Oleh Zulkarnaini Diran
“Apakah Mamak (panggilan akrab saya) benar-benar sudah siap untuk pensiun?” tanya seorang sahabat. Hal itu dilontarkan teman sekantor, satu bulan menjelang saya purnatugas (2012). Saya tatap wajah penanya ini dalam-dalam. Tidak langsung saya jawab. Kemudian saya tersenyum kepadanya. Sebenarnya dia juga tidak mengharapkan jawaban spontan, bahkan mungkin pertanyaan yang dilontarkannya itu tidak memerlukan jawaban. Saya menafsirkan pertanyaan seperti itu bukanlah pertanyaan serius dan bersungguh-sungguh.
Meskipun begitu, saya tertarik dengan tiga kata dalam pertanyaan itu. Ketiga kata itu adalah “benar-benar sudah siap”. Ini artinya, sebelum memasuki masa pensiun saya harus mempersiapkan diri. Persiapan itu mungkin secara material dan nonmaterial, secara fisik dan nonfisik, secara lahir dan batin, secara jasmani dan rohani. Pokoknya mempersiapkan diri dengan segala dimensi kehidupan “menempuh masa pensiun”. Ketiga kata itu juga menjadi bahan refleksi bagi saya selama menjalani tugas sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau sekarang aparatur sipil negara (ASN).
Datangnya masa pensiun bagi PNS – ASN identik dengan datangnya kematian. Masa itu akan datang dengan sendirinya. Ia akan datang tanpa diundang. Ditunggu atau tidak ditunggu, ia akan datang dengan sendirinya. Seorang ASN – PNS pastilah menghadapi masa ini, masa ini pastilah hadir dalam hidupnya kalau umur panjang. Masa itu pasti datang seperti sakratul maut yang akan berkunjung ke setiap insan pada saatnya. Apakah kita benar-benar sudah siap menghadapinya?
Kehidupan pada masa aktif sebagai ASN dengan masa pensiun pastilah jauh berbeda. Dalam hal aktifitas fisik misalnya, masa aktif ASN hampir semua waktu terpakai untuk beraktifitas. Bahkan kadang-kadang terasa kekurangan waktu. Pada masa pensiun, mungkin waktu yang ada itu susah menghabiskannya, menunggu sore datang sangatlah lama. Terutama para pensiunan yang “kurang atau tidak pandai” membuat kesibukan. Begitu pula halnya dengan “eksistensi” di tengah-tengah komunitas. Selama ini kita eksis di bidang kita di kantor, di tempat kerja. Esksistensi yang sama tidak akan diperoleh di tengah-tengah masyarakat tempat kita bermukim.
Hal yang sama juga akan berlaku untuk penghasilan. Selama aktif di ASN penghasilan penuh, ditambah dengan aneka tunjangan, uang jalan, honor, dan sebagainya. Begitu masuk masa pensiun, penghasilan tetap dipotong 25 persen. Segala tunjangan dan penghasilan lain hilang sama sekali. Artinya, penghasilan masa pensiun akan turun drastis dari penghasilan masa aktif ASN. Hal ini biasanya yang menjadi “dilema” besar bagi para pensiunan yaitu “penghasilan atau penerimaan keuangan berkurang secara drastis”. Mungkin juga, pertanyaan yang diajukan kepada saya oleh sahabat itu berkaitan dengan masalah ekonomi atau keuangan ini. Mungkin?!
Masa pensiun datang. Penghasilan berkurang. Anak-anak masih memerlukan biaya. Bahkan cicilan lain-lain ke bank dan koperasi masih harus dilunasi. Sementara persiapan untuk pensiun dalam dimensi ekonomi tidak ada sama sekali. Di sinilah dilema muncul. Beban fisik dan psikoligis pun kian terasa. Biasanya para pensiunan mengalami depresi bahkan stres memauski masa pensiun. Barangkali, pertanyaan yang mengawali tulisan ini terlontar, mungkin ada kaitan dengan dilema universal ini. Dilema para pensiunan pada umumnya ini. Mungkin?
Masa pensiun sudah saya lalui. Insya-Allah, Januari 2024 yang akan datang saya telah dua belas tahun menjalaninya. Perjalanan selama itu saya lalu ”biasa-biasa saja”. Hampir tidak ada beban, hampir tidak ada keluhan, dan hampir tidak ada masalah yang berkaitan dengan ”kepensiunan”. Hal itu mungkin tergantung kepada ”cara atau kiat” menghadapi masa pensiun itu. Jika dikaitkan dengan pertanyaan awal, saya bisa menjawabnya sekarang. ”Saya benar-benar siap untuk menghadapi atau menjalani masa pensiun.”
Suatu pagi menjelang siang saya berhenti di sebuah warung ”bubur ayam” di Kota Manna, Bengkulu Selatan. Sambil berkelakar saya bertanya kepada pemilik warung, ”Orang bersepeda boleh makan bubur ayam?”. Semua pengunjung di warung itu melihat kepada saya. Mungkin pertanyaan yang saya lontarkan agak aneh bagi mereka. Saya mengajukan pertanyaan itu sebenarnya sekedar “berkelakar”. Selain itu, di depan warung yang banyak parkir adalah mobil dan sepeda motor. Sepeda, satu-satunya adalah milik saya.
“Boleh, boleh, Pak”, kata pemilih warung. Kemudian saya duduk bangku yang tersedia. Persis di bangku di hadapan saya ada pengunjung lain yang mungkin usianya sekitar 58 tahun. Dengan kalimat permisi, saya duduk di situ sambil menunggu pesanan. Bapak yang semeja dengan saya ini rupanya orang Minangkabau juga. Dia bercerita bahwa kakek buyutnya dari Agam. Daerhnya Ampek Angkek. Ketika saya tanya Ampek Angkeknya di mana, beliau tidak bisa menjawab karena baru pulang kampung satu kali. Itu pun ketika masih remaja.
Dalam tempo yang singkat kami sudah akrab. Begitu akrabnya, beliau menanyakan “resep kebugaran” dalam usia lebih dari tutjuh puluh tahun. Tentu rumit menjawabnya. Saya tidak memiliki resep itu. Saya hanya menajalani hidup sehari-hari seperti orang normal lainnya. Untuk memuaskan kenalan baru yang cucu orang Ampek Angkek, Agam, Sumbar ini saya menjawabnya seperti berikut.
Tiga ”komitmen” saya setelah memasuki masa pensiun. Komitmen meneurut konteks pemahaman saya adalah ”peranyataan yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam dan diupayakan untuk mewujudkannya”. Hal itu yang saya sampaikan kepada teman sehobi makan bubur ayam ini. Ketiga pernyataan itu adalah ”pelihara kesehatan, pelihara ibadah, dan bermanfaat bagi orang lain”. Hanya itu yang saya upayakan tiap hari, tiap pekan, tiap bulan, dan kini hampir duabelas tahun.
Dalam rangka ”memelihara kesehatan” itu di antaranya hampir tiap hari saya bersepeda. Anak-anak saya tahu itu. Jika saya berkunjung ke kota tempat mereka bermukim, sepeda sudah tersedia. Makanya hari ini pun saya tetap bersepeda. Tentu hal lain dalam memeliharan kesehatan ialah sarapan pagi dengan ”bubur ayam”. Kalimat yang terakhir itu agak saya keraskan, supaya pemilik warung tahu, bahwa dagangannya adalah makanan untuk memelihara kesehatan.
Begitulah, di mana-mana dan ke mana pergi, saya selalu berupaya ”mewujudkan” ketiga pernyataan itu. Ketiga pernyataan itu pulalah yang saya perjuangkan terus-menerus selama menjalani masa penisun atau purnatugas. Jika kembali kepada pertanyaan teman yang dilontarkan duabelas tahun lalu itu, jawabnyanya adalah, ”berkomitemen”. Itu persiapan memasuki masa pensiun. Selama pensiun mengupayakan perwujudan komtmen itu.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Manna, Bengkulu Selatan, 30 Oktober 2023