KLOTER KETUJUH BELAS

Bagian Kedua: MENDEBARKAN,  HAMPIR SERATUS JUTA

Oleh Zulkarnaini Diran

Kepastian itu diterima bulan Agustus 2023. Informasi itu selain dari aplikasi informasi keberangkatan jemaah haji, juga dari klarifikasi pertugas di kantor pelayanan haji kota Padang. Kepastian itu benar-benar meyakinkan. Memang, manusia tidak boleh menggucapkan kata ”pasti”. Kata dan makna pasti itu hanya milik Allah. Allah mengingatkan hamba-Nya di dalam QS Al-Kahf ayat 23 dan 24. ”Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, ’Aku pasti melakukan besok pagi,’, kecuali (dengan mengatakan) ’Insya-Allah….” Ketika pegawai Kantor Pelayanan Haji Padang itu mengatakan, ”Bapak pasti berangkat”, saya menyelanya, ”Insya-Allah, ya Bu”. Pegawai yang ramah itu pun tersenyum.

Informasi yang penuh kepastian itu memasuki wilayah “berpikir’. “Bekal keberangkatan”, itulah kata yang menyelisik ke dalam pikiran. Ya, persiapan untuk menunaikan Rukun Islam yang kelima, ’menunaikan ibadah haji’. Persiapan itu, seperti jamaknya cara berpikir orang “ Timur”, yang pertama-tama berhubungan dengan materi dan biaya. Apa saja yang harus dibawa  dan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Pikiran saya dan istri pun dirasuki oleh kurenah berpikir seperti itu.

Sepekan setelah mendapat ”kepastian” berangkat tahun 2024 itu, bertebaranlah berita di berbagai media. Tentu saja yang paling gencar adalah media sosial. Tersiarlah berita, bahwa Kementerian Agama RI mengusulkan kepada DPR biaya haji tahun 2024. Tidak tanggung-tanggung, usulan itu mencapai sertatus juta rupiah setiap jemaah. Media massa dan media sosial ”menggoreng” berita itu sehingga menimbulkan ”kegaduhan” psikologis di tengan-tengah masyarakat. Saya dan istri ikut berdebar mendengar dan membaca berita tentang biaya haji sebanyak itu.

Jika biaya haji tahun 2024 mencapai Rp 100 juta rupiah, kami masing-masing harus menyediakan lagi Rp 75 juta karena setor awal hanya Rp 25 juta. Total yang harus deisediakan untuk ongkos tambahan dua orang Rp 150 juta untuk dua orang. Tentu saja, hal ini bukan hanya sekedar “mendebarkan”, bisa-bisa juga sampai ke tingkat ”mencemaskan” atau mengkahawatirkan. Mengadakan uang Rp 150 juta dalam tempo tiga atau empat bulan, bukanlah pekerjaan gampang. Apalagi bagi orang “pensiun” yang tidak memiliki investasi dalam bentuk materi seperti kami. Bisa jadi mendebarkan itu akan berujung kepada mencemaskan atau mengkhawatirkan.

Tentu tidak hanya saya dan istri yang “berdebar”, calon jemaah lain tentu juga demikian. Bedebar dan cemas universal sifatnya. Hal itu milik semua orang. Semua orang dapat mengalaminya. Selama dia manusia normal, pastilah mendapat ”goncangan” jika ada sesuatu yang mengagetkan. Akhirnya bertia tentang biaya haji tahun 2024 yang mencapai Rp 100 juta perjemaah itu menyebar ke seluruh pelosok dan sampai kepada masyarakat awam yang juga terdaftar sebagai calon jemaah yang mendapat porsi berangkat tahun 2024.

Anak-anak saya juga mendapat kabar itu. Meskipun Keputusan pemerintah belum final dan belum ditetapkan biaya yang sebenarnya, namun mereka juga sudah membaca berita itu. Mungkin mereka tau bahwa papa dan mamanya mulai “berdebar” jika biaya yang harus dikeluarkan sebanyak itu. Mereka mengarifi keadaan dan kondisi saat itu. Salah seorang dari anak kami yang berlima itu bertindak sebagai juru bicara. Si Bungsu saat itu menjadi wakil dari kakak-kakanya. Jubirnya berkata bahwa mereka telah berdiskusi. Biaya naik haji, berapapun tamabahannya, tidak perlu dicemaskan, tidak perlu diragukan. ”Yang penting, Papa dan Mama berangkat menunaikan haji tahun depan”, itu kalimat Si Bungsu melalui telepon genggam.

Saya dan istri belum menyampaikan “keluhan” kepada mereka, belum menginformasikan hal itu. Kabar yang kami sampaikan adalah bahwa insya-Allah kami dapat berangkat berhaji tahun 2024. Hanya itu yang disampaikan, belum menyampaikan perihal biaya haji yang ”melangit”. Akan tetapi  mereka telah mengarifinya. Tentu setelah membaca keadaan atau kondisi saat itu. Dalam kondisi seperti itu, orang tua, mungkin semua orang tua memerlukan satu kata dari anak-anaknya. Kata itu adalah ”peduli”. Apatah lagi kalau kepedulian itu diaktualisasikan dengan arif.

Berita ”mendebarkan” tentang biaya berhaji Rp 100 juta lebih itu serta-merta hilang, lenyap, berganti dengan ”kebahagiaan” dan rasa syukur yang amat dalam. Hal itu terjadi karena satu kata yang luas dan dalam maknanya, yaitu ”peduli”. Anak-anak yang peduli terhadap situasi dan kondisi yang diperdikasi dialami oleh orang tuanya.   

Padang, 27 Mei 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *