Proses belajar mengajar pada hakekatnya adalah kegiatan komunikasi. Komunikasi itu tercipta karena adanya komunikan dan komunikator. Ada kecendrungan dalam pengajaran tradisional, guru bertindak sebagai komunikator dan siswa sebagai komunikan. Sedangkan materi komunikasi itu sendiri ialah bahan pelajaran. Proses belajar mengajar dianggap berhasil bila guru tampil sebagai komunikator yang mahir, sebagai komunikator yang mampu mentransfor-masikan materi pelajaran kepada siswa.
Komunikasi seperti di atas merupakan komunikasi satu arah. Hanya guru yang mengomunikasikan pelajaran, sedangkan siswa belum berperan sebagai komunikan yang baik. Siswa hanyalah sebagai pendengar dan pencatat. Pengajaran seperti ini sudah lama ditinggalkan secara teoritis, tetapi masih terlihat di dalam kenyataan. Atau belum ditinggalkan secara menyeluruh dalam proses belajar mengajar dewasa ini. Masalahnya barangkali ada pada guru.
Pengalaman guru belasan atau mungkin puluhan tahun mengajar, telah membuatnya sangat mahir mengomunikasikan pengajaran. Ia tampil sebagai komuikator ulung di depan anak didikanya. Oleh karena itu, dominasi guru selama jam pelajaran masih terlihat. Proses belajar mengajar bukan sesuai dengan namanya “belajar mengajar”, akan tetapi sebenarnya bila hanya guru yang menjadi komunikator dan siswa menjadi komunikan, proses itu dinamakan mengajar-belajar. Sekurang-kurangnya demikian yang tersirat di balik kegiatan itu.
Kebiasaan guru yang telah bertahun-tahun itu, memang sukar diubah. Selain itu, secara psikologis, seorang guru belum merasa mengajar jika ia tidak menerangkan, menjelaskan, dan menceramahkan materi pelajaran kepada siswanya. Aspek psikologis inilah yang membuat kualitas belajar mengajar sering rendah atau selalu rendah. Oleh karena, berperannya guru sebagai komunikator dan siswa sebagai komunikan, siswa yang mengikuti proses cendrung dijejeli dengan konsep-konsep dan teori-teori yang harus dihafal. Andalannya hanya pada ingatan, bila siswa mampu mengingat yang diceramahkan guru, pertanda ia telah berhasil dalam proses belajar mengajar.
Dengan komunikasi searah itu, pemikiran siswa sukar berkembang. Kretivitas siswa sering tidak tumbuh. Oleh karena di ruang kelas ia hanya berperan sebagai penerima yang pasif. Apa yang diberikan guru semuanya bahan jadi, bahan yang telah masak, tidak perlu dicerna lagi. Akibatnya dalam beberapa dekade, perkembangan pemikiran keilmuan di kalangan siswa kurang tumbuh, ia tidak dapat merespon pengetahuan yang disajikan guru. Ia tidak dapat memberi umpan balik terhadap pengetahuan yang dihidangkan oleh guru, karena kesempatan untuk mengumpan balik itu tidak didapatkannya.
Menyadari kekurangan komunikasi searah itu, pakar pendidikan menyarankan komunikasi jenis kedua, yakni komunikasi sebagai suatu interaksi, yakni komunukasi dua arah, komunikasi dua arah menjadikan keseimbangan antara belajar dengan mengajar. Artinya, aktivitas tidak hanya berada di tangan guru, tetapi siswa juga ikut aktif. Guru bukan hanya pemegang otoritas di ruang kelas dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi ia sebagai pemberi dorongan dan pemberi semangat. Hal ini memungkinkan terciptanya karakteristik belajar yang hidup dan menyenangkan.
Komunikasi dua arah dapat menjadikan suasana belajar yang menyenangkan. Siswa dapat memberi umpan balik, pendapat, komentar dan setuju atau tidak setuju terhadap bahan pengajaran yang di sajikan guru. Berdasarkan penelitian, ternyata proses komunikasi dua arah ini dapat menimbulkan keuntungan ganda. Siswa bukan saja mampu menyerap bahan yang di berikan guru, tetapi ia dapat mengolah dan memproses perolehannya secara aktif dan kreatif.
Perkembangan komunikasi dua arah ternyata melahirkan model belajar yang lebih hidup. Oleh karena itu, rekayasa bentuk komunikasi ketiga segera diterapkan yakni jenis komunikasi banyak arah sebagai komunikasi transaksi. Komunikasi jenis ini tidak hanya melibatkan guru dengan siswa, tetapi juga siswa dengan siswa. Komunikasi ketiga ini ternyata membuahkan hasil yang lebih menguntungkan lagi. Situasi formal dalam kelas tradisional segera buyar, lahirlah komunikasi yang hidup dalam situasi yang lebih dinamis. Siswa dengan leluasi mengkomunikasikan pemikirannya tentang bahan pelajaran kepada siswa lain dan kepada guru.
Komunikasi sebagai transaksi memerlukan kondisi-kondisi tertentu. Ada dua kondisi penting yang perlu dibenahi yakni kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal yang dimaksud yakni kondisi dalam. Kondisi dalam diri guru dan siswa. Dari segi guru ia harus membenahi kondisi di dalam dirinya. Bila selama ini ia tampil di kelas sebagai pemberi dan penjejel bahan pelajaran, kini ia harus mengubahnya menjadi mendorong dan pembantu siswa dalam memecahkan masalah pelajaran. Kondisi internal siswa perlu ia benahi seirama dengan pembenahan yang dilakukan guru.
Untuk menciptakan kondisi belajar dalam bentuk tidak komunikasi sebagai transaksi, guru harus melepaskan sebagian otoritasnya. Artinya guru diminta agak longgar dan agak demokratis. Guru bukan lagi sebagai “raja diraja” di depan kelas, tetapi ia sebagai saudara tua dari siswanya, sebagai sahabat dari murid-muridnya. Hal ini memerlukan kesiapan pisik dan psikis yang mantap. Kesiapan psikis yaitu berupa pengetahuan dan wawasan guru tentang bahan pelajaran yang dipegangnya. Sedangkan persiapan psikis yaitu berupa pengubahan sikap diri otoriter menjadi demokratis. Dari kekakuan menghadapi kelas menjadi kelenturan. Sedangkan kesiapan psikis lainnya yang amat penting adalah berupa keterampilan guru dalam mengelola kelas dan menggiring siswa dan situasi transaksi.
Dengan kesiapan pisik dan psikis dari guru, diharapkan aspek internal siswa juga mengalami perubahan. Bila siswa selama ini merasa takut dan keberatan mengeluarkan pendapat terhadap bahan pelajaran yang disajikan guru, dengan situasi transaksi ini siswa akan berani dan bersemangat untuk memberikan pendapatnya. Hal ini memungkinkan situasi belajar yang hidup dan menyenangkan. Tentu saja perubahan internal dari siswa memerlukan proses yang agak panjang dan memakan waktu yang agak lama.
Situasi eksternal yang dimaksud adalah lingkungan kelas, lingkungan sekolah. Sekolah-sekolah yang menerapkan proses belajar sebagai tansaksi akan mendukung terciptanya komunikasi ketiga ini. Akan tetapi sebaliknya, sekolah-sekolah yang biasa menerapkan situasi otoriter dan disiplin yang kaku, dapat menimbulkan efek sampingan jika guru menerapkan komunikasi sebagai transaksi. Begitu pula halnya denga situasi kelas, yang kadang-kadang tidak selamanya dapat mendukung dan menyetujui situasi daalam transaksi ini.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketiga jenis komunikasi di atas dalam proses belajar mengajar. Antara lain tujuan pelajaran, baik tujuan umum maupun tujuan khusus. Bila tujuan pelajaran memberikan informasi kepada siswa tentang konsep pengetahuan, maka komunikasi yang paling tepat ialah komunikasi searah. Guru menceramahkan bahan pelajaran kepada siswa. Pada akhirnya siswa, siswa akan coba menghafal dan mengingat-ingat bahan yang diberikan guru untuk keperluan ujian atau menjawab soal-soal tes.
Bila pengajaran bertujuan untuk penalaran, untuk mengembangkan konsep dan mengaplikasikannya, maka komunikasi jenis kedua atau interaksi adalah paling tepat. Dengan menggunakan komunikasi dua arah ini, siswa dapat menggunakan, menerapkan konsep yang diberikan guru dalam berbagai situasi. Pada akhirnya siswa akan sampai ke tingkat pemahaman, penalaran, dan penerapan. Sedangkan komunikasi banyak arah atau transaksi akan lebih tepat bila tujuan pelajaran memecahkan masalah atau melaksanakan penelitian. Siswa akan mampu mengkomunikasikan temuannya baik dengan rekannya maupun dengan guru.
Jadi ketiga komunikasi tersebut terpakai dalam proses belajar mengajar. Masalahnya, kualitas hasil belajar itu ditentukan oleh ketepatan penggunaanya. Bila penggunaan komunikasi itu tepat dan cocok dengan tujuan yang ingin dicapai, hasilnya dapat diasumsikan akan sangat memuaskan. Sebaliknya jika penggunaannya kurang atau tidak tepat, hasil belajar siswa jauh dari yang di harapkan. Pada akhirnya kembali berpulang kepada guru, persepsi guru, dan keterbacaan guru terhadap konsep belajar mengajar dan konsep komunikasi. (Zulkarnaini Diran)