Oleh Zulkarnaini Diran
Adalah Prof. Dr. M. Zaim, M.Hum, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatra Barat. Beliau memiliki gagasan tentang menulis. Beliau ingin semua widyaiswara (pejabat fungsional) di kantor itu mampu menulis dan menghasilkan buku. Sekurang-kurangnya untuk lingkungan sendiri. Jika mungkin lebih dari itu. Hal itu beliau lontarkan kepada saya di ruang kerjanya.
Saya sebagai widyaiswara di lembaga itu tentu saja menyambut baik gagasan tersebut. Sebagai penulis dan yang sedang belajar menulis, saya sangat gembira, seorang kepala institusi pemerintah menginginkan tenaga fungsionalnya mampu menulis. Bahkan, M. Zaim menyatakan, bahwa mitra kerja LPMP seperti guru, pengawas sekolah, dan kepala sekolah bisa diajak untuk itu. Saya pun sangat senang dengan pernyataan itu.
Sebagai penulis yang “mendekati profesional” diam-diam saya temui kepala bagian umum. Pertanyaan saya tentu menyangkut dengan honor atau royalti yang dapat diterima untuk sebuah buku “terbitan” lembaga ini. Jawaban yang saya peroleh tidaklah menggembirakan. Tidak segembira hati saya menerima gagasan kepala lembaga ini. Kepastian jawaban saya terima dua hari kemudian. Untuk buku dalam bentuk modul ajar dibayar antara lima sampai tujuh setengah juta rupiah. Untuk buku, dibayar paling tinggi lima juta rupiah.
Sebagai penulis buku dan penulis artikel opini di surat kabar, saya sulit menerima pembayaran seperti itu. Akan tetapi tidak saya nyatakan kepada para pengambil keputusan. Saya simpan saja untuk bahan renungan. Tentu saja tidak ada niat institusi tempat saya bekerja ini untuk “melecehkan” profesi menulis. Saya memaklumi bahwa institusi bekerja berdasarkan ketentuan yang ada. Pembayaran disediakan berdasarkan patron anggaran dari Kementerian Pendidikan.
Hasil bincang-bincang dengan kepala dan kepala bagian itu, akhirnya dijadikan kebijakan oleh lembaga yang bernaung di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ini. Kebijakan yang bersumber dari gagasan “brilian”” itu disamapikan Prof. Dr. M. Zaim, M. Hum dalam rapat dinas lembaga. Semua orang menyambutnya dengan antusias dan semangat yang menggebu-gebu. Tentu saja, pihak lembaga membuat perencanaan rinci sesudah itu. Perencanaan itu di antaranya memuat pengajuan judul buku, jenis buku, dan sebagainya. Termasuk batas waktu penyelesaian dan penerbitan naskah buku pun disetting oleh lembaga.
Waktu untuk pengajuan judul dan penulis atau tim penulis berakhir. Ternyata yang mendaftar atau yang diterima lembaga hanya dua judul dengan penulis tunggal dan penulis tim. Tentu hal itu disampaikan kepada kepala LPMP. Hari berikutnya saya diajak lagi bincang-bincang oleh Prof. M. Zaim di ruangannya. Bincangan utama adalah hanya dua orang dari duapuluh lebih widyaiswara yang mendaftar dan mengajukan judul buku yang akan ditulis. Bincang itu maksudnya untuk mencarikan solusi.
Saya menawarkan gagasan agar widyaiswara ini “dipaksa” menulis. Pemaksaan dilakukan dengan mengisolasi mereka selama sepekan atau sepuluh hari di hotel. Bukan di kantor dan bukan di kota Padang. Akhirnya “pemaksaan” itu dilakukan di Nov Hotel Bukittinggi. Widyaiswara, termasuk saya “disekap” di hotel itu untuk menyusun draf buku atau modul yang akan diterbitkan oleh lembaga.
Pemaksaan itu ternyata berhasil. Hampir semua widyaiswara melahirkan draf buku sesuai bidang keilmuannya masing-masing. Disediakan waktu hampir dua bulan kemudian, buku-buku dan modul-modul pun lahir dari tangan para widyaiswa LPMP Sumbar ini. Lembaga bergembira, dan yang lebih berbahagia adalah M. Zaim kepala LPMP yang dari pikiran dan gagasannya muncul buku-buku hasil karya warganya.
Buku itu diterbikan Lembaga secara terbatas. Kemudian, ketika dilaksanakan Rembug Nasional Pendidikan di Surabaya, buku hasil karya warga LPMP Sumbar itu dipamerkan di standnya. Ternyata, gagasan brilian dan pekerjaan kecil itu membuat kejutan di khasanah nasional. “Kok bisa LPMP Sumbar menghasilkan dan menerbitkan buku sebanyak itu?”. Itu salah satu kalimat “pertanyaan retorik” dari pejabat kementrian dalam sambutannya pada acara bincang ilmiah. Saya mengatakan dalam hati “paksa menulis, orang akan menulis”.
Begitulah program ini berlanjut setiap tahun di lembaga unit pelaksana teknis Kementrian Pendidikn dan Kebudayaan ini. Saya menghasilkan lima buku dari program ini. Tiga karya dalam bentuk buku dan modul saya tulis sendiri dan dua karya berkolaborasi dengan pengawas sekolah yang saya kenal. Begitulah saya terus belajar menulis dengan menulis. Kali ini belajar menulis dengan “dipaksa menulis”.