Kalau jam mengajar guru tidak cukup 24 jam, siapa yang paling bertanggung jawab? Jika ditelusuri regulasi yang ada dan logika buruh-majikan, masalahnya ada pada yang “berwajib”. Yang berwajibnya adalah pemerintah daerah. Wakil pemerintah daerah yang mengurus pendidikan adalah dinas pendidikan setempat. Jika guru belum atau tidak memenuhi jam yang ditetapkan, yang bertanggung jawab tentu kepala dinas pendidikan. Bukankankah kepala dinas pendidikan “juragan atau majikan” pendidikan di daerahnya, sementara guru adalah buruh yang siap mengerjakan pekerjaan yang diberikan juragannya (Guru dalam Dilema halalam 15).
Itulah contoh pernyataan yang akan ditemukan dalam buku ”Menggamit Dunia Pendidikan” ini. Dunia pendidikan memang penuh permasalahan. Bagi subjek pendidikan sangat merasakan ketidakadilan dalam perlakuan. Ketimpangan dalam kebijakan. Bahkan regulasi yang dibuat pemerintah pun ada yang tidak berpihak kepada subjek pendidikan yakni pendidik dan peserta didik. Anda akan menemukan banyak hal atas ketidak-adilan itu dalam buku kecil ini.
Penderitaan guru tidak hanya dalam wilayah adminstrasi tetapi juga dalam arena praktisi. Guru dipaksa menerapkan hal-hal yang amat teoretis. Teori-teori hasil serapan para pakar dan akademisi dijejelkan dalam bentuk regulasi pendidikan dan kajian teori pendidikan. Adopsi ilmu teori dari mancanegara seolah-olah dapat dilaksanakan di dunia pendidikan kita. Teori-teori itulah yang kemudian menggelisahkan guru. Sementara mereka tidak pernah dilibatkan secara intensif untuk merancang regulasi dan konsep-konsep teoretis pendidikan. Akhirnya guru terjebak di anatara wilayah teoretis dan praktis. Itu pulalah yang melengkapi penderitaan guru. Hal itu akan Anda temukan dalam buku kecil ini. Lihatlah kutipan berikut!
Para guru, tabahlah! Dunia teoretis memang berjarak dengan dunia paraktis. Para pakar hidup di ranah teoretis sedangkan kita berada di wilayah praktis. Kedua domain itu memang memiliki “kesenjangan” yang amat sangat. Pakar menyusun jalan dan rambu-rambu berupa “kurikulum” untuk perjalanan proses pembelajaran dengan berbagai formulasi teori yang “entah darimana saja”, sementara kita “dipaksa” menempuh jalan tersebut. Menurut pandangan dunia paraktis, jalan dan rambu-rambu adalah sarana untuk “menuju sesuatu”. Jalan itu mestinya dilalui dengan mudah sehingga kita sampai ke tujuan. Akan tetapi “jalan” itu ternyata menimbulkan berbagai kesulitan buat kita. Oleh karena itu, para guru tabah dan bersabarlah! (Guru di Antara Ranah Teoretis dan Praktis halaman 21).
Di sekolah, guru sering berbenturan ide, gagasan, dan pendapat dengan kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai pemegang otoritas pelaksanaan pendidikan, terlambat berinovasi dan mengikuti perkembangan ilmu serta teknologi pendidikan. Sementara itu, guru lebih cepat mendapat informasi dan lebih terbuka menerima teknologi. Ketika sang guru ingin mengimplementasikan inovasi di sekolahnya, terbentur dengan kebijakan pemegang otoritas. Akhirnya siapa yang mengalah? Nah hal ini akan Anda baca pada judul ”Guru Berlari, Kepala Sekolah Jalan di Tempat” pada buku kecil ini.
Dunia pendidikan sejak lama dan kini tidak memiliki otonomi. Mestinya institusi pendidikan dapat dan diberi wewenang untuk mengurus dirinya sendiri. Undang-undang dan regulasi yang lain membenarkan hal itu. Artinya aturan yang berlaku berbunyi secara inplisit dan eksplisit bahwa institusi pendidikan dapat berotonomi. Apa yang terjadi dalam kenyataan? Ternyata tidak seperti yang tertulis dalam regulasi. Pendidikan diintervensi oleh berbagai elemen dalam masyarakat. Termasuk mereka yang ada di lembaga eksekutif dan legislatif. Ini pun akan Anda nikmati di bawah judul ”Jika Pendidikan Diaduk-aduk” serta judul lain yang seirama dengan itu.
Tahukah Anda, bertapa orang dewasa sangat ”bernafsu” untuk berprestise dalam pendidikan anak-anaknya? Anak-anak dipaksa belajar untuk mendapatkan nilai (angka-angka) bagus dalam ujian sekolah, ujian daerah, dan ujian nasional. Hasil ujian yang bagus adalah prestise bagi pemerintah daerah, dinas pendidikan, sekolah, dan orang tua. Seolah-olah mereka bersepakat untuk ”memaksa” anak-anak belajar dan belajar setiap saat dan waktu untuk ”prestise” itu. Manusiawikah? Nah, di dalam buku kecil ini akan Anda temukan hal itu di bawah naungan beberapa judul. Di antara judul yang tidak boleh luput dari perhatian Anda adalah, ”Pengayaan atau Penganiayaan”.
Otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat.. Hal itu juga berlaku di dunia pendidikan. Pelayananan pendidikan kepada masyarakat diasumsikan meningkat dengan keberadaan otonomi daerah. Dalam kenyataan ternyata hal itu belum terwujud. Bahkan ada yang kebalikan dari itu. Malah ada anggapan bahwa otonomi daerah telah membuat pelayanan pendidikan menjadi lebih buruk.
Indikasi buruknya pelayanan pendidikan itu terlihat pada pengangkatan pejabat pendidikan. Pengangkatan dilakukan semena-mena menurut selera kepala daerah. Orang yang tidak berkompeten di dunia pendidikan, diangkat menjadi pejabat pendidikan. Suatu pekerjaan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah kehancuran. Itu terjadi hampir setiap tahun di dunia pendidikan. Judul ”Komitmen tentang Pendidikan” dan judul ”Mutasi” pada buku ini akan memberikan informasi kepada Anda tentang fenomena itu.
Ketika kurikulum berubah, dunia pendidikan dan masyarakat bagaikan diguncang ”gempa” dahsyat. Teriakan setuju dan tidak setuju tentang perubahan kurikulum kedengaran di mana-mana. Berbagai komentar dengan dan tanpa argumentasi bermunculan di mana-mana. Bagi pemerintah daerah perubahan kurikulum itu ditafsirkan beragam. Ada yang beranggapan, kurikulum baru itu adalah prestise, martabat, dan harga diri. Ketika pusat (baca: Kementerian Pendidikan) meluncurkan kurikulum baru dengan menggunakan sekolah piloting terbatas, pemeritah daerah dan masyarakat ada yang yang bernafsu. Mereka ingin semua sekolah langsung menjadi piloting. Muncullah beragam bahasa dalam pelaksanaan kurikulum baru. Judul tulisan ”Kurikulum dalam Tiga Bahasa” dalam buku ini meggambarkan kepada Anda fenomena itu. Jangan sampai luput dari perhatian Anda!
Buku kecil ini merupakan rekaman dari fenomena pendidikan. Hal itu bukan dilihat dari jauh dan dikaji dalam kerangka teoretis, tidak, tidak sama sekali. Saya sebagai pendidik dan praktisi pendidikan, menyimak fenomena itu dalam rentangan waktu yang cukup panjang. Simakan dilakukan dari dalam dunia pendidikan yang saya geluti itu. Hasil simakan itu dinukilkan dalam opini yang diterbitkan oleh surat kabar nasional yang terbit di daerah. Terutama Harian Haluan dan Singgalang terbitan Padang, telah mempublikasikan tulisan-tulisan hasil simakan itu sejak tahun 1980-an hingga tahun 2000-an.
Rentangan waktu penulisan yang cukup lama, akan memberikan gamabran tentang fenomena yang menonjol dalam dunia pendidikan kita dalam kurun itu. Ada artikel yang ditulis tahun 1980-an dan ada yang dilahirkan pada tahun 2000-an, sehingga secara kronologis fenomena itu terbaca secara singkron. Bahkan ada fenomena yang muncul berulang dalam kondisi dan situasi yang berbeda.
Kristalisasi dari limapuluh tulisan yang ada dalam buku ini memperlihatkan fenomena bahwa dunia pendidikan tidak sepi dari masalah dan tidak steril dari persoalan. Intervensi dari berbagai pihak menunjukkan kekhasan pendidikan kita. Guru adalah orang yang paling dibebani oleh masyarakat dan birokrat dalam menanggung segala kegagalan pendidikan. Birokrat pendidikan adalah orang yang paling banyak menangguk ”keuntungan” atas keberhasilan pendidikan. Sementara itu, masyarakat semakin berambisi untuk mendapat pendidikan layak. Fenomena itu ternukil dan terekspresi dalam lima puluh artikel yang pernah saya tulis. Kini ada pada buku ”Menggamit Dunia Pendidikan” yang sedang Anda hadapi ini.
Buku yang ada di tangan Anda ini adalah rekaman fenomena dalam dunia pendidikan. Fenomena itu ternyata beranekaragam. Banyak kejadian yang menggejala di sana. Kejadian-kejadian itu tidak bisa dilihat dari luar saja. Untuk melihatnya harus masuk ke dalam, bergelimang di dalamnya, barulah dirasakan kondisi nyata yang mengapung dalam bentuk fenomena.
Tentu saja, usai membaca buku ini, artikel-artikel yang tersaji di sini, harapan penulisnya adalah agar pembaca lebih dekat dengan dunia pendidikan. Dengan kedekatan itu akan terasa denyut dan getaran yang dialami dunia pendidikan kita. Pada akhirnya rasa simpati dan empati pembaca terhadap dunia pendidikan akan tumbuh. Dengan itu pula tentu masyarakat dan pembaca dapat berkontribusi nyata dalam membantu penanggulangan berbagai permasalahan di dunia pendidikan. Semoga.
Padang, Mei 2023