PRASANGKA

Oleh Zulkarnaini Diran

Pagi ini, Selasa 21 November 2023 saya menikmati  bubur ayam di warung kakilima, Simpang Brimob, Jalan Adinegoro, Lubukbuaya, Padang. Warung bubur ayam ini sering saya singgahi apabila mengayuah ke arah ini. Masakan bubur ayamnya sesuai dengan selera saya. Pemilik warungnya adalah Akang Saleh. Orangnya masih muda, ramah, dan mudah tersenyum. Kang Saleh benar-benar bersungguh-sungguh melayani pembelinya dengan tegur sapa yang santun. Oleh karena itulah barangkali, warungnya pagi hari sangat ramai. Di dampingi oleh istrinya dan dua anaknya, dia tiap hari berjualan bubur ayam di situ.

Pagi ini saya sampai di warung itu lebih awal. Biasanya setelah mangayuah 40 sampai 50 km, barulah saya mampir di situ. Pagi ini kayuhan saya baru 24 km lebih dan saya singgah di situ. Hal itu terjadi karena cuaca kurang bersahabat, hujan gerimis. Ketika sedang menikmati bubur ayam pesanan, saya menyaksikan sesuatu yang belum terlihat selama ini.

Seorang “berpakain dinas” berhenti di samping gerobak bubur ayam, kemudian menyodorkan semacam kwitansi tanda terima kepada Akang Saleh. Sesaat Akang membacanya, kemudian mengambil uang dari kotak dan menyerahkan kepada petugas itu. Saya lihat ada tiga lembar uang seratus ribu dan satu lembar uang limapuluh ribu berpindah dari tangan Akang kepada petugas. Petugasnya berlalu tanpa salam dan basa-basi. Saya kaget sambil membatin, pedagang kecil dipungut iyuran sebanyak itu.

Pikiran saya melayang ke kisah 49 tahun yang silam. Saya berjualan  kakilima di Jakarta. Mencari nafkah di setiap tanah terluang di Ibukota RI itu. Kadang-kadang, kita baru membuka dan menggelar barang jualan, sudah ada yang meminta uang. Pemintanya mulai dari “preman” sampai “petugas resmi”. Begitulah nasib pedagang kaklima. Mereka “berladang” di punggung orang-orang kecil seperti pedagang kakilima itu.

Hati saya sakit menyaksikan kejadian itu. Saya buka HP, saya cari nomor “yang berwajib” di situ. Saya ingin menanyakan perihal pungutan itu. Saya ingin minta penjelasan tentang pungutan sampai Rp 350 ribu rupiah kepada pedagang bubur ayam di kakilima. Itu yang ingin saya pertanyakan. Bahkan saya ingin meprotesnya. Uang sepuluh ribu-sepuluh ribu yang dikumpulkan oleh Akang Saleh dengan usahanya, tiba-tiba saja ada yang menagih sampai sebanyak itu. Itu semua baru ada dipikiran, belum saya lakukan.

Ketika pengunjung tinggal dua orang, saya bertanya kepada Akang Saleh. Uang yang tadi diberikan kepada “pemungut” itu uang apa, iyuran apa. Akang Saleh menjawab dengan santai. “Uang tabungan, Pak. Rencana untuk masa pensiun. Kami menyisihkan tiap hari Rp 350 ribu”, kata Akang Saleh. Mendengar jawaban itu saya terperanjat. Spontan terlompat dari mulut saya “astagfirullahhalazim”. Saya telah melakukan kesalahan fatal. Kesalahan yang jika tidak minta ampun, tidak akan diampuni oleh Allah SWT. Saya telah “berprasangka buruk” berbuat dosa kepada makhluk Allah yang bernama manusia. Surat Al-Hujurat (49) ayat 12 menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, ….”

Padang, 21 September 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *