MENERIMA ANAK DENGAN SEGALA TINGKAHNYA

“Untuk memupuk kreativitas anak, hendaknya mereka tidak dididik untuk memiliki kepatuhan mutlak dan disiplin bangkai.” Demikian dikemukakan Prof. Dr. S.C. Utami Munandar dan Prof. Dr. Conny Semiawan di dalam seminar setengah hari baru-baru ini di Jakarta.

Pendidikan anak di dalam keluarga maupun di sekolah saat ini lebih mengutamakan kerajinan, disiplin, dan kepatuhan ketimbang memberikan penghargaan terhadap inisiatif, kemandirian dan kebebasan. Dari model pendidikan seperti ini sulit diharapkan terbentuknya individu-individu yang mandiri dan mampu berwiraswasta, kata guru besar Psikologi UI.

Hal itu memang harus dibenarkan. Tentu saja seorang Prof. Dr. mengungkapkan pendapatnya berdasarkan hasil penelitian yang akurat. Tidak mungkin melontarkan pendapatnya secara sembrono. Bagi guru, “mengakui” hal itu berarti melihat diri. Menyimak dan menganalisis kehadiran tiap hari di tengah-tengah anak didik.

Dewasa ini sering didengar keluhan guru. Bukan saja keluhan kurang rajinnya anak tetapi kekurangpatuhan dan kekurangdisiplinan anak menjadi topik “gunjingan” bagi guru. Jika jam istirahat, duduk di ruang majelis guru, sang guru sering mengadu ke guru BK atau kepada wali kelas, terutama tentang kekurangpatuhan anak.

Tinjauan lebih jauh terhadap eksistensi guru memang perlu dilakukan. Kepatuhan, kedisiplinan, kerajinan yang bagaimana yang dituntut dari anak, terutama anak yang setingkat SLTP dan SLTA. Kepatuhan itu hendaknya dicarikan standarnya. Dan kedisiplinan itu dicarikan pula ukurannya. Sekurang-kurangnya dengan cara demikian, guru terhindar dari unsur penilaian subyaktif.

Untuk mencari ukuran yang disiplin dan kepatuhan memang rumit. Karena keduanya amat tergantung dengan situasi dan kondisi. Kepatuhan dan kedisiplinan anak kota amat berbeda dengan anak desa. Karena mereka berasal dari kalangan keluarga yang berbeda. Latar belakang kehidupan mereka mempengaruhi faktor tersebut.

Dalam hubungan ini kesadaran guru yang diminta. Kesadaran guru dalam menghadapi anak yang amat tergantung dengan situasi. Kesadaran menerima anak sebagai produk lingkungan dan produk keluarga. Menerima anak secara wajar dan objektif. Tidak menerimanya secara sepihak menurut ukuran dan norma yang kabur.

Seorang rekan yang mengajar di sebuah SLTP, keluar kelas dengan muka muram. Ia langsung mengadu kepada kepala sekolah. Karena anak didik telah memperlakukannya secara tidak wajar. Anak didik telah menghinanya. Ketika masalahnya ditekel oleh guru Bimbingan Penyuluhan, ternyata tidak serumit yang dilaporkan guru itu. Tetapi maslahnya adalah masalah biasa, masalah yang selalu ditemui oleh setiap pendidik.

Saat itu guru menerangkan masalah PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Berkisar tentang pahlawan yang gugur saat G30S meletus. Anak bertanya, apakah PSPB itu hanya berbicara tentang peristiwa sesudah merdeka saja, hal-hal yang terjadi sebelum kemerdekaan tidak dibicarakan. Rupanya guru baru pindah dari sekolah lain itu merasa dites oleh anak didik. Martabatnya merasa dijatuhkan. Lalu mengadu kepada kepala sekolah. Apakah itu suatu kenakalan anak, atau ketidakpatuhan?

Persoalannya memang pada guru. Sejauh mana seorang guru dapat menerima kehadiran anak sebagai seorang manusia yang baru berkembang. Sejauh mana guru dapat menerima anak sebagai seorang remaja yang ingin tahu segala-galanya. Inilah masalah guru. Inilah masalah kita semua.

Menerima anak sebagai insan produk zaman ini memang harus hati-hati. Karena pengaruh media massa, seperti radio, televisi, majalah dan surat kabar menjadikan anak lebih kritis, kadang-kadang hal yang belum sempat dibaca oleh guru, telah terbaca oleh anak. Hal itu pula kadang-kadang yang membuat guru “kalimpasiangan”. Apalagi jika bidang studi yang selalu aktual, seperti IPS, Bahasa Indonesia, dan lain-lain. (Zulkarnaini Diran)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *