BERAGAMA

Oleh Zulkarnaini Diran

Pagi  Selasa, 26 Maret 2024 saya dan istri tetap berjalan pagi. Setelah menempuh jarak lebih kurang lima kilometer, kami berpapasan dengan tiga orang remaja. Ketiga remaja itu memakai pakaian gamis dan songkok kepala. Mereka adalah para siswa (santri) dari Sekolah Tafiz Al-Quran. Kami berjalan memang tidak jauh dari tempat mengajinya itu.

Sangat sopan, ketiga remaja itu menyapa saya dengan penaggilan bapak. Dia mengangguk dan diriringi senyum. Sangat sopan dan beradab menurut ukuran standar sopan-santun menyapa orang tua. Spontan saya juga mengangguk, tapi tidak sekedar itu. Saya berhenti dan mereka pun berhenti. Pertanyaan saya kepada mereka bertiga adalah mengapa mereka memanggil bapak. Atas pertanyaan itu mereka meralat panggilannya menjadi kakek dan nenek. Saya masih mendesaknya, ”Kenapa kata atau kalimat pertama kalian itu?” Mereka bertiga terlihat kebingungan atas pertanyaan itu.

Pertanyan saya berikutnya kepada mereka adalah, ”Kalau orang muslim bertemu sesama muslim, apa kalimat pertama yang diucapkan?” , kata saya dengan nada mendidik.  ”Apakah kalian pernah dengan hak dan kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya?”, tanya saya lagi dengan senyum yang juga diiringi oleh istri saya.

Mereka bertiga terperanjat mendengar pertanyaan itu. “Kalimat pertamanya mengucapkan salam, Kek!” kata mereka dengan spontan. ”Pernahkah hal itu diinformasikan oleh orang tua atau oleh guru-guru di sekolah atau di pondok tafiz?, tanya saya lagi. “Pernah, bahkan sangat sering Kek”, jawab mereka serempak. “Apa hukum mengucapkan dan menjawab salam?”, tanya saya lagi. Serempak juga mereka menjawab, “Mengucapkan salam hukumnya sunnah dan menjawab salam wajib, Kek”.

Akhir perjumpaan kami dengan ketiga ”santri tafiz” itu, saya menanyakan hafalan Al-Quranya. Dua di antara remaja sopan itu telah menyelesaikan hafalan Al-Quran sebanyak tigabelas jus, yang satu baru lima jus. Mereka yang berdua duduk di kelas sembilan salah satu madrasah sanawiyah, yang satu lagi duduk di kelas tujuh di madrasah yang sama. Kami pun berpisah setelah mereka bertiga menyalami saya dan istri.

***

Saya dan istri melanjutkan berjalan kaki untuk mencapai enam kilometer target pagi ini. Dalam perjalanan kami berdiskusi tentang dua hal. Kedua hal itu adalah ”belajar beragama dan belajar agama”. Saya katakan kepada istri, bahwa dari berbagai sumber yang saya baca bahwa belajar beragama dengan belajar agama konsepnya berbeda. Sama halnya dengan belajar bersepeda dengan belajar sepeda, konsepnya sangat berbeda. Istri saya mengatakan, bahwa keduanya sama. Tidak ada perbedaan konsep.

Kami pun terus berdiskusi. Oleh karena kami berdua pensiunan ”pendidik”, hampir setiap perbincangan kami selalu ”begunjing” tentang pendidikan. Mungkin karena kami juga ”rindu masa lalu”. Rindu kepada peserta didik yang pernah kami hadapi di sekolah. Memang kata orang bijak, ”Orang tua rindu masa lalu, orang muda rindu masa depan, tetapi mereka sama-sama ada pada masa sekarang”. Itu mungkin yang terjadi pada kami berdua.

Belajar beragama, produknya ”perilaku yang bersandarkan kepada agama”. Setiap tingkah laku dalam keseharian menggambarkan pengamalan agama yang dianut. Apapun yang diperbuat dalam keseharian, “patronnya” adalah agama. Di situ ada nilai kesadaran yang mendalam tentang perbuatan, tentang tingkah laku, tentang kurenah yang selalu mengikuti norma-norma agama yang dianut. Itu kalua belajar beragama.

Belajar agama, produknya “ilmu dan pengetahuan tentang agama”. Pebelajar memperoleh ilmu, menguasai ilmu dan pengetahuan agama. Hal-hal yang rumit tentang agama yang dipelajarinya dapat dia jelaskan. Agama hanyalah menjadi objek kajian, objek yang dipelajari. Mereka yang berilmu dan berpengatahuan tentang agama, belum tentu “mampu mengamalkan agama” yang dipelajarinya.

Saya ingat tentang kompetensi yang konsepnya pernah dirumuskan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Menurutnya, “Kompetensi adalah perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, sikap atau nilai-nilai dasar yang diwujudkan dalam kabiasaan berpikir dan bertindak”. Orang yang kompeten atau berkompetensi adalah mereka yang memiliki kebiasaan berpikir dan bertindak berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau nilai-nilai dasar. Tentu hal yang sama akan berlaku untuk “beragama” itu pula.

Orang yang belajar ilmu dan  pengetahuan agama, tidak menjamin bahwa dia berkompeten dalam bidang agama. Akan tetapi mereka yang belajar beragama dapat dijamin bahwa dia memiliki kompetensi dalam beragama. Kebiasaan berpikir dan bertindaknya selalu berpatokan kepada pengethuan dan keterampilan beragama serta didukung oleh sikap atau nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.

Ketiga santri Tafiz Al-Quran yang bertemu dengan kami pada saat jalan pagi itu, sepertinya lebih banyak belajar agama dariapa belajar beragama. Setiap pertanyaan tentang ”salam” yang saya ajukan, mereka menjawab spontan, bahkan tanpa berpikir. Akan tetapi ketika bertemu pertama, mereka tidak ”mengucapkan salam”. Oleh karena itu, mari kita koreksi kegiatan dan proses pembelajaran di pusat-pusat pendidikan keagamaan. ”Apakah peserta didik hanya belajar agama atau sekaligus belajar beragama?” Semoga tulisan sederhana ini bemanfaat.

Padang, 26 Maret 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *