Bagian Kedelapan: ARIF “BERBURU PAHALA”
Oleh Zulkarnaini Diran
Roda-roda Garuda Indonesia Air (GIA) 3317 menyentuh landasan Bandar Udara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Itu berarti penerbangan dari Bandar Internasional Minangkabau (BIM) telah berakhir. Penumpang calon jemaah haji Kloter ke-17 Emparkasi Padang sampai di Arab Saudi. Penumpang itu pun dengan rasa khidmat mengucapkan alhamdulillah atas keselamatan selama penerbangan. Penerbangan itu sendiri menghabiskan waktu selama delapan jam. Dengan begitu pula, semua penumpang telah meninggalkan segalanya di Tanah Air untuk memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah ke Tanah Suci.
Jumlah penumpang kloter terakhir embarkasi Padang ini 322 orang. Penumpangnya kompleks, berasal dari enam belas kabupaten – kota di Sumbar dan dua orang dari Bengkulu. Dari penumpang itu terdapat satu pemimpin kloter, satu pembimbing ibadah, satu dokter, satu perawat dan dua petugas haji daerah.
Penumpang Kloter ke-17 Embarkasi Padang ini sampai pukul 05.00 di Makkah. Setelah melalui proses Imigrasi yang sangat lancar dan praktis, jemaah melakukan Mikat dn Bandara Internasional King abdul Aziz, Jeddah. Pakaian ihram sudah dipasang sejak di Asarama Haji Tabing, Padang, Sumbar. Niat berumroh baru dipasang di Bandara Jeddah itu. Dengan memasang niat dari bandara Jeddah, berarti prosesi ibadan sudah dimulai sejak di situ. Sejak niat itu dilafazkan dengan lidah dan diikuti oleh hati, sejak itu berbagai larangan dalam berihram mulai berlaku.
Sejak berniat, sampai dengan pelaksanaan umroh, terdapat rentangan waktu yang sangat panjang. Niatnya dipasang pagi tanggal 1 Juni 2024, pelaksanaan umrohnya baru dapat dimulai pukul 0.30 tanggal 2 Juni 2024. Hitungan harinya hampir dua hari. Hitungan jamnya hampir delapanbelas jam. Ini satu dilema dalam beribadah. Jemaah terlalu lama dalam beriharam. Bisa jadi ada kehkawatiran pelanggaran secara individu terhadap larangan-larangan berihram. Jika itu terjadi, hanya Allah sajalah yang Mahatahu dan Maha Pengampun.
Azan pertama Subuh berkumandang. Saya dan istri baru menyelesaikan putaran sa’i yang keenam. Berarti kami harus menyelsaikan satu putaran lagi, yakni dari Bukit Safa ke Bukit Marwa. Jarak waktu antara azan pertama dengan azan kedua, biasanya 60 menit. Berarti kami akan dapat menyelesaikan prosesi ini pada akhir waktu. Jika satu putaran lagi selesai berarti saya dan istri dapat bertahlul yang ditandai dengan pemotongan rambu. Alahamdulillah, berdesakan dengan jemaah lain, putaran terakhir sa’i dapat diselesaikan. Diiringi dengan pemotongan rambut. Prosesi umroh pun berakhir sudah lebih kurang duapuluh lima menit sebelum azan Subuh yang kedua (waktu Subuh 04.10 WAS).
Niatan awalnya, jika proses umroh selesai lebih awal, salat Subuh dilakukan di pltaran Ka’bah. Niat itu tidak tercapai. Dilemanya adalah antirean panjang di tempat beruduk. Jemaah yang sangat ramai itu, ternyata tidak tertampung oleh tempat beruduk di sebelah timur Ka’bah. Lagi pula untuk mencapai pelataran Ka’bah dalam waktu yang pendek itu tidak mungkin dilakukan. Pintu-pintu arah ke plataran Ka’bah pun telah ditutup oleh petugas. Akkhirnya kami putuskan untuk sala di lingkaraan luar masjid, namun tetap mengikuti imam Masjidilharam.
Usai berzikir dan berdoa, saya menyalakan HP. Ada pesan untuk saya. Isinya adala anggota regu yang terpisah dengan istrinya. Hal itu terjadi Ketika Sa’i. Si Bapak mencoba menghubungi istrinya lewat HP, ternyata tidak mengangkat. Pesan lain menyatakan, ada anggota regu saya yang tidak ketemu adalah suaminya. Si Istri mengabarkan, bahwa mereka terpisah ketika masih tawaf. Dengan berprasangka baik, mereka menyeleaikan tawaf dan sa’i secara terpisah. Akan tetapi, Si Istri agak cemas karena suaminya memang berusia lanjut. Lebih dari saya dua tahun. Hal ini pun tercatat sebagai dilema dalam beriabdah di Tanah Haram ini.
Kejadian-kejadian kecil seperti terpisah dari rombongan, hilang dari grup, tersesat di jalan, dan lain-lain adalah hal yang jamak terjadi di Tanah Suci. Hal itu bukanlah sesuatu yang luarbiasa. Akan tetapi bagi kebanykan jemaah hal itu dapat menjadi dilema dalam beribadah, dan ”memburu” pahala di Tanah Haram.
Ada dua hal yang ada di dalam pikiran dan perasaan saya. Kedua hal itu mungkin juga dialami oleh jemaah lain. Kedua hal itu adalah, di Tanah Haram kita harus mencari ”pahala” sebanyak-banyaknya, semenatara itu kita harus menghemat tenaga untuk Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Minna). Kedua hal itu menjadi pikiran dan perasaan saya setiap saat. ””mengejar” pahala sebanyak-banyaknya dan menghemat tenaga untuk ”puncak haji” di Arafah. Di dalam konteks pertimbangn itu, memang dituntutut kearifan untuk mengurus diri sendiri.
Bayangkan, seperti diungkapkan oleh Hadis Nabi, bahwa salat di Masjidilharam pahalanya 100 ribu kali lebih besar dibandingkan salat di masjid lain, kecuali Nabawi dan Aqsa. Betapa hebatnya janji itu, betapa menggiurkannya untuk salat di Baitullah, rumah ibadah pertama yang didirikan Ibrahim Alaihissalam itu. Sementara jarak antara hotel pemondokan dengan Haram lebih kurang 8 km. Memang ada bus salawat yang diaktifkan selama 24 jam untuk mengangkut jemaah, tetapi menggunakan alat transfortasi itu harus siap berdesakan dan berdiri di bus jika tidak mendapat tempat duduk. Sementara itu pula, jarak terminal dengan Masjidilharam lebih kurang 1.5 km, itu harus ditempuh dengan berjalan kaki. Energi plus diperlukan untuk mencapai masjid dalam rangka mengejar pahala.
Jika sangat ”bernafsu” untuk mendapatkan pahala besar, bisa-bisa lupa dengan kondisi tubuh. Apalagi seusia saya di atas 70 tahun. Jika tidak arif dalam meraih pahala yang dijanjikan, bisa jadi pada puncak haji 9 Zulhijjah, fisik tidak kuat lagi untuk melaksanakannya. Di antara dua hal itulah saya berada, di antara kedua dilelam itulah saya berupaya menjadi orang arif terhadap diri sendiri. Pahala diraih, puncak prosesi haji harus dicapai. Allah juga tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuan. Alhamdulillah, salat di Masjidilharam dapat saya lakukan, Armuzna juga terlaksana dengan lancer. Semu aitu tentu di awali dengan kearifan mengurus dan melaksanakan ibadah. Hal penting adalah Allah senantiasa melindungi hamba-Nya yang selalu berzikir, berdoa, dan berikhtiar. Alahamdulillah!
Makkah, Hotel Romance, 320, Kamar 1324