Oleh Zulkarnaini Diran
Adalah Indra Jaya dan Hanum Safnas. Keduanya sahabat saya. Indra Jaya menjadi guru di SMP 1 Padang, kemudian menjadi Pengawas Sekolah di Kanwil Depdikbud Sumbar. Ketika menjadi guru dan sebelum menjadi PS, Indra Jaya menjadi instruktur Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sumatera Barat dan menjadi anggota Tim Pengembang Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat nasional. Sedangkan Hanum Safnas adalah guru di SMA Negeri 2 Bukittinggi. Selain menjadi guru, Hanum juga guru inti mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sanggar Pemantapan Kerja Guru (PKG) Bukittinggi dan Agam. Keduanya adalah sahabat saya yang penulis.
Konon, Indra Jaya menulis sejak mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguaran Seni dan Sastra (FKSS) IKIP Padang. Dia menulis tentang banyak hal. Misalnya menulis tentang sastra, tentang kebudayaan, dan lain-lain. Tulisannya menghiasi surat kabar nasional yang terbit di daerah seperti Haluan dan Singgalang. Hanum Safnas banyak menulis novel. Novelnya selalu mendapat apresasi terbaik bila ikut lomba menulis fiksi di tingkat nasional. Keduanya menjadi motivator saya untuk mencoba menulis buku.
Ada lomba menulis fiksi dan nonfiksi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lomba ini ditangani oleh Pusat Perbukuan. Indra Jaya dan Hanum Safnas mengajak saya untuk mengikuti lomba itu. Pedoman dan petunjuk teknis lomba diberikannya kepada saya. Saya coba mempelajari petunjuk itu. Saya baca dan saya pahami detil petunjuk itu. Waktu yang tersedia sampai pengiriman lebih kurang tiga bulan. Akhirnya saya putuskan untuk ikut. Saya memilih bidang fiksi.
Tentu sangat berbeda pola kerja anatara menulis artikel untuk surat kabar dengan menulis fiksi untuk lomba. Untuk menulis artikel tidak memerlukan perencanaan yang detil dan pembagian waktu yang ketat. Menulis fiksi untuk lomba perlu rancangan yang lebih rinci dan pembagian waktu yang ketat. Saya susun perencanaan berikut target-target kerjanya.
Pertama saya kembali menyegarkan pemahaman tentang konsep fiksi. Saya buka kembali buku-buku yang berhubungan teori dan kritik sastra. Sejumlah buku saya baca dan saya coba mencerna kembali konsep fiksi. Ada perbedan pendapat pakar tentang konsep ini. Dari sekian banyak perbedaan, ternyata lebih banyak kesamaan. Para pakar sepakat bahwa fiksi adalah cerita rekaan. Cerita yang ditulis berdasarkan imajinasi pengarang. Rekaan lahir karena ada imajinasi. Imajinasi terangsang karena ada kondisi-kondisi nyata atau ril.
Fiksi bukan cerita khayalan semata. Ia adalah hasil rekaan berdasarkan imajinasi. Tolakannya adalah kenyataan yang ada. Penegasan saya temukan di dalam berbagai buku itu saya simpulkan. Fiksi bertolak dari kenyataan (realitas objektif). Seorang pengarang yang tersentuh atau terangsang oleh kenyataan itu, memiliki sikap atau keinginan terhadapnya. Sikap atau keinginan terhadap realitas objektif itu disebut realitas imajinatif. Kombinasi dan formulasi kedua realitas itulah yang menjadi karya fiksi.
Oleh Esten dan Teuw disebut realitas objektif itu sebagai tesis, antitesisnya adalah realitas imajinatif. Sedangkan fiksi itu sendiri adalah sintesis dari tesis dan antitesis. Dari penyegaran pemahaman itulah saya merancang dan mendesain buku fiksi yang akan saya tulis. Dari konsep itulah saya berangkat. Benar kata Iqbal bahwa untuk berbuat sesuatu, “pahami konsep, kaji manfaat, dan pikirkan penerapan”. Dari sinilah saya mulai menulis fiksi.
Realitas objektif tidak sulit saya temukan, apalagi konsumen fiksi adalah siswa SMA. Setiap hari saya berada di tengah-tengah siswa SMA karena saya guru di SMA Negeri Baso, Agam. Realitas objektif ada setiap saat, setiap waktu, dan setiap hari di sekitar saya. Dengan membolak-balik buku harian pun saya dapat menemukan realitas yang akan menjadi tesis dari fiksi tersebut. Atau dengan merefleksi kejadian-kejadian yang berlalu dalam interaksi saya dengan siswa, realitas itu akan ditemukan.
Realitas objektif di sekolah tempat saya mengajar adalah menurunnya rasa hormat siswa kepada guru. Hal itu juga mungkin berlaku di sekolah lain, berlaku secara universal di setiap jenjang dan tingkat pendidikan. Realitas itulah yang menarik bagi saya. Saya coba menganalisis, mengkaji, dan mereka-reka faktor-faktor pendukung dan penyebabnya. Dari realitas itu saya memiliki sikap, menetapkan harapan, dan cita-cita. Keinginan saya itu adalah, guru seyogyanya menjadi kebanggaan dan teladan dari para siswanya. Nah, itulah yang akan saya kembangkan menjadi sintesis dan bentuk fiksi.
Jika dalam realitas objektif, banyak guru tidak disukai siswa, tentu juga masih ada guru yang disenangi oleh peserta didiknya. Ada sedikit guru yang memang menjadi kebanggaan siswanya. Guru menjadi kebanggan sisiwanya bukanlah semata-mata karena moralitas siswanya saja, tetapi lebih banyak ditentukan oleh sikap, kepribadian, dan perilaku guru itu sendiri. “Penghargaan yang kita terima adalah sebesar kewajiban yang telah dibayarkan”, kata Hamka. Nah, guru yang membayarkan kewajibannya itulah yang ingin saya tampilkan dalam fiksi itu.
Perencanaan lain yang saya susun adalah penjadwalan kegiatan menulis. Dalam sehari saya harus menulis berapa jam, saya tetapkan. Waktunya tidak saya jadwalkan, karena saya menulis di sela-sela pelaksanaan tugas. Pokoknya waktu minimal yang saya gunakan untuk menulis fiksi dalam satu hari saya tetapkan dengan tegas. Berdasaarkan itulah saya menulis. Akhirnya saya menulis, menulis, dan menulis sesuai perencanaan. Hampir satu bulan saya menulis di sela-sela tugas rutin, gambaran novel produk tulisan saya sudah terlihat.
Inilah karya fiksi saya yang pertama yang lahir dari berlatih menulis. “Pohon Kehidupan Buat Sang Guru”, itulah judul yang saya berikan. Novel ini mengisahkan seorang guru yang dengan penuh keyakinan membimbing siswanya untuk mengakrabi dan mencintai lingkungan. Akhirnya siswanya memiliki kepedulian, kecintaan, dan apresiasi terhadap lingkungan alam, sosial, dan budaya. Menyadari bahwa kecintaan itu ditanamkan oleh guru, maka pada ulang tahun guru tersebut, siswa menyerahkan foto-foto kegiatan tentang lingkungan kepadanya. Itulah “kalpataru” – pohon kehidupan buat sanga guru.
Seleksi di tingkat provinsi saya ikuti. Tim juri di tingkat Sumatera Barat sempat menginformasikan kepada saya bahwa tulisan saya bagus. Isinya sangat cocok untuk dikonsumsi siswa SMA. Bahasanya mengalir dan sangat menyentuh. Begitu beliau salah seorang juri bercerita. Tentu saja beliau tidak memberitahu, saya termasuk peringkat berapa.
Pengumuman resmi dari panitia saya terima. Saya menerima sepucuk surat undangan untuk menerima hadiah lomba menulis fiksi. Dalam surat itu juga dinyatakan bahwa saya penerima hadiah juara pertama untuk fiksi tingkat SLTA. Saya hampir tidak percaya isi undangan itu. Fasalnya saya baru ikut lomba sekali itu. Tau-tau dapat peringkat pertama untuk tingkat provinsi.
Begitu selesai acara seremonial penyerahan hadiah, Indra Jaya berbisik kepada saya. “Lumayan hadiahnya kan dibandingkan dengan menulis di surat kabar?”, katanya. Saya mengangguk karena memang hadiah yang diterima hampir sepuluh kali lipat dari honor bulanan menulis di surat kabar. “Terimakasih motivasi Pak Datuak dan Bu Hanum”, begitu saya ucapkan kepada Indra Jaya dan Hanum Safnas yang juga mendapat peringkat pertama untuk bidangnya.
Penyerahan hadiah dilakukan panitia menjelang masuk puasa. Ujung dari puasa adalah lebaran. Sebagai keluarga besar (satu istri dengan lima anak), untuk lebaran saya memerlukan biaya tambahan. Alhamdulillah, hadiah yang saya terima melebihi biaya yang saya butuhkan. Sampai di rumah saya serahkan uang itu kepada istri saya. Istri saya kaget, uang apa ini. Hampir tidak pernah saya menyerahkan uang sebanyak itu dalam sebulan kepada istri saya. Kemudian saya jelaskan bahwa itu adalah hadiah peringkat satu lomba menulis fiksi tingkat provinsi. Menulis dan menulis, akhirnya menuai hasilnya berupa finansial. Saya terus menulis dan menulis.
Jika bahan ajar yang saya buat terkategori diktat, bukan buku, maka naskah yang ikut lomba inilah buku saya pertama. Akan tetapi kalau dikategorikan buku, berarti naskah yang dilombakan ini adalah buku saya yang kesekian. Di sinilah awal dari artikel ke buku. Bukan pindah, tetapi dari menulis artikel saya menulis buku. Berarti saya tidak berhenti menulis artikel untuk surat kabar.
Dua bulan kemudian saya dihubungi oleh sebuah penerbit di Padang. Pemimpin penerbit “Gunung Bungsu”, Pak Syafnil menawarkan kepada saya agar buku “Pohon Kehidupan Buat Sang Guru” itu diterbitkan. Beliau bersedia menerbitkan dan memasarkan. Bahkan, beliau akan menajukan penawaran agar buku tersebut dibeli oleh pemerintah pusat, khususnya Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak ada negosiasi apapun, tidak ada hitung-hitungan apapa pun. Pokoknya saya menyatakan bersedia buku saya diterbitkan.
Salah satu yang diusulkan penerbit ini adalah mengubah judul. Judul dari “Pohon Kehidupan Buat Sang Guru” diubah menjadi “Guruku Idolaku”. Syarat itu pun saya setujui tanpa banyak pertimbangan. Dalam pikiran saya hanya satu, buku saya diterbitkan dan disebarkan kepada pembaca. Hanya itu, tidak lebih dari itu. Tidak ada pemikiran royalti atau honor penulisan. Tidak terpikirkan sama sekali masalah finasial yang dihasilakn dari buku itu. Kalau pun ada, kan saya sudah menerima hadianya dari panitia lomba.
Manis dan nikmat buah menulis artikel di surat kabar. Tiap bulan dapat dipetik hasilnya. Sebagai usaha menambah gaji, honor tulisan cukup memadai. Akan tetapi, ketika menerima hadiah dari panitia lomba menulis buku, ternyata hasil menulis buku lebih manis dan nikmat secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitas ada kenikmatan tersendiri melihat buku sebagai karya intelektual diterbitkan. Ada kebanggaan sendiri di dalamnya. Sementara itu secara kuantitas, jumlah rupiah yang diterima jauh lebih banyak dibandingkan dengan artikel. Oleh karena itu, pikiran baru pun mulai mendesak. Jika bisa menulis buku, kenapa tidak dilanjutkan terus.