Oleh Zulkarnaini Diran
Begitulah Allah melimpahkan karunia-Nya. Anak pertama dilahirkan istri saya 4 Oktober 1979. Jenis kelaminnya laki-laki. Anak kedua menyusul 11 Februari 1981 juga laki-laki. Anak ketiga pun menyusul pada 3 Agustus 1982 berjenis kelamin perempuan. Saat itu sedang digalakkan program keluarga berencana oleh pemerintah. Motonya “dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja”. Bagi keluarga saya ternyata moto itu tidak berpengaruh. Setelah anak ketiga, lahir lagi anak keempat pada 29 Juni 1985 laki-laki lagi. Anak kelima pun menyusul pada 27 Januari 1987, juga laki-laki. Begitulah keluarga saya dikarunia oleh Allah satu anak perempuan, empat anak laki-laki.
Kini keluarga saya menjadi keluarga besar. Satu nakhoda, satu ko-nakhoda, dan lima penumpang. Begitulah kami sekeluarga mencoba mengayuh bahtera kehidupan dengan modal utama berupa “tujuan dan arah” yang jelas dan tegas. Tujuan “hidup layak dalam ridha Allah dengan arah mengantarkan anak-anak ke kehidupan layak dalam ridha Allah” adalah landasan utama kami sekeluarga dalam mandayung kehidupan.
Rumah tangga sudah ada. Anak-anak sudah ada. Penghasilan tetap sudah ada. Anak lima dengan penghasilan dua PNS golongan dua, ternyata jauh dari memadai. Saat itu gaji guru PNS sangatlah rendah. Sering diungkapkan “gaji sebulan habis untuk makan sepekan”. Kenyataan itu memang ada benarnya. Jangankan untuk hidup “layak”, untuk hidup “minimal” saja tidak memadai. Hal itu tidak hanya keluarga saya yang mengalami, hampir semua PNS merasakan hal seperti itu. Dalam kondisi seperti itu benar-benar diperlukan “pegangan hidup” yang jelas. Untunglah kami (saya dan istri) tetap berpegang teguh kepada “tujuan dan arah” yang telah kami rumuskan sebelumnya.
Pernyataan “tujuan dan arah” keluarga diperluas dan diperdalam. Kemudian kami tarik intinya. Saat itu intinya berjuang untuk hidup layak dalam ridha Allah. Hidup layak dalam ridha Allah kami jabarkan menjadi terpenuhi kebutuhan utama (primer) secara material dan nonmaterial. Secara material, fokusnya adalah memenuhi kebutuhan hidup minimal. Secara nonmaterial, fokusnya memberikan bimbingan kepada anak-anak untuk menyongsong masa depan. Di sinilah dirasakan sungguh, bahwa saya dan istri harus “satu bahasa” dalam mengelola rumah tangga, terutama dalam membimbing anak-anak untuk persiapan masa depannya.
Untuk investasi, fokus kami adalah anak-anak. Anak adalah aset yang tiada tara, aset “mahal” yang takternilai harganya, tidak bisa dihargai dengan uang. Jika ditanya, apa harta benda Anda yang paling mahal? Jawabnyanya ialah “empat putra, satu putri”. Komitemen itu kami pertegas. Anak adalah yang paling utama. Apa saja kenyataan yang dihadapi, prioritas utamanya adalah anak. Kebutuhan dan keperluan anak-anak menjadi perhatian utama kami. Tentu hal itu sebatas kemampuan saat itu. Di sinilah perbedaan keluarga saya “barangkali (?)” dengan keluarga-keluarga lain, yang bisa berinvestasi material dan finansial sejak dini. Keluarga saya tidak berinvestasi finasial, investasinya adalah “anak-anak”.
Membimbing anak-anak di rumah kami lakukan sebatas kemampuan. Ini investasi. Konsep pendidikan “tarbiah, ta’dib, dan ta’lim” kami implementasikan di rumah. Madrasah utama dan pertama anak-anak adalah keluarga, rumah tangga. Hal itu kami jadikan landasan untuk mendidik anak-anak. Tidak mudah memang, lima anak yang hampir sama besar dibimbing oleh dua orang tua yang juga bekerja, bukanlah pekerjaan gampang. Akan tetapi di sinilah saya belajar, belajar tentang rumitnya mengurus segala “tetek-bengek” dalam rumah.
Dalam konteks ini terasa, betapa beratnya tugas seorang istri. Istri harus menyelesaikan tugas sesuai profesinya sebagai guru dan juga harus menuntaskan pekerjaan di rumah tangga. Di sini pulalah saya belajar berempati terhadap seorang ibu rumah tangga. Belajar memahami betapa banyak dan padatnya pekerjaan yang harus dituntaskan oleh seorang ibu rumah tangga dalam keseharian. Ternyata tugas-tugas berat itu dapat diselesaikan dengan melibatkan semua warga rumah. Investasi utama yang saya tanam ialah mengenalkan dan menerapkan tugas-tugas rumah terhadap anak-anak. Anak-anak dilibatkan dengan pekerjaan rumah tangga sesuai kemampuannya masing-masing.
Mengenalkan tugas-tugas rumah tangga kepada anak tidaklah sulit. Pengenalan itu dilakukan langsung dengan tindakan. Rumah harus bersih, misalnya tidak dijelaskan mengapa harus bersih dengan penjelasan-penjelasan yang membosankan. Akan tetapi anak-anak mendapat pembagian tugas. Ada yang bertugas mengepel lantai, menyapu rumah, mempersihkan dapur, merapikan buku-buku, dan sebagainya. Masing-masing mereka mendapat tugas sesuai dengan kemampuannya. Tentu dalam konteks ini diperlukan “kearifan” orang tua dalam menempatkan anak-anak dalam pelaksanaan tugas.
Dengan pernyataan (pengenalan) dan pelaksanaan (penerapan) tugas-tugas kerumahtanggan itu, anak-anak mendapat pengalaman yang amat berharga. Artinya, “pengalaman adalah guru yang paling baik” dirasakan samapai saat ini. Bagi anak-anak saya tidak “tabu” memegang tangkai sapu untuk menyapu rumah sampai setakat ini. Walau pun mereka di kantornya masing-masing telah menempati posisi yang terkategoti layak, jika mereka sampai di rumah, melihat ada yang kurang bersih dan kurang rapi, mereka langsung mengambil tindakan. Itu terlihat sampai saya pensiun saat ini.
Kenalkan, lakukan, dan akhirnya menjadi kebiasaan. Inilah “tarbiyah” dalam rumah tangga. Mereka berlatih mengerjakan kerja “tetek-bengek” dalam rumah tangga. Pada awal-awal terlihat agak sendat dan berat bagi mereka, tetapi setelah berjalan sebagai “kerutinan” tidak ada masalah. Anak-anak sebagai “investasi” kami bekali dalam bentuk nonmateri, sudah biasa menyuci pakaian, menyeterika pakaian, merapikan kamar tidur, merapikan ruang tamu, bahkan hampir semuanya mampu memasak di dapur untuk membantu mamanya. Sampai kini, hal itu masih terjadi, masih berbekas, bahkan menjadi permanen dalam karakteristik anak-anak saya. Ini investasi nonmateri dan nonfinansial yang disiapkan untuk masa pensiun.
Di rumah anak-anak memiliki jadwal harian. Jadwal itu dirancang sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesan “ketat” dan mengekang. Jadwal itu cukup longgar. Pada hakekatnya ada empat kegiatan pokok yang terjadwal. Kegiatan beribadah, membantu pekerjaan rumah tangga, belajar, dan bersantai. Keempat kegiatan pokok itu dijadikan dasar untuk mengendalikan kegiatan anak-anak. Ini, ternyata investasi permanen yang hasilnya dapat dilihat untuk jangka panjang. Intinya ialah “penggunaan waktu secara efektif dan efisien”.
Kegiatan beribadah wajib seperti shalat, saya bimbingkan kepada anak-anak untuk berjamaah. Sejak kecil dan sejak dini memang. Sekurang-kurangnya, kalau saya berada di rumah, di samping mereka, ada dua kali shalat berjamaah rutin yang kami lakukan yakni Magrib dan Isya. Hal ini memang dilakukan sejak dini. Bahkan anak-anak sebelum masuk taman kanak-kanak telah kami lakukan. Mereka yang belum bisa melafalkan bacaan shalat pun ikut berjemaah, yakni mengikuti gerak shalat sesuai yang disyariatkan. Alhamdulillah, setelah saya dan istri pensiun, anak-anak melakukan hal yang sama terhadap anak-anaknya. Ini investasi jangka panjang yang tiada tara. Sekali lagi Alhamdulillah!
Untuk membantu pekerjaan rumah dilakukan pembagian tugas secara rinci. Tugas-tugas itu dipertukarkan setiap minggu. Hal itu dibuatkan daftarnya. Anak-anak mengikuti dengan rasa tanggung jawab. Jika ada yang tidak menyelesaikan tugas tepat waktu karena sesuatu dan lain hal, mereka melaporkan dan memberikan argument atau alasan. Tidak ada hukuman untuk yang tidak menyelesaikan tugas. Tidak ada ganjaran apa-apa, namun kontrol dan pengendalian tetap dilakukan.
Kelihatan membuat pembagian tugas kerumahtanggaan itu, pada saat itu terasa berat. Berat bagi kami dan juga bagi anak-anak, tetapi hasilnya sempai kini dirasakan. Mereka mengerti detil tugas-tugas kerumahtanggaan. Ketika saya pensiun dilakukan pengamatan terhadap kehidupan rumah tangga mereka, ternyata pengalaman masa lalu itulah yang kembali mereka eksperesikan. Ini pun merupakan investasi nonmateri dan nonfinansial yang permanen dan memperlihatkan hasil untuk jangka panjang.
Ada waktu belajar berasama dan waktu sama-sama belajar. Biasanya dilakukan usai makan malam sampai usai shalat Isya. Anak-anak mengerjakan tugas-tugas sekolah yang terjadwal dalam rentangan waktu itu. Ada tugas-tugas sekolah yang insidental, mereka kerjakann di luar jam itu. Pada jadwal yang disepakati, semuanya belajar. Saya dan istri, karena sama-sama guru, dalam rentangan waktu tersebut kami memerikasa pekerjaan siswa, menyusun persiapan mengajar, dan membaca buku-buku yang ada untuk pengayaan pengetahuan. Ketika anak-anak melihat saya dan istri juga membaca dan menulis, mereka terlihat termotivasi. Mereka antusias mengikuti kegiatan belajar bersama dan sama-sama belajar ini.
Begitulah pada fase awal bahwa madrasah pertama adalah rumah tangga. Ketika proses tarbiyah terjadi, kegiatan ta’dib dan ta’lim pun berlangsung. Adab dalam kehidupan ril mereka terima saat itu. Penerimaannya terjadi secara tidak langsung. Kami (saya dan istri) hanya mencontohkan kepada mereka. Misalnya adab duduk, kalau wanita duduk di lantai dan kursi seperti apa, kalau laki-laki seperti apa. Istri saya mencontohkan untuk wanita dan saya untuk laki-laki. Jika ada mereka melakukan kesalahan langsung dibetulkan saat ini. Artinya, adab tidak diajarkan, tetapi dicontohkan dalam bentuk praktik nyata.
Ta’lim juga terjadi bersamaan dengan proses tarbiyah dan ta’dib. Rasanya saat itu, kami telah menerapkan konsep belajar modern. Rasanya seperti itu, meskipun konsep tersebut belum pernah terbaca dan terpahami. Konsep itu menyebutkan, “belajar adalah mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, mengubah pengetahuan menjadi pemahaman, mengubah pemahaman menjadi kearifan, dan mengubah kearifan menjadi tindakan”. Ada lima kata dan konsep yang dipertautan secara hierarkhis dalam “ta’lim – menuntut ilmu”, yaitu pengalaman, pengetahuan, pemahaman, kearifan, dan tindakan.