunggu” kantor, karena memang selalu saja dia yang tidak pernah absen pada hari-hari dinas. Artinya, setiap saya berurusan ke Kantor Kwarda, Kak Haji inilah yang selalu Nampak. Jika ada urusan adminsitrasi kepramukaan, selalu melalui sentuhan tangan beliau.
Akhir bulan Mei 2020 lalu Kak Haji (kini: Prof. Dr. H. Syafruddin Nurdin, M.Pd.) mengirim pesan ke WA saya. Beliau meminta “testimoni” saya untuk mengisi lembar-lembar biografinya. Biografi itu akan diluncurkan pada ulang tahunnya yang ke-70. Sekali gus, juga akan memasuki masa pensiun dari Guru Besar Universitas Islam (UIN) Imam Bonjol, Padang, Sumbar.Tentu saja saya tidak langsung bisa “mengiyakan” permintaan beliau. Fasalnya, testimoni untuk biografi seorang “guru besar” bukanlah hal yang kecil dan sepele bagi saya. Harus berpikir panjang dan berpikir berulang-ulang saya untuk “mengiyakannya”.
Akhirnya saya pungut kembali “kenangan” tahun 80 – 90. Saat saya aktif dikepramukaa itu. Suatu hari saya datang ke kantor beliau di Gedung Pramuka Sumbar. Ruang kantor itu sederhana, tetapi tertata rapi dan apik. Arsip-arsip kepramukaan tersusun di lemari dengan rapi. Selain beliau, juga ada beberapa tenaga adminstrasi di Kwarda Sumbar itu. Oleh karena beliau yang “dituakan” di kantor itu, yaitu Beliau sebabagai Sekretris Harian Kwarda Sumbar, maka segala urusan yang menyangkut adminsitrasi, tentu melalui meja Kak Haji ini.
Pada mulanya saya membayangkan. Berurusan di Kantor Kwartir Daerah Pramuka Sumbar akan rumit dan berbelit seperrti berurusan di kantor-kantor lainnya. Dugaan saya meleset. Saya memperkirakan urusan akan memakan waktu setengah hari. Ternyata tidak cukup setengah jam urusan saya selesai. Surat yang saya perlukan langsung diserahkan oleh Kak Haji (Drs. H. Syafruddin Nurdin) diiringi dengan senyum yang tulus. Begitulah mulusnya setiap ada urusan adminstrasi kepramukaan di Kwarda Pramuka Sumbar ini. Tentu saja urusan menjadi mudah adalah pengaruh tangan terampil Kak Haji ini.
Saya merasa akrab dengan Kak Haji ini. Kenapa tidak, hampir setiap kegiatan di Kwarda Pramuka Sumbar saya selalu ikut dari Kwarcab Pramuka Agam. Ada Jambore Daerah di Lubuk Batu Sijunjunjung. Kak Haji menjadi panitia. Saya menjadi Pemimpin Kontingen Pramuka Kwarcab Agam. Sebagai orang pertama dari kwartir cabang tentu banyak berurusan dengan panitia. Panitia itu yang paling eksis adalah Kak Haji. Di situpun saya mulai mengenal cara-cara Kak Haji mengatasi berbagai masalah. Beliau dengan tenang, sabar, dan sungguh-sungguh mendengarkan keluhan peserta melalui pemimpin kontingennya. Dibantu oleh panitia lain, Kak Haji dapat menyelesasikan berbagai masalah dengan bijak dan arif.
Pada Jambore Nasional Pramuka 1986 di Cibubur, saya memimpin kontingen Pramuka Kwarcab Agam. Di Kwarda juga ada panitianya. Kak Haji juga selalu ada, selalu hadir. Kesan saya kian mendalam tentang kepribadiannya. Semua masalah ditanggulangi dengan arif. Seperti biasa, setiap akhir kegiatan selalu ada evaluasi harian. Dalam evaluasi harian di Kak Haji selalu hadir. Beliau mencatat semua hasil evaluasi dan semua pemecahan masalah. Hal itu membuat kesan tersendiri bagi saya, betapa terampilnya Kak Haji mencatat jalannya rapat evaluasi. Saat itu belum ada komputer, masih tulisan tangan dan kemudian diketik dengan mesin tik manual.
Selain itu, saya dapat kabar, bahkan pernah menyaksikan, bahwa Kak Haji adalah orang kepercayaan “petinggi” Pramuka Kwarda Sumbar. Pak Azwar Anas, Gubernur Sumbar selaku Kamabida sangat mempercayai Kak Haji untuk urusan kepramukaan. Begitu juga Ketua Kwarda Pak Syurkani (Sekwilda Sumbar), juga mempercayakan segala urusan adminstrasi dan perkantoran Kwarda kepada Kak Haji. Pengurus-pengurus yang lain seperti Ny. Jus Azwar Anas, Ny. Kamal, Kolonel Soewardi (Kakwardari), juga mempercayainya. Dengan demikian, orang-orang penting di kepramukaan dan di pemerintah daerah Sumbar, percaya kepada Kak Haji dalam hal urusan kepramukaan.
Awal tahun 1990-an, oleh tugas-tugas sebagai guru, saya mulai mengurangi aktifitas di kepramukaan. Dengan demikian, kami (saya dengan Kak Haji), tidak pernah bertemu lagi. Konon beliau sudah menjadi guru di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang. Akhir tahun 1990-an kami bertemu di Balai Diklat Keagamaan, Departemen Agama, di Padang. Kami sama-sama menjadi narasumber untuk kegiatan Diklat. Waktu itu, kepala balai, Drs. H. Adli Etek memperkenalkan saya dengan Kak Haji (tidak lagi Drs. H. Syafruddin Nurdin), tetapi Prof. Dr. H. Syafruddin Nurdin, M.Pd. Beliau ketawa dan saya pun ketawa karena diperkenalkan. Pada hal kami sama-sama sudah kenal.
Ada beberapa kali kegiatan kami bersama-sama. Akan tetapi tidak lagi di dalam kepramukaan, namun masih di dunia pendidikan. Terakhir pada tahun 2012 kami sama-sama diundang oleh Kementerian Agama untuk suatu acara di Bandung. Dari Sumbar yang diundang sebagai fasilitator adalah Prof. Dr. H. Syafruddin Nurdin, M.Pd. dari IAIN Imam Bonjol, Zulkarnaini dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, Kemeneterian Pendidikan Nasional, dan satu lagi dari IKIP Padang. Hampir satu minggu kami bersama-sama di sebuah hotel di Bandung. Saat itu saya merasakan, tidak ada ada beda antara Syafruddin Nurdin sebagai Guru Besar dengan Syafruddin Nurdin sebagai Sekretaris Pramuka.
Arti tidak ada beda itu ialah kepribadiannya. Tetap rendah hati, tidak sombong, teliti, rapi, dan praktis dalam segala tindakan. Saat itu pulalah saya tahu, bahwa atu-satunya Pakar Kurikulum di IAIN Imam Bonjol hanyalah dia, Prof. Dr. H. Syafruddin Nurdin, M.Pd. Sementara saya diundang oleh Kementerian Agama sebagai praktisi kurikulum. Saat itu kami berada dalam satu tim. Ternyata tanpa direncanakan, tergabunnglah kami dalam kegiatan antara pakar/akademisi dengan praktisi. Ternyata kami dapat bekerja sama dengan kompak dan menimbulkan kesan luar biasa dari peserta yang terdiri dari Pengawas Pendidikan Agama Islam se-Indonesia.
Pesan WA Kak Haji (kemudian saya sebut Kak Haji Prof.) bulan Mei 2020 saya penuhi. “Testimoni” untuk biografi beliau saya tulis apa adanya. Tentu sangat subjektif sebatas informasi, kesan, persepsi, dan apresiasi saya tentang beliau. Jika beliau mengatakan “Anak Sopir jadi Guru Besar”, kemudian biografi beliau dijuduli dengan “Pengabdian Tanpa Akhir”, adalah sangat pantas. Memang cocok dengan kondisi-kondisi yang beliau tulis di dalam biografi itu. Kenapa tidak, pengabdiannya mulai dari guru di Yayasan PT Semen, kemudian berkiprah dalam kepramukaan, dan kemudian menjadi guru besar di UIN Imam Bonjol, Padang.
Pada akhir tulisan ini saya mencatat kesan tentang Kak Haji, Prof. Dr. Syafruddin Nurdin, M.Pd. Orangnya selalu bersungguh-sungguh, rapi, jlimet, tekun, praktis dalam bekerja, dan selalu ikhlas melakukan sesuatu. Pandai bergaul dan selalu ingat nama teman-teman yang pernah dia kenal. Berangkat dari guru SD, berakhir di guru besar, suatu proses yang pantaslah diteladani bagi generasi penerus.
(Zulkarnaini, pernah aktif di kepramukaan, penulis, praktisi dan pemerhati pendidikan, penisunan Widyaiswara Lembaga Penjamninan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumbar, Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan)