SILATURRAHIM, TERHARU, DAN TERSANJUNG

Oleh Zulkarnaini Diran

Usai Subuh, Jumat, 17 November 2023 saya buka pesan WhatsApp (WA). Pengirimnya Hajjah Salmahayati dari Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Isinya sederhana. “Assalamualaykum, Kainir iko Buya nak ngecek, nelpon sobonta.” (… Kainir, ini Buya ingin berbicara lewat telepon). Kainir atau Kainiang adalah nama panggilan saya di kampung kelahiran Mahat, Bukik Barisan, 50 Kota. Orang-orang terdekat, karib kerabat ‘tersayang’ biasa memanggil saya dengan nama itu. Pengirim pesan WA ini adalah sahabat saya sejak remaja di kampung. Suaminya Haji Harius Rusli, Lc,  juga sahabat saya sejak dulu. Tentu saja, saya tidak menunggu “buya” menelpon. Saya langsung mengontaknya lewat video call. Kami pun berkomunikasi.

Hajjah Salmahayati, yang di Kota Bengkulu dikenal sebagai “Umi Hajjah”. Suaminya Haji Harius Rusli yang sejak dulu memang kami panggil “buya”. Keduanya adalah pendiri dan sekaligus pengelola ”Pondok Pesantren Harsalakum, Kota Bengkulu”. Salmahayati pernah kuliah di Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol Payakumbuh. Harius Rusli, menyelesaiakn Sarjana Muda di IAIN Imam Bonjol Bukittinggi dan kemudian mendapat beasiswa untuk strata satu (S1) di Universitar Madinah (Madinah University). Pulang dari Madinah, mereka berdua mendirikan pondok pesantren itu di Kota Bengkulu. Hingga kini, pondok itu terus berkembang.

Salmahayati, Harius Rusli adalah sepasang istri-suami, putri-putra  Nagari Mahat, Bukik Barisan, 50 Kota, Sumbar. Salmahayati dari Jorong Aua Duri, Suku Piliang Datuak Sinaro Sati, sedangkah Harius dari Jorong Ronah, suku Kampai Datuak Muncak. Dengan rahmat Allah, keduanya dikarunia-Nya tujuh anak (satu meninggal), dengan dua puluh dua orang cucu. Keluarga besar yang ”sangat berbahagia”. Insya-Allah, jika keduanya mengizinkan dan dengan fasilitas kemampuan yang ada, saya akan menulis ”kisah-kisah perjalanan keduanya sehingga sukses mendirikan pondok pesantren di rantau”.

Dialog saya lewat video call membuat saya “terharu dan tersanjung”. Isi dialog itu  berisi informasi dan permintaan. Saya terharu atas informasi yang beliau sampaikan. Saat ini, warga Mahat (bukik posuak -gunung tembus) yang ada di Bengkulu, termasuk anak cucu hampir 50 orang. Semuanya itu merupakan “goresan motivasi” yang diperuntukkan perantau Mahat dari kedua suami istri yang alim ini. Di rantau Bengkulu, keduanya tidak hanya mendirikan pondok pesantren, tetapi juga menyemangati sanak famili, karib kerabat yang muda-muda untuk berjuang di“negeri orang.” Ternyata Umi dan Buya berhasil, sehingga banyak yang sukses di Kawasan  “Negeri Raflesia” dan sekitarnya dalam berbagai lini kehidupan. Alhamdulillah.

Cerita yang disampaikannya itulah yang membuat saya terharu. Terharu atas perjuangan “orang kampung” dari daerah terpencil dan terisolasi yang sukses mendirikan lembaga pendidikan Islam di negeri orang. Buya Harius menyelesaikan pendidikan tahun 1977.  Kemudian keduanya tinggal di Bengkulu. Keduanya berupaya dan berjuang mencari jalan untuk mendirikan Pondok Pesantren. Pondok itu terwujud tahun 2000 usai gempa Bengkulu. Inilah yang menimbulkan keharuan saya.

Sabtu, 18 November 2023 saya hendak kembali ke Padang. Tiket sudah dibeli. Jadwal berangkat dari Bengkulu pukul 11.00. Melalui video call itu saya sampaikan kepada Buya. Buya meminta saya untuk menunda keberangkatan. Tiket yang sudah dilunasi, jika perusahaan tidak mau mengembalikan, anggap saja bersedekah. Hari-hari berikutnya dicari tiket untuk keberangkatan ke Padang. Begitulah Buya Harius meminta saya agar keberangkatan ditunda.

Penundaan keberangkatan saya dan istri dari Bengkulu ke Padang yang disarankan Buya adalah untuk suatu niatan. Niatannya ialah mengajak saya untuk menginap barang semalam dua malam di rumahnya. Lebih dari itu, Buya meminta saya “berbagi pengalaman” degan dunsanak yang merantau di kota Bengkulu. Pertemuan direncanakan di gedung serbaguna Pondok Pesantren Harsallikum. Hal itulah yang membuat saya tersanjung, “berbagai pengalaman”.

Tidak ada permintaan Buya Harius dan Umi Salmahayati yang dapat saya kabulkan. Fasalnya, hari Sabtu itu saya harus berangkat ke Padang karena ada acara yang tidak mungkin ditunda pada hari Ahadnya. Namun, untuk bersilaturrahim tetap dipenuhi. Kami singgah minum teh dan mencicipi makanan ringan di rumah sahabat ini. Sayang, Buya juga ada jadwal lain pada hari itu. Kami hanya bertemu dengan Umi Salmahayati.

Itulah kisahnya tiga kata “Silaturrahim, Terharu, dan Tersanjung”.

Padang, 21 September 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *