Bagian Kesepuluh:

GAMBARAN ”WAJAH” KITA  DALAM ROSESI HAJI

(KLOTER KETUJUH BELAS)

Oleh Zulkarnaini Diran

Secara konseptual, kata al-Hajj menurut bahasa berarti menyengaja. Menurut istilah syari’at Islam, berarti menyengaja mengunjungi Ka’bah di Mekah untuk melakukan beberapa rangkaian amal ibadah menurut rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’. Seruan berhaji termaktub di dalam QS Al-Haj ayat 27, “Dan berserulah kepada Manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengenderai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” Perintah itu disampaikan pertama oleh Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam setelah Ka’bah selsai dibangun.

Berhaji identik dengan bersafar. Tentang bersafar itu sendiri disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW, dari Abu Hurairah RA, Nabi bersabda, “Bepergian (safar) itu adalah sebagian dari siksaan yang menghalangi seseorang dari kalian dari makan, minum dan tidurnya. ….” [HR. Bukhari, HN 1677]. Tiga hal mendasar akan menjadi “siksaan” dalam besafari yang identik dengan berhaji. Hal mendasar itu adalah hak-hak istimewa makhluk yang bernama manusia, yaitu makan, minum, dan tidur. Jika hal ini terganggu, tentu akan terjadi siksaan. Itulah agaknya yang dimaksud oleh hadis ini.

Berhaji yang identik dengan bersafar akan memperlihatkan keaslian akhlak dan perilaku seseorang. Pada saat senang atau bergembira, perilaku yang baik akan muncul. Pada saat sulit, susah, perilaku asli akan muncul, akan tampil, dan pemiliknya tanpa sadar atau dengan sadar mengekpresikan dirinya yang sebenarnya. Ini jamak terjadi, bahkan terjadi setiap saat. Lihatlah akhlak dan perilaku seseorang pada saat dia dalam kesulitan, kesusahan, dan keletihan.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mejelaskan, “Barangsiapa yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap berakhlak yang baik, maka ketika tidak bersafar ia akan beraklak lebih baik lagi. Bisa jadi pula pada sat safar, aib-aib seseorang akan nampak….”  Syeikh Muhammad bin Salih Al-’Ustaimin menyatakan, Dengan safar kita mengetahui hakikat akhlak seseorang. Safar menyingkap sikap asli manusia dan menampakkan akhlak seseorang…..”

Dalam suatu riwayat, “Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu jika ada seseorang yang merekomendasikan temannya, beliau bertanya, ‘Apakah engkau pernah melakukan safar bersamanya? Apakah engkau telah bergaul dengannya?’ jika jawabannya iya. maka ‘Umar pun menerimanya. Jika jawabannya belum pernah, maka ‘Umar akan mengatakan, ‘Engkau belum mengetahui hakikat senyatanya tentang orang itu.’

Selama prosesi haji berlangsung, sikap kita yang asli akan terlihat. Ketaatan kepada perintah Allah, kepada autran yang berlaku, dan kepada norma-norma sosial kemasyarakatn yang terpakai selama ini, akan terlihat pada saat kita mengikuti aktifitas berhaji. Kebiasaan-kebiasaan dan perangai baik kita selama ini, tergambar selama di Tanah Suci ini. Begitu pula halnya perialku buruk, peralku yang suka melanggar norma, juga terlihat nyata. Kebiasaan buruk dalam berujar, berucap, berintraksi antar-sesama, mengapung dengan jelas saat ini. Sadar atau tidak kita telah memprlihatkan diri kita yang sebenarnya.

Istigfar setiap saat adalah upaya yang mangkus untuk membendung terungkapnya “perilaku buruk” di Tanah Haram ini. Apatah lagi kita baru saja menyelesaikan semua tahapan pelaksanaan rukun dan dan wajib haji. Setiap kalimat yang terlontar dari mulut dari dari jari-jari kita akan terekam dan tercatat dalam buku ”rapor amal” kita. Kadang-kadang, tanpa disadari kalimat itu meluncur begitu saja, melompat dari ujung jari kita tanpa hambatan. Kalimat-kalimat itu akan terkendali, jika stiap saat bibir kita mengucapkan kalimat zikir dan istigfar. Hanya dengan zikir dan istigfar kepada Allahlah, kita dapat mengotrol perilaku buruk dalam berhaji, dalam besafar, dan dalam keseharian.

Mari kita introspeksi diri kita, apakah di saat-saat sulit dalam bersafar untuk menunaikan prosesi haji bersama orang lain, kita masih menampakkan sifat dan akhlak yang mulia atau tidak? Hanya kitalah yang dapat mengendalikan dengan petolongan Allah SWT. Sementaras perilaku kita tetap terlihat oleh orang lain dan tetap direkam oleh Malikat pencatat. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.

Makkah, Romnace Hotel, 320, Kamar 1324

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *