KLOTER KETUJUH BELAS

Bagian Keempat: TAQWA, BEKAL UTAMA BERHAJI

Oleh Zulkarnaini Diran

”….Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. …” (QS Al-Baqarah, 2:197). Itulah perintah Allah kepada hamba-Nya yang akan melaksanakan ibadah haji. Bawalah bekal! Itu perintah pertama. Bekal yang dimaksud adalah semua kebutuhan untuk menunjang kelancaran ibadah haji. Hal itu terurai di dalam berbagai tafsir ayat. Bekal sepeti makanan, pakaian, dan kebutuhan lain  berfungsi untuk menunjang proses beribadah. Semua itu perlu, tetapi penggalan berikutnya menyatakan, bahwa taqwa adalah sebaik-baik bekal.

Bekal-bekal penunjang itu adalah bekal khas milik individu. Setiap individu dapat sama dan bisa berbeda bekal yang dibutuhkan. Bekal taqwa, selain milik individu juga ada kaitan dengan orang lain atau jemaah lain. Orang bertaqwa adalah orang yang menaati perintah Allah dan menjauhi laranganya. Sekurang-kurangnya itu yang terpahami secara awam. Di dalam pehaman itu termaktub masalah ketaatan beribadah dan kepatuhan bemuamalah. Di dalamnya terkandung dimensi kesalehan spiritual dan kesalehan sosial. Sementara kedua kesalehan itu terkait dengan akhlak manusia. Intinya, orang bertaqwa adalah orang yang memliki akhlak mulia (akhlakul karimah).

Berhaji identik dengan bersafar. Rasulullah Muhammad SAW, dari Abu Hurairah RA, Nabi bersabda, “Bepergian (safar) itu adalah sebagian dari siksaan yang menghalangi seseorang dari kalian dari makan, minum dan tidurnya. ….” [HR. Bukhari, HN 1677]. Dalam berbagai kajian dan pembahasan pernah terungkap. Perjalanan jauh yang menghadapi kesusuahan atau siksaan akan memperlihatkan sifat dan perilaku asli seseorang. Perilaku itu sendiri adalah aktualisasi dari akhlak yang dimiliki. Jika ingin melihat keaslian akhlak seseorang, lihatlah ketika dia mengalami siksaan dalam bersafari.

Jutaan orang melakukan berjalanan jauh (safar) untuk berhaji. Perjalanan jauh itu mutlak dilakukannya, kecuali orang yang tinggal di sekitar Ka’bah. Orang-orang dari berbagai penjuru melakukan perjalanan dengan berbagai kenderaan. Mereka yang datang berasal dari berbagai latarbelakang ras, sosial, ekonomi, dan budaya. Mereka berkumpul dan berhimpun dalam aktifitas beribadah kepada Allah. Keanekaragaman itu disatukan oleh satu kekuatan, itulah “iman” yang  menjelma dalam wujud taqwa dan teraktualisasi di dalam bentuk akhlak.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mejelaskan, “Barangsiapa yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap berakhlak yang baik, maka ketika tidak bersafar ia akan berakhlak lebih baik lagi. Sehingga dikatakan, jika seseorang dipuji muamalahnya ketika tidak bersafar dan dipuji muamalahnya oleh para teman safarnya, maka janganlah engkau meragukan kebaikannya.” Penjelasan Qudamah, imam yang ahli fiqih dan zuhud ini memberi pencerahan kepada kita tentang cara mengenali orang-orang yang memiliki akhlak. Artinya, jika ingin melihat akhlak asli seseorang, perhatikan Ketika dia sedang melakukan safar atau perjalanan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin mengatakan, ”Dengan safar kita mengetahui hakikat akhlak seseorang. Berapa banyak orang yang belum terkuak jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar/bepergian bersamanya. Ketika dalam safar itulah engkau mengetahui akhlak, perangai, dan wataknya. Safar itu menyingkap sifat asli manusia dan menampakkan akhlak seseorang”. Pernyataan ulama era ’konteporer’ ini, semakin menegaskan kepada kita bahwa keaslian akhlak seseorang dapat terlihat ketika melakukan safar. Atau bersafar akan mengungkap keaslian akhlak seseorang.

Berhaji adalah persafar. Berhaji dari Tanah Air diorganisasikan da satu sistem. Pengorganisasian tiap keberangkatan dimulai dari kelompok terbang atau kloter. Untuk embarkasi Sumatra Barat terdiri dari tujuh belas kloter. Penumpangnya dari  provinsi Sumatra Barat dan Bengkulu. Kloter satu sampai sembilan mendarat di Madinah, kloter sepuluh sampai tujuhbelas mendarat di Jeddah. Kelompok terbang dipimpin oleh seorang yang terseleksi yang disebut ketua kloter. Ketua kloter secara teknis dibantu oleh seorang pembimbing ibadah, seorang dokter, dan seorang paramedis atau perawat. Mereka yang menempati posisi itu adalah orang-orang yang terseleksi dengan kriteria tertentu. Mereka adalah ”para imam” dalam mengantarkan jemaah memenuhi panggilan Allah SWT ke Tanah Suci.

Pengorganisasian di bawahnya adalah rombongan, di bawah rombongan ada regu. Rombongan dipimpin oleh ketua rombongan yang terseleksi secara alami, bukan melalui penyeleksian oleh pemerintah. Ketua rombongan lahir dari, oleh, dan untuk rombongan itu. Di bawah rombongan ada regu dengan seorang ketua regu. Ketua regu juga tersleleksi seperti ketua rombongan. Ketua regu adalah dari, oleh, dan untuk regu. Begitualah pengorganisasian terbentuk, sehingga dengan wadah bersistem seperti itu diharapkan pelaksanaan ibadah di setiap kelompok terbang berjalan lancar.

Satu kelompok terbang jumlahnya cukup banyak yaitu berkisar antara 300 sampai 400 orang lebih kurang. Orang-orang yang ada di dalamnya dapat beragam pula. Daerah asalnya bisa dari berbagai provinsi, berbagai kabupaten, dan berbagai kota. Latarbelakang kehidupannya pun juga beranekaragam. Bidang sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan dapat beranekaragam. Keberanekaragman tulah yang terhimpun dalam satu masyarakat yankni ‘masyarakat kelompok terbang’.

Kebersamaan dalam satu kloter akan berlangsung selama 45 hari.  Mereka yang berejumlah ratusan itu akan beriteraksi sesamanya. Interaksi itu akan membentuk ”nuansa sosial” yang baru. Dapat dibayangkan, betapa beratnya tugas ketua regu, ketua rombongan, ketua kloter, dan petugas teknis (pembimbing ibadah, dokter, dan perawat). Mereka berhadapan, berbaur, dan berinteraaksi dengan orang-orang yang memiliki keberagaman latarbelakang. Sementara orang-orang ini akan berada dalam “siksaan” karena bersafar. Di situ akan dapat disaksikan akhlak-akhlak asli yang dimiliki oleh setiap individu.

Ketika Umar bin Khathab mendapat rekomendasi dari seseorang  tentang ”orang baik”, umar bertanya kepada yang memberi rekomendasi, ”Apakah kamu sudah pernah bersafar bersamanya?” Jika jawabnya sudah, Umar menerimanya. Jika jawabnya belum Umar menyarankan, ”Pergilah bersafar bersamanya, kamu akan mengetahui akhlaknya!” Jadi, bersafar untuk melaksanakan ibadah haji, akan memperlihat sifat, karakter, perilaku, dan akhlak seseorang. Oleh karena itu, proses perjalanan berhaji dan segala aktifitas orang-orang yang beribadah di dalamnya akan menjadi ”lahan subur” untuk memahami manusia dan kemanusiaan dalam berbagai dimensi.

Berhaji identik dengan bersafar. Bersafar adalah “siksaan”. Ketika terjadi siksaan karena terganggu makan, minum, dan tidur sifat asli manusia akan muncul. Perilaku orisinal akan tampil. Watak bawaan dan asli akan menonjol. Bisa jadi hal itu dapat menimbulkan efek negatif dalam kelompok. Oleh karena itu, Allah menegaskan, “… sebaik-baik bekal adalah taqwa.”  Orang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang yang bertaqwa “pastilah” orang yang berakhlak mulia. Orang berakhlak mulia diasumsikan dapat beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi. Insya-Allah.

Padang, 29 Mei 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *