Oleh Zulkarnaini Diran
“Abdullah bin Mas’ud berkata, Rasulullah SAW berkata, ‘Sesungguhnya jujur akan membawa kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga’ “(HR Bukhari)
Banyak pendidikan dan pelajaran yang dapat dipetik dari ibadah Ramadan. Satu di antaranya adalah memupuk kejujuran. Pada bulan Ramadan kita berupaya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dan merusak pahala puasa. Upaya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dibungkus oleh iman yang teguh. Kesungguhan dan keimanan itu pun terus dipelihara setiap hari. Tentu pemeliharaannya dilakukan dengan jujur pula.
Puasa menahan haus dan lapar. Lapar yang amat sangat ditahan, haus yang luar biasa dilawan. Tidak satu pun niat untuk makan dan minum pada saat melaksanakan puasa. Siang hari di rumah sendirian. Di dapur tersedia air dan sisa makan sahur. Perut keroncongan, dahaga datang mendesak. Jika makan yang tersedia disantap, air yang ada diteguk, tidak ada yang tahu. Tidak ada siapa-siapa yang akan mengur. Akan tetapi di rongga dada itu ada “nurani” yang bemukim di dalam qalbu. Di nurani itu ada kejujuran. Jujur kepada diri sendiri, kepada orang lain, dan kepada perintah Allah SAW. Air dan hidangan yang ada di meja makan itu tidak disentuh. Itulah kejujuran.
Puasa telah menggembleng kita untuk senantiasa berlaku jujur kapan dan di manapun. Dalam keadaan baik, tidak baik, hujan, badai, dan cuaca terburuk sekalipun “jujur” harus dipertahankan. Bisa jadi ini adalah dampak dari pendidikan dan pembelajaran pada bulan Ramadan, yang dihiasi oleh ibadah puasa yang dilaksanakan. Untuk kejujuran itu, simaklah tulisan berikut ini.
Lelaki itu sudah tua. Dia adalah pengusaha sukses. Untuk melanjutkan usahanya, lelaki itu takhendak menyerahkan “kerajaan uangnya” itu kepada anak-anaknya. Dia ingin perusahaan besar itu dipimpin oleh orang jujur yang berasal dari para eksekutif mudanya. Oleh karena itu, dia berniat untuk mencari penggantinya. Pengganti itu akan diserahi tugas satu tahun sejak sekarang.
“Inilah saatnya saya haus mengundurkan diri. Saya akan memilih satu di antara Kalian sebagai pengganti saya. Orang yang terpilih inilah kelak yang akan melanjutkan dan mengembangkan perusahaan ini, dialah yang akan menjadi Chief Executive Officer (CEO) di perusahaan ini”, katanya kepada para eksekutif muda yang berkumpul di ruangan rapat perusahaan itu.
Para eksekutif muda itu terperanjat, kaget, dan saling berpandangan. Mereka saling bertanya dengan tatapan mata sesamanya. Sementara itu bosnya meanjutkan, “Hari ini saya berikan satu benih kepada kalian. Benih ini sangat istimewa. Saya ingin kelian menanam benih itu. Selain itu kalian harus merawatnya, menyiramnya, dan memupuknya. Saya ingin kalian membawa benih itu ke sini setahun lagi. Kalian haruslah memperlihatkan kepada saya hasil kerja kalian selama setahun terhadap satu benih itu. Saya akan menilai tanaman itu dan dari situlah saya akan menetapkan satu di antara kalian untuk mengganti saya,” kata lelaki tua itu.
Belasan eksekutif muda, masing-masing menerima satu benih dari bosnya. Jim adalah salah satu dari belasan eksekutif muda itu. Dia sangat gembira dan berbahagia membawa satu benih ke rumahnya. Di rumah dia bercertia kepada istrinya. Benih inilah yang akan mengantarkannya ke “kursi” paling tinggi di perusahaan tempat ia bekerja, akan mengantarkannya ke kursi CEO. Istrinya ikut bergembira dan berbahagia. Sang istri tercinta membantu dan mensuport suami untuk menanam satu benih itu.
Sang istri menyiapkan pot, tanah, kompos, dan keperluan lainnya. Media tanampun selesai sudah. Dengan menyebut nama Allah, satu benih yang diberikan bosnya itu ditanamnya di media tanam itu. Pasca penanaman, Jim setiap hari mengamati benih itu. Selain itu juga ia siram secara teratur. Setelah beberapa waktu ternyata benih itu tidak menunjukkan tanda-tanda akn tumbuh. Akan tetapi dengan disiplin dan tekun benih itu tetap dia rawat, dia siram, dan dia pupuk.
Jim tetap menunggu. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, dan akhirnya setelah enam bulan, Jim merasa bersalah. Dia merasa telah membunuh benih itu. Tidak ada sedikitpun tanda bahwa benih itu akan tumbuh dan berkembang. Sementara rekan-rekannya eksekutif muda yang lain bercerita bahwa benihnya sudah tumbuh. Bahkan ada yang mengatakan benih itu tumbuh dengan subur, daunnya lebat, tanda-tanda akan berbunga sudah ada. Temannya yang lain mengatakan bahwa benih yang ada di potnya telah berbunga, mungkin sebentar lagi akan berbuah.
Setahun berlalu. Eksekutif muda itu berkumpul. Masing-masing membawa pot yang berisi tanaman. Umumnya, pot itu berisi tanaman yang subur. Daunnya rindang, bahkan ada yang berbunga dan berputik. Bos perusahaan itu akan segera memeriksa benih yang dibagikan kepada para eksekutif mudanya setahun yang lalu itu.
Jim merasa bersalah. Dia putus asa. Rasa rendah dirinya muncul. Dia mengatakan kepada istrinya. Pot kosong itu tidak akan dibawanya ke kantor. Dia akan hadir di pertemuan itu hanyak untuk minta maaf. Minta maaf kepada bosnya bahwa ia tidak berhasil menanam benih itu. Akan tetapi, istrinya dengan sabar memberi semangat. Bawalah pot itu. Ceritakan kepada bos bila ia bertanya tentang proses penanaman sampai dengan perawatan selama setahun. Begitu istrinya memberi semangat dan motivasi.
Jim memaksakan diri untuk hadir dalam pertemuan itu. Dia memasuki ruangan pertemuan sambil membawa pot kosong. Dia melihat teman-temannya membawa pot yang berisi benih tanaman yang tumbuh subur. Dia kagum kepada teman-temannya yang telah berhasil. Jim meletakkan potnya di lantai pada deretan paling belakang. Teman-temannya ada yang ketawa melihatnya, namun juga ada yang merasa kasihan padanya.
Bos peerusahaan itu memasuki ruangan. Para eksekutif muda menyambutnya dengan antusias dan bersemangat. Sementara Jim berusaha untuk bersembunyi di belakang. Tiba-tiba bos melihat Jim berdiri di belakang menghadapi pot yang kosong. Sang Bos memerintahkan kepada asistennya untuk membawa Jim bersama potnya ke depan. Jim ketakutan. Bosnya tahu bahwa dia telah gagal. “Mungkin aku akan dipecat, habislah aku,” pikir Jim.
Bos meminta Jim untuk menceritakan perihal benih yang ditanamnya hingga ia membawa pot kosong ke ruangan itu. Jim dengan rasa sedikit gemetar menceritakan semua yang dia lakukan. Termasuk niatnya untuk tidak membawa pot ke pertemuan akhir ini. “Atas dorongan istri saya, saya memberanikan diri membawa pot kosong ini,” kata Jim mengakhiri ceritanya.
Bos perusahaan besar itu meminta semua orang duduk. Kecuali Jim. Jim tetap beridiri di depan. Kegugupannya semakin bertambah. Dia merasa mendapat tekanan yang amat sangat atas kegagalannya. Sementara belasan pasang mata eksekutif muda tertuju kepadanya. Termasuk bos dan staf lain yang hadir memperhatikannya.
“Inilah CEO kalian yang baru, Jim akan menggantikan posisi saya. Mulai besok dia akan berkantor di ruangan yang sekarang saya tempati,” kata bos perusahaan itu dengan penuh wibawa dan kepastian.
Semua orang terperanjat mendengar pengumuman itu. Hampir semua orang tidak percaya atas keputusan itu. Apalagi Jim, dia benar-benar tidak percaya. Bagaimana mungkin menjadi chif executive officer (CEO) perusahaan besar, membuat bibit tumbuh saja tidak bisa. Dia bingung, ruangan sunyi, dan semua orang diam.
Bos perusahaan itu berujar memecahkan kesunyian, “Setahun yang lalu aku memberikan semua orang yang ada di ruangan ini satu benih. Aku meminta agar benih itu diambil, ditanam, disiram, dan membawanya kembali hari ini untuk dilihat. Bibit yang saya berikan itu sudah direbus. Tidak mungkin bibit itu tumbuh. Bibit itu sudah mati sebelum kalian tanam. Kalian semua membawa kepada saya pohon yang tumbuh, bahkan ada yang berbunga dan berputik, kecuali Jim. Kalian pastilah mengganti bibit itu dengan yang lain. Jimlah satu-satunya yang penuh keberanian dan kejujuran membawakan pot dengan benih yang saya berikan. Oleh karena itu, dia adalah orang yang akan menjadi CEO menggantian saya!” (disarikan dari “Bukan untuk Dibaca, The Most Inspiring Story“ karya Deassy M. Destiani)
Padang, 24 Maret 2024