Oleh Zulkarnaini Diran
“Pohon yang kuat akan tangguh menghadapi hantaman badai”, begitu kata orang bijak. Hal yang sama bisa dianalogikan kepada manusia. Manusia kuat akan mampu menghadapi segala terpaan kehidupan. Sekuat apapun hantaman terhadap dirinya, dia akan tetap bertahan dalam berbagai cuaca. Jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, pertanyaannya adalah, “Bagaimana menumbuhkembangkan ketangguhan kepada anak?” Inilah yang diperkatakan pada “Memupuk Kemandirian” ini.
Seorang anak lahir cacat. Jon, begitu nama yang diberikan kepada anak lelaki itu. Dia lahir ke dunia tanpa tangan. Kedua anggota tubuh itu tidak dibawanya dari rahim. Menghadapi kondisi seperti itu, semua anggota keluarga, ayah bunda, dan saudara-saudaranya sangat menyayangi Jon. Aktualisasi dari rasa sayang itu, mereka secara bersama melayani semua kebutuhan Jon. Dapat dikatakan bahwa Jon benar-benar dimanjakan, terutama oleh saudara-saudaranya.
Ibu Jon mengamati dan memperhatikan kondisi itu. Sang ibu mulai berpikir, jika Jon tetap diperlakukan seperti itu, dia tidak akan mampu mengurus diri. Rapat keluarga pun diadakan tanpa kehadiran Jon. Kalimat yang keluar dari mulut Ibu Jon adalah, “Ditolong, maka dia tidak terolong”. Artinya, jika Jon tidak diberi kesempatan untuk mengurus dirinya, pada saatnya dia akan menjadi orang yang menderita. Hal itu akan terjadi pada saat saudara-saudaranya tidak dapat lagi memanjakan Jon. Rapat keluarga memutuskan bahwa Jon harus diberi kesempatan untuk mengurus dirinya dan segala keperluannya. Begitulah kemudian, Jon dapat mengurus dirinya. Bahkan dia bekerja dan berpenghasilan sendiri (dari: Diskusi Pendidikan sambil “mangayuah” bersama Prof. Herman Nirwana).
Ilustrasi di atas sangat menarik disiasati dari kacamata pendidikan. Anak-anak pada dasarnya membawa fitrah “kemandirian” dari rahimnya. Lihatlah bayi yang belum bisa berbuat apa-apa. Ketika dia haus, dia mencari sendiri benda untuk memuaskan rasa hausnya. Jika dia tidak menemukan puting susu ibunya, dia akan menjadiakn jari-jarinya sebagai pengganti puting susu. Hal itu pertanda bahwa bayi membawa dan memiliki fitrah kemandirian sejak dari rahimnya.
Fitrah kemandirian itulah yang sepantasnya ditumbuh-kembangkan dan dirawat oleh ayah-bunda. Penumbuh-kembangannya disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak. Tentu saja, ayah-bunda memerlukan bekal “pedagogi” dalam mengasuh dan merawat anak dalam konteks pendidikan. Ayah-bunda sebagai pendidik pertama dan utama di dalam keluarga memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai untuk melakukan itu.
Barangakali, untuk keperluan itu tidak diperlukan kajian teori yang muluk-muluk. Yang diperlukan ayah-bunda adalah hal-hal yang praktis tetapi tetap dilandasi pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Di Jepang, konon, ibu-ibu memberi kesempatan kepada anak-anaknya makan sendiri sejak usia dua tahun. Ini dapat dijadikan contoh praktis untuk memupuk kemandirian.
Ayah-bunda hendaklah memperhitungkan risiko dalam proses mamandirikan anak. Maksudnya, risiko yang timbul akibat menumbuh-kembangkan kemandirian itu dapat berupa risiko “kerugian” material. Jika itu memang terjadi, anggaplah ayah bunda membayar “uang sekolah” untuk memandirikan anak. Misalnya seperti kaum ibu di Jepang itu. Jika anak usia dua tahun diberi kesempatan berlatih makan sendiri, makanan anak-anak kita nasi. Tentu saja nasi akan tumpah dari piring, bertebaran di lantai, dan sebagainya. Nasi berserakan, lantai kotor, dan sebagainya adalah risiko kerugian materi. Hal itu menjadi “uang sekolah” bagi ayah-bunda untuk menumbuh-kembangkan dan memupuk kemandirian anak.
Ketika anak mulai memasuki usia sekolah, kemandirian harus ditanamkan. Melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan rumah tangga barangkali langkah yang praktis. Mereka dilibatkan membersihkan rumah, pekarangan rumah, kegiatan di dapur, mencuci pakaian, merapikan tempat tidur, dan sebagainya. Tentu saja, ayah-bunda harus bijak melibatkan mereka. Sekurang-kurangnya harus jelas “siapa mengerjakan apa, kapan selesainya, dan bertanggung jawab kepada siapa”.
Melibatkan anak-anak dalam kegiatan rumah, selain memupuk dan menumbuh-kembangkan kemandirian, juga memberikan pengalaman berumah tangga kepada anak. Pada hakikatnya, ketika itu dilakukan, proses pendidikan dan pembelajaran tengah berlangsung. Kita sering mendengar pernyataan bahwa, “belajar adalah mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, mengubah pengetahuan menjadi pemahaman, mengubah pemahaman menjadi kearifan, dan mengubah kearifan menjadi tindakan”.
Jadi, menumbuh-kembangkan dan memupuk kemandirian anak sejak dini adalah salah satu upaya menjadikannya tangguh menghadapi berbagai kondisi kehidupan. Dalam rangka itu, ayah-bunda perlu melibatkan mereka sedini mungkin dalam kehidupan nyata di dalam keluarga dan rumah tangga. Hal yang harus dibayar oleh ayah-bunda adalah “uang sekolah” berupa kerugian materi yang ditimbulkan oleh proses pendidikan dan pembelajaran itu. Insya-Allah, jika anak telah dipersiapkan menjadi mandiri sejak dini, dia akan tangguh menghadapi badai kehidupan. “Pohon yang kuat akan tangguh menghadapi hantaman badai”.
Baiturrahim, Padang, 11 Januari 2023