GURU PENULIS, GURU TELADAN SATU NASIONAL

Oleh Zulkarnaini Diran

Tahun 1992 saya diminta untuk mengikuti seleksi guru teladan. Pemintanya adalah pantia pemilihan guru teladan Kecamatan IV Angkat Candung, Agam. Ketua panitia datang ke sekolah saya. Untuk tingkat SLTP tidak ada seleksi di kecamatan. Artinya, panitia kecamatan menunjuk seorng guru yang patut dan pantas untuk mewakili kecamatan ke tingkat kabupaten.

Panitia kecamatan datang ke sekolah saya. Mereka menumui kepala sekolah saya, Pak Syahril. Setelah mereka berbincang, saya dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Niat panitia ini disampaikan kepada saya, bahwa untuk tingkat SLTP saya mewakili kecamatan ke tingkat kabupaten. Saya tidak langsung menjawab “ya” atau “tidak”. Saya hanya mengucapkan terimakasih atas penghargaan panitia kecamatan itu.

Sore setelah jam pelajaran berakhkir, kepala sekolah datang ke ruangan saya. Saat itu saya menjabat wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan kesiswaan. Perbincangan kami sekitar tawaran panitia pemilihan guru teladan Kecamatan Ampek Angkek Candung ini. Kecendrungan kepala sekolah adalah menguatkan dan mendorong saya untuk mewakili pemilihan guru teladan ke tingkat kabupaten. Saya tetap pada prinsip, belum menerima dan juga tidak menolak.

Esok hari saya datang ke kantor kecamatan. Saat itu Namanya Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan (Kandepcam). Dari kepala kantor, yang juga ketua pemilihan guru teladan tingkat kecamatan, saya mendapat buku pedoman. Ya, buku pedoman pemilihan guru teladan tahun 1992. Pedoman itu tercetak dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Membaca dan memahami buku pedoman itu adalah upaya saya pertama. Selesai membaca dan hampir semuanya saya pahami, barulah saya sampaikan jawaban kepada kepala sekolah saya. Saat itu juga ada surat resmi meminta saya mewakili guru-guru SLTP se-Kecamatan Ampek Angkek untuk pemilihan guru teladan tingkat kabupaten.

Saya menerima tawaran itu atas beberapa alasan. Di antaranya ialah karena saya “guru penulis”. Di antara sekian banyak item yang dinilai berdasarkan buku panduan itu, nilai karya tulis termasuk yang besar angkanya. Karya tulis yan dinilai adalah yang dibuat sebelum atau pada saat pemilihan guru teladan. Tulisan atau karya tulis yang sudah diublikasi ternyata nilainya cukup tinggi. Termasuk tulisan-tulisan yang diterbitkan di surat kabar.

Kemampuan guru-guru setingkat SLTP saat itu mungkin rata-rata sama. Saya mulai menimbang-nimbang, bahwa jika kemampuan profesional dalam proses belajar mengajar (PBM) guru hampir sama, tentu saya cari sisi keunggulan pribadi saya. Berdasarkan pertemuan-pertemuan dengan guru di Ampek Angkek dan Agam, saya dapat mengkomparasi. Ada dua sisi kunggulan saya dari rekan-rekan lain. Sisi keunggulan itu adalah kebiasaan dan kemampuan saya membaca dan menulis. Kedua hal ini tidak banyak guru yang memiliki, bahkan untuk tingkat Sumatra Barat.

Jumlah tulisan saya berbentuk artikel popular, termasuk banyak. Ratusan tulisan telah saya publikasi melalui surat kabar nasional yang terbit di Sumbar. Tulisan itu pada umumnya berbicara tentang pendidikan, pembelajaran, bahasa, sastra, seni, Pramuka, dan bidang generasi muda lainnya. Hal ini merupakan salah satu pendorong utama bagi saya untuk berkompetisi dalam pemilihan guru teladan tingkat Kabupaten Agam.

Seleksi tingkat kabupaten dilakukan selama dua hari. Selama dua hari itu kami wakil-wakil dari tiap kecamatan berinteraksi. Saat itu, saya sangat merasakan bahwa rival saya dari kecamatan lain di Agam telah mengunggulkan saya. Keunggulan itu bukan karena saya guru hebat atau guru super, tetapi terasa bahwa saya diunggulkan karena saya menulis dan banyak membaca. Ditambah lagi, dokumen-dokumen tulisan yang saya bawa untuk seleksi sungguh sangat banyak, terutama tulisan yang telah dipublikasi di surat kabar.

Begitulah saya lolos di Agam, kemudia mewakili guru-guru SLTP ke tingkat Provinsi Sumatra Barat. Di tingkat provinsi hal yang sama juga terrjadi. Dokumen tulisan yang saya susun rapi ada empat kategori. Pertama, tulisan dalam bentuk diktat atau bahan ajar yang dipakai dalam lingkungan sendiri. Ada enam diktat yang berjudul  “Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia”. Diktat itu disusun untuk setiap semester. Namanya dipakai untuk lingkungan sendiri, tetapi banyak sekolah lain yang menggunakan.

Dokumen kedua adalah buku tentang “Pendidikan Kepramukaan”. Oleh karena saya menjadi Pembina Pramuka di Gugus Depan saya dan menjadi Pengurus serta Pelatih Pembina di Kwarcab Pramuka Agam, saya menyusun buku untuk itu. Buku tersebut juga bukan dicetak seperti layaknya buku zaman kini, tetapi diterbitkan dan dipublikasi dalam bentuk stensilan. Itu pun ternyata ada nilainya dalam pemilihan guru teladan di provinsi.

Dokumen ketiga adalah “kliping” tulisan saya yang pernah dipublikasikan di surat kabar nasional yang terbit di daerah. Tulisan-tulisan itu saya himpun, saya susun sesuai kategori, saya fotokopikan, dan saya jilid baik-baik. Kemudian juga dilengkapi dengan kata pengantar dan daftar isi. Layaknya, kliping tulisan itu tampil seperti buku “benaran” padahal hanya fotokopi kiliping.

Dokumen keempat tulisan saya adalah makalah. Semua makalah yang pernah saya sajikan dalam temu ilmiah, saya himpun. Saya lengkapi dengan penjelasan kapan dan di mana makalah disajikan. Himpunan makalah itu juga saya jilid rapi, lengkap dengan daftar isi, kata pengantar, dan ulasan singkat. Dokumen ini pun menjadikan bahan yang saya bawa ke tingkat provinsi semakin banyak dan tebal.

Semuanya itu tersusun rapi dalam jilidan besar yang saya tulis di depannya “Kelengkapan Adiminstrasi Pemilihan Guru teladan Tingkat Provinsi Sumatra Barat”. Bahan-bahan yang tersusun dan tertata rapi itu menjadikan saya “diunggulkan” rekan-rekan sebelum seleksi. Artinya, keunggulan saya dalam bidang menulis yang diperedikasi ketika melangkah dari kecamatan, benar-benar menjadikan saya “merasa” unggul dan “diunggulkan” teman-teman di provinsi.

Kemudian saya mewakili Provinsi Sumatra Barat dalam pemilihan guru teladan nasional untuk tingkat SLTP. Kian berat beban yang saya pikul. Kian banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Akan tetapi ada sisi mudah saya, yaitu menyiapkan makalah khsusus sebanyak dua puluh lima halaman untuk pemilihan di tingkat nasional. Tema yang saya pilih adalah “Peningkatan Kompetensi dan Kualifikasi Guru”. Hal itu sedang “hangat-hangat” dibicarakan bahwa guru itu harus berkompetensi, guru itu harus memiliki gelar sarjana.

Tema tersebut saya jabarkan menjadi beberapa sub-tema. Kemudian setiap sub-tema saya carikan rujukan. Alhamdulillah, terasalah beruntungnya kalau saya itu “gila” membaca dan “gila” membeli buku. Saya tidak memerlukan waktu untuk mencari rujukan ke luar rumah. Cukup rujukan yang tersedia di perspustakaan pribadi saya. Setelah masing-masing rujukan itu lengkap, mulailah saya menulis secara bertahap. Masing-masing subtema saya uraiakan dengan jelas dan dilengkapi dengan rujukan untuk memenuhi persyaratan ilmiahnya.

Di tingkat Nasional saya dinyatakan sebagai “Guru Teladan Satu Nasional untuk Tingkat SLTP”. Proses seleksi di tingkat Nasional cukup lama. Hampir lima hari kerja kegiatan seleksi dilakukan. Kemudian diakhiri dengan wawancara. Pada saat wawancara saya kembali merasakan, bahwa pengaruh membaca dan menulis sangat dominan untuk kepercayaan diri saya. Hal-hal yang bersifat teoretis, yuridis, dan empiris menjadi dasar pokok-pokok pertanyaan dalam wawnacara.

Inti peoses wawancara ada tiga. Pertama pertanyaan sekitar profesi guru, kedua pendapat tentang kebijakan pendidikan, ketiga meminta penjelasan tentang wawasan. Alhamdulillah, setiap pertanyan dapat saya jawab, pendapat tentang kebijakan selalu saya beri argument, dan penjelasan tentang wawasan kebangsan dapat saya tuntaskan. Pada hakikatnya, ketiga inti wawancara itu berhasil saya tuntaskan adalah karena membaca dan menulis. Tulisan-tulisan saya pada umumnya berbicara tentang profesi guru dan kebijakan pendidikan. Sedangkan untuk wawasan kebangsaan saya peroleh dari membaca.

Begitulah saya pulang dari Jakarta, kembali ke tempat tugas sebagai guru SMP dengan membawa predikat sebagai “Guru Teladan Satu Nasional”. Saya kembali merenung, bahkan saya refleksi sampai menyusun tulisan ini, bahwa menulis sangatlah berpengaruh terhadap keberadaan saya ketika mengikuti seleksi guru teladan, mulai dari kecamatan sampai tingkat Nasional. Artinya, “guru penulis” dapat berprestasi di tingkat Nasional, meskipun mengajar di desa. Begitulah, makanya saya terus menulis dan menulis sampai kini.

7 comments

  1. Terbukti lh sekarang bahwa tugas guru itu bukanlah sekedar pandai mengajar

    Penilaian guru teladan/guru berprestasi itu hanya sesaat itu saja tetapi melihat rekam jejak sebelum lomba

    Iyokan Pak Zul?

    (Sahabat DiWA Channel YouTube)

    1. Untuak sampai ke situ prosesnya panjang. Ada hal-hal mendasar yang dilakukan sehari-hari yang terkait dengan profesi pendidik. Hal itu kemudian mengkristal dalam sikap atau prilaku. Ketika wawancara, itulah yang dikejar oleh dewan juri, terutama di nasional.

      Menjadi diri sendiri menjadi hal penting saat itu. Berpura-pura, bersandiwara, dan sejenisnya akan beresiko buruk di mata dewan juri. Mengatakan tidak tahu dan tidak bisa, jauh lebih baik dibandingkan dengan sok tahu atau sok bisa. Kejujuran, itulah intinya. Kejujuran kepada diri sendiri dan kepada orang lain, dibentuk dalam waktu lama dan proses yang panjang. Begitulah…

  2. sayangnya guru sekarang banyak yang malas menulis dengan berbagai alasan menutupi ketidak inginannya untuk menulis. Padahal rujukan demikian banyaknya tanpa bersusah payah membelinya tapi tersedia di genggaman mereka sendiri. sebenarnya kurikulum merdeka belajar sebenarnya membuka peluang menulis yang seluas-luasnya untuk membuat modul ajar sendiri yang sesuai dengan karakter peserta didik dan kreativitas guru sendiri. sayangnya peluang ini terlewatkan oleh teman-teman kita. Dalihnya kita pakai aja modul yang dari pusat maka pbm selesai.

  3. sayangnya masih ada pendidik yang malas menulis dengan berbagai alasan menutupi ketidak inginannya untuk menulis. Padahal rujukan demikian banyaknya tanpa bersusah payah membelinya tapi tersedia di genggaman mereka sendiri. sebenarnya kurikulum merdeka belajar sebenarnya membuka peluang menulis yang seluas-luasnya untuk membuat modul ajar sendiri yang sesuai dengan karakter peserta didik dan kreativitas guru sendiri. sayangnya peluang ini terlewatkan oleh teman-teman kita. Dalihnya kita pakai aja modul yang dari pusat maka pbm selesai.
    (ralat sedikit pak, sayangnya guru sekarang banyak diganti pak)terima kasih

    1. Untuk dapat menulis perlu satu kata saja sebagai dasar yaitu “mau”. Semua orang memiliki potensi untuk menulis. Asal saja mereka “maun” menjaring ide, “mau” menyampaikan ide melalui tulisan, tentu mereka akan mampu menulis. Untuk mampu menulis ya, menulis terus, menulis dan menulis. Lakukan itu di mana dan kapan saja. itulah yang saya bungkus dalam suatu buku “Menikmati Proses dan Hasil Menulis, Belajar Meenulis dengan Menulis”. Hehehe “malas” adalah musuh utama manusia dalam hidup dan kehidupan. apa pun tidak akan pernah jadi, jika manusia itu ‘pemalas”. Begitu, ya Ra.

      Terimakasih, Ra telah mau mampir ke blog sederrhana ini. Blog ini tersedia untk saling berbagi, khususnya tentang pendidikan, budaya, dan kemanusiaan. Ajaklah ke sini rekan-rekan yang mau berdiskusi. Salam untuk Abang kalau lah di Solok. kalau masih di Jawakarta, salam untuk anak, mantu, dan cucu. Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh.

  4. Semoga pengalaman Bapak ini memberi motivasi bagi para pendidik dan peserta didik untuk meningkatkan minat baca dan meningkatkan budaya menulis. Hal ini penting sekali, sebab melalui membaca dan menulis wawasan kita akan semakin luas. Tentunya kita juga tidak akan ketinggalan informasi.
    Saya sangat bangga memiliki guru hebat seperti Bapak, walaupun sudah purna bakti tapi masih berkarya untuk dunia pendidikan. Semoga Bapak sehat selalu dan juga tetap menulis.
    Terima kasih atas kiriman buku Bapak:
    * Menggamit Dunia Pendidikan
    * Bermula dari Ide, Berakhir pada Tulisan
    Salam buat Bapak & Ibu Wir.

    1. Makasi, Fit. Jika tulisan-tulisan yang saya publikasi bermanfaat untuk sejawat pendidik dan pembaca lain, Alhamdulillah. Jika memang rekan sejawat pendidik merasa ada manfaat, boleh membagikan kepada grup atau teman lain. Bagi bapak, Fit, menulis dan membaca sudah menjadi kebutuhan. Rasanya ada saja yang kurang, jika dalam sehari belum melakukan kedua kegiatan itu.

      Salam, Fitm semoga kita semua sehat dah hidup dalam Ridha Allah SWT, amin YRA!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *