MEMBAWA FENOMENA KONTROVERSI KE DALAM KELAS

Oleh Zulkarnaini Diran

Sangatlah sulit menanamkan nilai-nilai moral di kelas. Soalnya, nilai-nilai kontroversi tiap hari menjadi tontonan peserta didik. Tontonan itu muncul di masyarakat sekitarnya, di media massa elektronik dan cetak, serta di lingkungan terdekatnya seperti keluarga dan sekolah. Hal itu menjadi kendala bagi guru untuk menumbuhkembangkan nilai moral, nilai karakter dalam berbagai dimensi di kelasnya. “Guru mengeluh dan nyaris putus asa”.
Bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru/sekolah sudah diketahui semua orang. Yang bertanggung jawab terhadap pendidikan itu juga keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Keluarga telah memfasilitasi anak-anak dengan memenuhi semua kebutuhan. Pemerintah mengangkat pendidik/guru, menyediakan sarana/prasarana, dan menyediakan dana operasional sekolah. Masyarakat? Inilah masalahnya.

Secara fisik, pendidikan kita hampir lengkap. Sarana dan prasarana dilengkapi dari tahun ke tahun, kurikulum disempurnakan, guru-guru diangkat dan ditingkatkan kompetensinya. Fasilitas pendidikan yang secara eksplisit menjadi tanggung jawab pemerintah dan keluarga dilengkapi dan disempurnakan secara bertahap. Fasalnya sekarang adalah “mengisi” pendidikan itu dengan substansi yang seimbang antara ranah kognitif, afekstif, dan psikomotor. Penyeimbangan ranah ini menjadi substansial saat ini karena begitu “pesan” Kurikulum 2013.

Untuk ranah koginitif okelah, tidak banyak persoalan. Dewasa ini sumber belajar menjamur. Dunia maya menyediakan sumber ilmu yang tidak pernah kering. Tinggal “klik” saja, aspek kognitif dapat dipenuhi. Kognitif konsep, prinsip, perosedur, dan fakta seperti disyaratkan Kurikulum 2013 mudah di dapat dari berbagai sumber. Mencarinya pun tidak sulit, bisa didapat dengan mudah dan dengan biaya murah.

Hal yang sama dapat dilakaukan untuk ranah psikomotor atau keterampilan. Dunia maya menyediakan model-model pelatihan untuk berbagai keterampilan. Sumber informasi untuk berlatih keterampilan bermunculan di sekitar kita. Hal penting yang perlu dilakukan adalah pahami konsep, prinsip, prosedur, dan berlatihlah. Modal utamanya ialah mau memanfaatkan sumber dan mau berlatih mengikuti prosedur berdasarkan konsep dan prinsip yang dipahami. Jika itu dilakukan, ranah psikomotor atau keterampilan akan terpenuhi.

Kompeten di dua ranah itu (kognitif dan psikomotor), belum dapat dikatakan seseorang berkompeten atau memiliki kompetensi. Harus ada ranah yang keriga yakni ranah afektif (sikap). Depdiknas (2006) menyatakan, “Kompetensi adalah perpaduan antara pengetahuan (koginitif), keterampilan (pskomotor), dan sikap atau nilai-nilai dasar (afektif) yang diwujudkan dalam kabiasaan berpikir dan bertindak”. Jika mengacu kepada konsep ini, tentulah pendidikan di sekolah mengarahkan peserta didik untuk memadukan antara ketiga ranah itu yang kemudian terlihat dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Menanamkan sikap dan nilai-nilai dasar kepada peserta didik memang sulit bagi guru. Hal itu dipengaruhi oleh banyak variabel. Selain cara menanamkannya berbeda dengan dua ranah yang lain, juga memerlukan suasana (konteks) yang kondusif. Artinya, menanamkan nilai dasar atau sikap tidak seperti menanamkan pengetahuan dan keterampilan. Untuk pengetahuan penanamannya bisa dengan proses pembelajaran atau diajarkan, keterampilan bisa melalui pelatihan atau dilatihkan, tetapi sikap atau nilai-nilai dasar haruslah dengan “contoh-teladan”. Inilah masalahnya.

“Bahasa perbuatan lebih bermakna daripada bahasa perkataan”, itu ungkapan orang bijak. Untuk menanamkan ranah sikap atau nilai-nilai dasar diperlukan contoh perbuatan terus-menerus, contoh setiap hari, contoh setiap saat. Peserta didik akan mencontoh dari linkungan terdekatnya, kemudian semakin besar peserta didiknya mencontoh ke lingkungan yang lebih luas. Contoh-contoh itulah pada hakekatnya yang membias ke dalam sikap dan perilakunya. Kini, mencari dan menemukan contoh seperti itulah yang sulit.

Misalkan menanamkan nilai-nilai dasar berkomunikasi antarsesama. Saling menghormati dan saling menghargai pendapat adalah kuncinya. Kunci itu dikembangkan dalam bentuk etika. Jika seseorang berbicara, yang lain mendengar dengan sabar dan bersungguh-sungguh. Akan tetapi, contoh yang kontoroversi dengan itu terlihat di mana-mana. Di “gedung dewan yang terhormat” misalnya tertayang nyata dan menjadi tontonan contoh kontroversinya. Nah, bagaimana upaya guru? Menyerah, putus asa, atau masabaodoh. Atau sampaikan saja pengetahuan dan latihkan keterampilan, kerja selesai. Jika begitu Kurikulum 2013 tidak jalan karena kurikulum yang sedang trand ini memerlukan keseimbangan ketiga ranah itu.

Guru yang piawai tidak akan menyerah, tidak putus asa, dan tidak masabodoh. Guru yang piawai adalah guru arif, pintar, dan kreatif. Jika ditemukan fenomena “kontroversi” dengan nilai-nilai yang harus ditransformasi kepada peserta didik, dia akan menjadikan fenomena sebagai basis. Fenomena kontroversi itu dibawanya ke dalam kelas. Dari situlah ia berangkat untuk untuk membelajaran peserta didik. Dari situ pula dia memberikan contoh “nilai-nilai dasar atau sikap” yang akan diamalkan dan yang akan dihindari. Mengangkat fenomena kontroversi di luar kelas ke dalam proses pembelajaran adalah salah satu solusi menanamkan nilai-nilai dasar kepada peserta didik pada kurun ini. Semoga. (Zulkarnaini Diran, praktisi dan pemerhati pendidikan).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *