KOMITMEN TENTANG PENDIDIKAN

Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)

Tiap hari terbaca di surat kabar. Walikota atau bupati melantik pejabat baru. Pelantikan itu selalu didasarkan kepada penyegaran dan peningkatan kinerja perangkat daerah. Pembaca terkaget-kaget membaca nama pejabat yang dilantik. Kekagetan itu semakin bertambah karena menurut logika normal personal yang dilantik tidak sesuai dengan bidang keahliannya, latarbelakang pendidikannya, dan pengalaman. Kritik pun dilontarkan oleh anggota DPRD, politisi, dan unsur masyarakat lainnya. Respon yang berwajib atas kritik itu adalah, “Penentuan dan penetapan pejabat adalah wewenang kepala daerah.”

Hal yang sama terjadi di dunia pendidikan. Pejabat Dinas Pendidikan adakalanya diangkat dari orang yang bukan berlatar belakang pendidikan. Jika itu untuk jabatan tertinggi atau seperti kepala dinas, mungkin tidak bermasalah. Akan tetapi kalau pejabat teknis, operasional, dan fungsional pendidikan diangkat dari yang bukan berlatar belakang pendidikan, muncullah masalah. Seorang kepala bidang teknis dan kepala seksi teknis dijabat oleh orang yang bukan yang tidak kompeten dapat menimbulkan masalah sampai ke tataran operasional.

Kenyataan itu sangat dirasakan setelah otonomi daerah. Tiga tahun terakhir semakin dirasakan oleh masyarakat. Apalagi kalau durasi pengangkatan pejabat baru sangat pendek. Kadang-kadang baru enam bulan seseorang menduduki jabatan tertentu, sudah diganti dengan pejabat lain. Jangankan menyusun rencana kerja operasional, mengenal staf saja mereka belum sempat, tetapi sudah diganti dengan pejabat baru. Ironis memang, tetapi itulah kenyataannya.

Pengangkatan pejabat pendidikan dengan komitmen Pemerintah Daerah tentang pendidikan memiliki hubungan timbal balik. Hubungan itu kira-kira seperti ini. Pemda yang mengangkat pejabat pendidikan tidak sesuai dengan keahliannya, komitmen yang diucapkannya untuk memajukan pendidikan adalah pembohongan publik. Pemda yang menyatakan komitmennya untuk memajukan pendidikan, kemudian mengangkat pejabat pendidikan yang tidak sesuai dengan keahliannya adalah juga pembohongan publik. Daftar panjang pembohongan itu mungkin perlu dibuat dan dipublikasikan juga.

Kesewenang-wenangan kepala daerah mengangkat dan memberhentikan pejabat pendidikan dipengaruhi banyak faktor. Faktor pertama adalah regulasi pusat. Undang-undang tentang pemerintah daerah memberikan kewenangan hampir takterbatas kepada kepala daerah untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat di daerah. Kedua adalah faktor politik. Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, bukanlah atas karya orang seorang. Banyak orang yang berkontribusi di dalamnya. Kontribusi paling besar diberikan oleh tim sukses atau tim pemenangan pemilihan kepala daerah. Tim itu sendiri terdiri dari berbagai jenis dan tipe manusia. Mereka mau membantu memenangkan kepala daerah karena ada maunya juga. “Maunya” tim sukses juga mempengaruhi pengangkatan pejabat. Jika diidentifikasi satu-perstu tentu cukup banyak faktor yang berpengaruh itu.

Dampak kesewenangan kepala daerah mengangkat dan memberhentikan pejabat di daerah sangat terasa pada tataran praktis. Hal itu sangat dirasakan pada tingkat teknis dan operasional. Hal-hal teknis yang seharusnya diselesaikan oleh dinas pendidikan, ternyata tidak tuntas. Masalahnya adalah tenaga yang menangani hal-hal teknis itu tidak ada di institusi tersebut. Hal ini terjadi karena pejabat yang diangkat oleh kepala daerah bukanlah pejabat yang kompeten di bidangnya. Kenyataan itu semakin kentara jika dikaitkan dengan hal teknis edukatif dan teknis administratif pada satuan pendidikan (sekolah).

Kondisi seperti itu dirasakan oleh sekolah. Guru-guru, kepala sekolah, dan pegawai tatausaha sudah lama merasakan itu. Ketika hal itu diapungkan ke tingkat dinas pendidikan, bukan solusi yang didapat. Kadang-kadang justru keputusasaan yang diperoleh. Fasalnya sederhana saja, mereka yang seharusnya mengerti persoalan sekolah, ternyata pejabat yang duduk di situ adalah orang buta tentang teknis edukatif dan teknis administratif. Kajian-kajian tentang hal itu telah banyak dilakukan. Media massa sudah pula mempublikasikannya. Solusi, masih belum terlihat nyata sampai saat ini. Bahkan semakin parah dari tahun ke tahun.

Komitmen merupakan abstraksi dari tindakan yang akan dilakukan. Komitmen adalah pernyataan yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam dan diupayakan mewujudkannya melalui tindakan. Komitmen hanya akan nyata atau konkret apabila diiringi dengan tindakan. Adanya tindakan yang sesuai dengan pernyataan, barulah komitmen bermanfaat bagi orang banyak, barulah ia menjadi penebus atas pernyataan itu. Jika tindakan berbeda dengan yang dinyatakan, itu “kemunafikan”.

Pemerintah daerah harus mencarikan solusi tentang tidak selarasnya pernyataan (komitmen) dengan tindakan seperti yang diungkpakan di atas. Salah satu solusi yang mungkin dilakukan adalah membuat regulasi tentang pengelolaan pendidikan. Regulasi itu seyogyanya berbentuk Peraturan Daerah. Sebab peraturan daerah memiliki kekuatan hukum yang mangkus untuk mengatur aparat pemerintah di daerah. Pemerintah daerah yang kini sedang berjalan seharusnya menyusun regulasi itu. Dengan regulasi tersebut kepala daerah memiliki pedoman yang jelas dalam mewujudkan komitmennya terhadap pendidikan.

Peraturan daerah atau regulasi pengelolaan pendidikan sudah saatnya dibuat. Perda tersebut hendaklah mengatur hal-hal yang berhubungan dengan teknik edukatif dan administratif. Pada teknik administratif yang perlu dituangkan di dalam regulasi itu antara lain adalah administrasi ketenagaan, adaminiatrasi keuangan, administrasi tata organisasi. Pengaturan administrasi ketenagaan akan memandu kepala daerah atau birokrat lainnya dalam merekrut, menempatkan, dan memposisikan pejabat struktural dan fungsional pendidikan dengan pas. Kesewenang-wenangan pengangkatan perjabat-perjabat tersebut akan dapat dihindari dengan regulasi ini.

Jika ada peraturan daerah yang mengatur tentang pendidikan, masyarakat akan dapat berkontribusi untuk mengontrol pelaksanaan pendidikan di daerahnya. Kontrol masyarakat dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap peraturan daerah tersebut. Jika kepala daerah melakukan pelanggaran, misalnya dalam penganagkatan perjabat pendidikan, masyarakat dapat menggunakan hak-haknya seperti mengadukan kepala daerah kepada penegak hukum karena melanggar Perda. Kontribus semacam itu tidak mungkin diberikan masyarakat pada saat ini, pada saat regulasi tentang pendidikan belum dibuat. Sumbangan pikiran dalam bentuk mengontrol jalannya kebijakan bidang pendidikan tidak mungkin dilakukan pada saat Kepala Daerah masih menjadi “raja-raja kecil atau raja diraja” di daerahnya.

Akhirnya kita hanya bisa berharap kepada kepala daerah, DPRD, dan unsur-unsur kompeten lainnya agar memenuhi pernyataannya melalui tindakan nyata, menebusi “komitmennya” dengan bukti usaha, upaya, dan amal yang konkret. Kita rakyat hanya menunggu dan menunggu. (Zulkarnaini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *