KLOTER KETUJUH BELAS

Bagian Ketiga: BERHAJI DAN BERSAFAR

Oleh Zulkarnaini Diran

Kepastian berangkat pun sudah ada. Tahunnya jelas, tanggalnya pun demikian, kelompok terbang (kloter) juga begitu. Segala persiapan yang berhubungan dengan materi (perlengkapan penunjang), biaya perjalanan, dan uang belanja pun klir sudah. Kini tinggal menunggu ”kadarullah” untuk keberangkatan pada hari yang ditentukan, 31 Mei 2024, insya-Allah pukul 21.30.

Secara lahir memang demikian adanya. Segalanya terlihat sudah siap untuk berangkat menunaikan panggilan Allah ke Tanah Suci. Akan tetapi, ada sejumlah pertanyaan yang masih bergayut di benak saya. Satu di antaranya adalah “Apakah saya dan istri benar-benar sudah siap untuk berhaji?” Peratanyaan itu perlu jawaban yang konsenptual, faktual, dan komprehensif.

Secara konseptual, kata al-Hajj menurut bahasa berarti menyengaja. Menurut istilah syari’at Islam, berarti menyengaja mengunjungi Ka’bah di Mekah untuk melakukan beberapa rangkaian amal ibadah menurut rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’. Seruan berhaji termaktub di dalam QS Al-Haj ayat 27, “Dan berserulah kepada Manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengenderai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” Perintah itu disampaikan pertama oleh Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam setelah Ka’bah selsai dibangun.

Secara konseptual berhaji identik dengan bersafar. Tentang bersafar itu sendiri disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW, dari Abu Hurairah RA, Nabi bersabda, “Bepergian (safar) itu adalah sebagian dari siksaan yang menghalangi seseorang dari kalian dari makan, minum dan tidurnya. ….” [HR. Bukhari, HN 1677]. Tiga hal mendasar akan menjadi “siksaan” dalam besafari yang identik dengan berhaji. Hal mendasar itu adalah hak-hak istimewa makhluk yang bernama manusia, yaitu makan, minum, dan tidur. Jika hal ini terganggu, tentu akan terjadi siksaan. Itulah agaknya yang dimaksud oleh hadis ini.

Saya dan istri, tentu saja jemaah calon haji lainnya, tetap akan mengajukan pertanyaan fundamental ini, yaitu ”Apakah saya secara pisik dan mental sudah siap untuk menghadapi siksaan dalam hal makan, minum, dan tidur?” Makan yang teratur dengan menu yang disukai selama ini, akan terganggu. Meminum minuman yang disenangi selama ini mungkin tidak akan terpenuhi. Begitu juga halnya tidur di rumah dengan nyaman dan lelap, tidak akan sempurna ketika berhaji atau bersafar. Jika jawaban pertanyaan itu ”sudah”, berarti pula persiapan untuk memenuhi panggilan Allah itu, sebagian sudah terpenuhi.

Ada luapan emosi di dalam diri yang berpengaruh ke dalam batin. Luapan emosi itu adalah rasa syukur dan bahagia yang amat dalam karena berkesempatan memenuhi “seruan – panggilan” Allah. Jutaan manusia dunia yang mendaftar untuk memenuhi panggilan Allah itu, tetapi belum dapat berangkat,  masih berada dalam daftar tunggu, sementara kita diberi kesempatan oleh Allah untuk berangkat tahun ini. Pantaslah diucapkan rasa syukur yang mendalam kepada-Nya.

Pada sisi lain, tentu kita benar-benar mempersiapkan diri secara pisik dan mental untuk menghadapi kegiatan berhaji yang identik dengan bersafar. Artinya, kita mempersiapkan diri untuk menghadapi “siksaan” seperti yang diungkapkan oleh hadis di atas. Tentu hal itu bukanlah pekerjaan yang gampang dan mudah, itu teramat berat. Akan tetapi, seperti diungkapkan oleh Ibnu Atha’illah as-Sakandari di dalam ”At-Tanwir fi Isqa’at at-Tadbir” (2021) terjemahan Zulfahmi Hasyim, L.C., ”Tugas manusia hanya dua yakni berikhtiar dan berdoa, hasilnya diserahkan kepada Allah”.

Jadi, berhaji adalah bersafari. Berhaji, berkunjung ke Ka’bah untuk beribadah memenuhi panggilan Allah dengan memenuhi segala syarat, rukun, dan wajib yang ditetapkan oleh syarak. Oleh karena itu, calon jemaah haji melakukan persiapan-periapan dalam rentangan waktu yang cukup panjang (lebih kurang 12 tahun). Persiapan itu berhungan dengan biaya dan sarana pendukung untuk kelancaran berhaji dan bersafari. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan pisik dan mental untuk menghadapi “iksaan” dalam perjalanan menuju “baitullah”. Pada saat persiapan itu sudah optimal sesuai kemampuan kita, hasilnya diserahkan kepada Allah SWT. Semoga Allah senantiasa melindungi dan membimbing kita dalam perjalanan, amin YRA!

Padang, 28 Mei 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *