Oleh Zulkarnaini Diran
Rendang adalah makanan khas Minangkabau. Makanan tradisional itu kini sudah menasional, bahkan menginternasional. Artinya, makanan yang padamulanya hanya dikonsumsi oleh etnis atau subkultur Minangkabau, kini menjadi konsumsi masyarakat luas, mendunia. Hampir semua lidah dan semua selera terpuaskan oleh masakan dapur orang Minangkabau ini.
Masakan rendang adalah hasil adonan dari berbagai bahan baku. Ada sebelas bahan baku yang diracik sehingga menjadi rendang. Dari sejumlah bahan baku itu dapat dipilah menjadi dua kategori atau jenis yaitu bahan baku hewani dan nabati. Bahan baku hewani biasanya dari daging sapi, sedangkan nabati merupakan bumbu-bumbu dari tumbuhan yang hidup di tanah Minangkabau. Bahan baku nabati itu meliputi santan kelapa, cabai, bawang merah, bawang putih, jahe, lingkuas, kunyit, serai, daun salam, dan mungkin ada bumbu lain sesuai dengan kekhasan daerah-daerah di Minangkabau.
Rendang diracik dalam suatu resep yang dilakukan berdasarkan perencanaan. Perencanaan itu meliputi empat hal penting yang meliputi penyiapan bahan baku, penetapan proses pembuatan, finalisasi, dan menghidangkan. Meracik rendang sampai menghidangkan adalah suatu proses yang sistematis. Di situlah akan terlihat pembelajaran secara ekspilist dan inplisit yaitu pembelajaran nyata dari proses dan makna atau nilai-nilai yang terkandung di dalam proses itu. Pendidik dapat memilih satu di antara kedua hal itu atau dapat memilih sekaligus kedua-duanya. Tentu tergantung kepada keadaan dan kebutuhan peserta didik.
Ketika rendang terhidang, di situ ada mata pelajaran biologi, bahsa Indonesia, fisika, kimia, ilmu pengetahuan sosial (geografi, sejarah, ekonomi), matematika, PPKn, seni budaya, keterampilan, agama, dan lain-lain. Kuncinya, tergantung keadaan dan kebutuhan. Keadaan menyangkut dengan ketersediaan sumberdaya pendidik, sumeberdaya dana, dan sumberdaya sarana/prasarana. Kebutuhan berhubungan dengan kebutuhan peserta didik, satuan Pendidikan, dan daerah. Rendang dapat menjadi objek pembelajaran kolaboratif dengan “skenario pendidik” yang kreatif dan inovatif.
Pembelajaran berkelompok sangat cocok untuk ini. Peserta didik dikelompokkan dalam bentuk gasal atau ganjil. Anggota kelompok jangan lebih dari lima orang. Pembelajaran dengan pendekatan “proyek” dapat digunakan. Masing-masing kelompok mulai menyusun perencanaan membuat rendang. Beri mereka kesempatan untuk berinprovisasi dalam perencanaan. Akan tetapi garis besar perencanaan ditetapkan oleh pendidik. Garis besar itu adalah penyaiapan bahan, proses pembuatan, dan menghidangkan.
Ketika menyusun rencana di situ ada mata pelajaran bahasa Indoensia untuk membahasakan, ada matematika untuk memperhitungkan ukuran bahan, ada biologi untuk penentuan bahan hewani dan nabati. Pelajaran agama Islam ada di daalamnya, yakni penentuan halal dan haram bahan baku hewani. Seni budaya hadir dalam menghidangkan dan menyantap rendang. Itu baru pada perencanaan, kolaborasi mata pelajaran telah terjadi. Banyak mata pelajaran yang terlibat di dalamnya. Hal penting yang tidak boleh diabaikan, dalam menyusun rencana ini adalah penentuan ”kompetensi peserta didik” yang harus dicapai. Kompetensi itu terumus dengan jelas dan terukur (dapat dinilai).
Pada saat perencanaan sudah tersusun, pendidik dapat menskenariokan ”lomba membuat resep rendang”. Jika perencanaan masih bersifat umum, spesifikasinya ada pada penyusunan “resep rendang”. Setiap kelompok diberi “kemerdekaan” untuk membuat resep rendang. Dari sini akan muncul berbagai varian resep rendang hasil karya peserta didik. Mata pelajaran yang ada di dalamnya adalah bahasa Indoenesia untuk ’kekomunikatifan” bahasa resep. Matemamatika akan hadir untuk detil hitungan baku kadar bumbu dan bahan baku. Pelajaran biologi akan tampil di situ untuk khasiat-khasiat dan kegunaan bumbu yang disediakan. Begitu seterusnya untuk mata pelajaran lain yang bisa dilibatkan. Tentu saja pendidik tidak boleh lupa tentang kompetensi yang harus ditumbuhkembangkan melalu ”resep rendang” ini.
Praktik merendang adalah langkah berikutnya. Pada hakikatnya praktik merendang adalah “mengoperasionalkan” resep menjadi tindakan atau kegiatan. Di situ ada manajemen yang berhubungan dengan pembagian tugas. Ketika kelompok mulai bekerja, masing-masing anggota sudah tahu siapa mengerjakan apa. Hal ini tentu perlu dimenej dengan baik. Untuk itu mereka memiliki ketua atau yang dituakan di dalam kelompok. Ketua bertugas untuk membagi tugas dan mengontrol pelaksanaan praktik merendang. Pelajaran PPKn khusun untuk gotong-royong akan teraktualisasi di sini. Pelajaran agama Islam pun dipraktikkan di sini yaitu memulai pekerjaan dengan nama Allah. Hal penting lainnya ialah menjaga kebersihan ketika praktik dilaksananakan. Kolabaorasi ini juga melibatkan hampir semua mata pelajaran. Kata kuncinya ialah ”skenario pembelajaran” yang juga disusun secara kolaboratif oleh pendidik.
Kini rendang sudah jadi. Setiap kelompok melakukan dua hal penting. Pertama, setiap kelompok meminta kelompok lain untuk mencicipi dan menilai rendang buatannya. Hasil kerja kelompok dinilai oleh kelompok lain. Ukuran atau indikator penilaian dibuatkan patronnya oleh pendidik. Hasil penilaian ditampilkan dalam bentuk deskripsi yang dilengkapi dengan data hasil penilaian. Kedua, setiap kelompok menghitung secara rinci kost atau biaya yang dikeluarkan untuk membuat semangkuk rendang dengan ukuran berat tertentu. Menghitung kost bukan hanya berhubungan dengan pembelian bahan, tetapi tenaga dan waktu yang digunakan untuk itu hendaklah menjadi hitungan pula. Dalam konteks ini hal yang menjadi perhatian adalah ”ketelitian” membuat perhitungan sehingga harga ”modal” semangkuk rendang dapat ditetapkan.
Memberi kesempatan menilaian hasil kerja satu kelompok oleh kelompok lain ada nilai-nilai yang dikembangkan di situ. Di antaranya adalah nilai kritis dalam berpikir. Berpikir kritis adalah berpikir tentang sesuatu secara objektif. Abjektifitas itu dibuktikan dengan argumen faktual dan teoretis. Hasil penilaian akan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan empiris. Selain itu juga terkandung di dalamnya nilai “saling menghargai”. Hasil kerja suatu kelompok dihargai oleh kelompok lain sesuai dengan kadarnya secara objektif. Fakta empirik dan rasional dalam membuat rendang menjadi argument untuk memberi penghargaan kepada hasil kerja kelompok lain. Begitu seterusnya, kata kuncinya tetap kembali kepada acuan atau skneario yang disusun oleh pendidik.
Kegiatan terakhir adalah menghidangkan rendang yang sudah jadi. Ada dua pola hidangan mungkin yang dapat dikembangkan. Pola pertama adalah hidangan tradisional yang digelar di atas tikar. Acaranya dapat berbentuk acara taradisi adat dalam kultur Minangkabau. Pola kedua adalah hidangan modern yang dihidang di meja makan. Dulu disebut “menutup” meja. Kedua pola itu pada dasarnya mengandung nilai-nilai kutural yang di dalamnya bermuatan ”kompetensi”. Nilai-nilai seni, adab, dan akhlak dalam menghidang ada di kedua pola itu. Nilai-nilai keindahan dan keserasian akan muncul di situ. Artinya, ada hal yang dapat dipetik dan dikaitkan dengan kompetensi yang berhubungan dengan mata pelajaran.
Rendang, masakan tradisional Minangkabau yang “mendunia” dapat dijadikan objek pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif antarmata pelajaran dirancang oleh pendidik sedemikian rupa. Rancangan itu, selain skenario pembelajarannya, juga sangat penting merumuskan kompetensi yang hendak dicapai. Kompetensi itu dirumuskan dengan jelas dan tegas, sehingga dapat diukur. Jika semangkuk rendang makanan khas orang Minangkabau dapat menjadi objek pembelajaran, kenapa tidak kita coba. Tentu berepulang kepada sejawat guru. Mudah-mudahan tulisan pendek ini bermanfaat.
Manna, Bengkulu Selatan, 24 Oktober 2023