INFORMASI “MENGANCAM”?!

Oleh Zulkarnaini Diran

Seseorang bercerita. Istrinya juga mau ikut dalam perjalanan ini, tetapi batal. Istrinya yang berusia hampir enam puluh tahun itu mengalami “stres berat”. Akhirnya bapak itu saja yang berangkat ke Padang untuk melihat anaknya yang kuliah di fakultas kedokteran di salah satu perguruan tinggi swasta di Padang. Cerita itu terjadi di atas bus yang saya tumpangi dari Bengkulu ke Padang beberapa waktu yang lalu.

Bapak itu terus bercerita. Menurut jadwal dan ”porsi haji” suami – istri itu mendapat giliran berangkat menunaikan ibadah haji tahun 2024 ini. Mereka berdua bersukacita karena sudah menunggu hampir duabelas tahun. Akan tetapi, tiba-tiba pemerintah mengumumkan, bahwa biaya perjalanan haji 2024 hampir Rp 100 juta perjemaah. Kedua orang pensiunan ASN itu kaget, bingung, bahkan putus asa, karena tidak mungkin menyediakan uang tambahan pelunasan biaya haji sebanyak itu. Informasi itulah yang membuat sang istri ”stres berat”.

Saya tanyakan perihal informasi itu. Ternyata beliau mmebacanya di media sosial. Saya juga menanyakan tentang isi informasi itu. Beliau menjawab bahwa yang dibaca judulnya saja. Isinya tidak begitu diketahuinya. Bahkan hal itu telah diputuskan oleh pemerintah dengan DPR, kata beliau meyakinkan dirinya bahwaa biaya haji tahun ini memang seperti itu.

Saya juga membaca berita yang dirilis media cetak terbitan Jakarta itu. Bedanya saya dengan teman seperjalanan ini sedikit saja. Beliau hanya membaca judul saja, saya membaca sampai uraian isinya. Saya mendapat inti informasi bahwa biaya haji memang naik, tetapi yang dibayar jemaah hanya sekitar Rp 56 juta perorang atau 60% dari yang ditetapkan. Hasil bacaan saya itu saya jelaskan kepada teman yang berdekatan duduk di bus ini. Beliau kaget, dan bertanya tentang keabsahan informasi itu. Saya buka situs media cetak yang mengabarkan itu, saya sodorkan kepadanya. Barulah dia yakin.

Spontan saja dia mengagkat telepon genggamnya dan langsung menelpon istrinya. Beliau meyakinkan sang istri bahwa berita Rp 56 juta itu benar. Kemudian saya dengan mereka bedua tertawa dambil mengucapkan kalimat pujian kepada Allah, alhamdulillah.

***

Beberapa waktu yang lalu saya membaca pesan di WAG. Isinya tentang Al-Quran. Informasi itu mengabarkan bahwa kitab suci umat Islam itu banyak yang dipalsukan. Pemalsunya adalah kementerian tertentu. Ayat-ayat yang berhubungan dengan pemilihan pemimpin diubah, sehingga menyesatkan. Begitu informasi itu menyebar. Banyak yang merespon, mereka yakin bahwa isi A-Quran telah diubah untuk kepentingan kelompok tertentu. Di bawahnya juga diminta oleh si pengirim agar berita ini disebarluaskan.

Saya membacanya sambal tersenyum. Bahkan semua ulasan dan komentar terhadap informasi itu juga saya siasati dan saya baca sungguh-sungguh. Di samping komentar yang “baik-baik” lebih banyak komentar caci-maki. Yang dicaci maki pemerintah yang sah dan kementerian tertentu. Saya hanya menggelengkan kepala. Betapa informasi ini telah membuat orang lupa diri dan menjadi ancaman berbagai dimensi kehidupan.

***

Dua contoh faktual itu cukup untuk memperlihatkan bahwa informasi dapat menjadi ancaman bagi manusia. Ancaman itu dapat menyerang berbagai dimensi kehidupan. Contoh fakta pertama, informasi telah menghantam ”kesehatan mental” si ibu. Dia stres karena menerima informasi kenaikan biaya haji. Jika stresnya tidak segera dipulihkan, biasa jadi akan mengcam fisiknya. Apalagi dengan usia yang hampir enam puluh tahun. Dalam konteks ini, infomasi mengancam kesehatan fisik dan mental penerimanya.

Contoh faktual yang kedua lebih berbahaya. Informasi bukan mengancam fisik dan mental, tetapi mengancam “aqidah dan iman” penerimanya. Bisa jadi, informasi itu dibuat dan disebarluaskan untuk memperdangkal aqidah dan iman umat.  Disengaja hal itu dibuat seolah-olah berpihak kepada umat Islam. Tanpa disadari, penyebaran dilakukan oleh penganut agama Islam melalui berbagai media, termauk media sosial. Artinya, umat Islam terpancing emosi dan turut ”menggerogoti aqidah dan imanya” sendiri.

Al-Quran itu kitab yang ditutunkan Allah 1400 tahun lalu. Jika ada yang ”mampu memalsukan” tentu dari dulu-dulu umat Islam telah menerima kepalsuan itu. Menurut aqidah Islam, kitab suci itu tidak mungkin dipalsukan. Allah menyatakan jaminannya bahwa kitab tersebut dipelihara-Nya. Hal itu tertuang di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hijr ayat 9, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya”. Dengan mempercayai informasi itu, berarti kepercayaan kepada Al-Qur’an, khusus ayat ini, telah luntur. Iman telah digrogoti oleh informasi itu.

Mereka yang ”terancam” oleh informasi adalah mereka yang kurang atau tidak cerdas menerimanya. Orang cerdas akan mengolah, menganalisis, menyeleksi informasi itu. Setelah melalui penyaringan yang ketat, barulah informasi itu dipercayainya. Jika yakin informasi itu benar dan bermanfaat, barulah dibagikan kepada orang lain. Dengan demikian, informasi tidak akan menjadi ancaman. Orang cerdas memanfaatkan informasi, orang tidak cerdas ”terancam” oleh informasi.

Padang, 15 Januari 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *