Oleh Zulkarnaini Diran
Perayaan Idil Fitri 1445 bersama keluarga besar dinyatakan berakhir. Hal itu ditandai dengan bertolaknya Si Sulung dengan keluarga ke Rantau Semarang Jawa Tengah, Sabtu, 20 April 2024. Mereka berturut-turut pasca lebaran meninggalkan rumah. Senin, 15 April 2024 Si Bungsu dan keluarganya berangkat sebelum subuh menuju kota Pakanbaru, Riau. Selasa, 16 April 2024 anak nomor tiga sekeluarga meninggalkan kota Padang menuju Manna, Bengkulu Selatan. Kamis, 17 April 2024 anak nomor dua dan keluarga meninggalkan rumah menuju kota Jambi, Jambi. Empat keluarga anak-anak kembali ke rantau tempat mereka mencari nafkah dan bermukim. Suasana berlebaran bersama anak, cucu, dan menantu pun berakhir sudah untuk tahun ini.
Agenda yang disepakati keluarga saya (anak-anak, menantu, dan cucu) pulang bersama dua tahun sekali. Hal itu dilakukan bertepatan dengan Hari Raya Idilfitri tiap tahun. Waktu libur yang sangat terbatas dimanfaatkan untuk bersama-sama di dua tempat. Separoh waktu dihabiskan di kota Padang, separoh waktu lagi digunakan untuk berlibur di kampung kelahiran, Mahat (Maek), Bukikbarisan, Limapuluh Kota. Kedua tempat itulah yang dijadikan kawasan untuk mengisi liburan dua tahun sekali oleh ”Keluarga Besar Zulkarnaini”.
Padang dipilih untuk berlebaran karena saya, istri, dan anak nomor empat sekeluarga tinggal di ibukota provinsi Sumatra Barat itu. Mahat ditetapkan tempat berlibur, karena saya, istri, dan dua orang anak lahir di pedalalam Limapuluh Kota tersebut. Pilihan berlebaran di dua tempat itu adalah untuk penegasan kepada para cucu perihal tempat tinggal dan tempat lahir kakek dan neneknya. Bagi cucu, yang masih berusia anak-anak dan remaja, berlebaran di kampung sangat bermakna. Suasana di kampung merupakan pengalaman yang sangat mengesankan, menggembirakan, dan menyenangkan bagi mereka. Oleh karena itu, mereka senantiasa menunggu-nunggu jadwal libur ke pelosok Limapuluh Kota yang diagendakan dua tahun sekali itu.
Datang dan pergi, berkumpul dan berpisah, pulang dan kembali adalah bentuk kata yang selalu berpasangan dalam pemakaian. Hal itu dapat mengandung makna yang luas dan dalam jika direnungkan. Sebelum lebaran, atau pada penghujung Ramadan anak, cucu, dan menantu datang dari kotanya masing-masing. Mereka berkumpul di rumah bersama-sama. Hiruk-pikuk dalam cenkrama keluarga sangat terasa. Kelakar mereka kadang-kadang bagikan kembali ke masa anak-anak dan remaja dulu. Padahal mereka sudah menjadi ayah dan bunda. Akan tetapi, itulah makna datang, makna berkumpul, dan makna pulang.
Tawa dan canda mereka bukan hanya mengingatkan kepada masa lalu, tetapi merasakan bahwa mereka ”sangat rukun”. Lima beradik-kakak, ditambah lima menantu, dan sembilan cucu berkumpul di ruang tengah rumah, suasana terasa ramai karena tawa yang berderai. Makan bersama di ruang makan sambil berebut menu paforit. Bahkan di kampung ada saja yang bergagasan untuk ”makan bajamba di atas daun pisang”. Cucu yang mulai remaja, ada yang mengusulkan untuk ”berkemah” di kampung. Beberapa malam, mereka, termasuk kakeknya menginap di bawah tenda. Itulah di antaranya pula makna datang, berkumpul, dan pulang. Makna itu tentu lahir dari susana kehidupan keuarga yang harmoni. Alhamdulillah.
Berjalan kaki di pematang sawah, di pinggir kebun gambir, dan di sela-sela pohon karet adalah kodisi yang dirindukan oleh semua cucu. Pagi-pagi, usai subuh, dan sarapan, ketika embun masih menyelimuti kampung, mereka sudah bersiap-siap untuk berjalan menikmati suasana itu. Mereka memaksa kakek, nenek, dan papanya untuk berjalan. Tentu saja kesempatan yang sekali dua tahun ini tidak mereka sia-siakan, merekea menikmatinya. Suasana pedesaan seperti itu tidak akan pernah mereka temukan, rasakan, dan nikmati di tempat tinggal mereka di kota.
Mandi-mandi di sungai yang airnya masih jernih, menjadi kenikmatan tersendiri bagi mereka. Hampir setiap pulang ke kampung kelahiran, mandi di Batang Dingin, Batang Ponawan, dan Batang Tempayan selalu mereka lakukan. Bukan hanya mereka para cucu yang mandi-mandi di sungai kampung kelahiran itu, tetapi juga papa dan mamanya ikut ”berkecimpung” di air sungai yang bening itu. Begitulah para cucu menikmati masa liburan di kampung kelahiran kakek dan neneknya.
Berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan salat lima waktu adalah kebiasaan tiga cucu laki-laki, empat papanya (anak laki-laki saya), dan satu omnya (mantu laki-laki saya) selalu serentak ke masjid setiap waktu. Hal itu menjadi pesan bermakna bagi saya dan istri. Artinya, yang kami tanam selama ini terlihat buahnya. Hati mereka yang laki-laki terpaut di masjid untuk menunaikan ibadah sahalat wajib lima waktu. Alhamdulillah, hal yang ditanam sejak dini ternyata mulai terlihat buahnya.
Ketika mereka pergi, rumah lengang. Lengang yang dilanda oleh rasa sepi. Sepi dari cengkrama, gelak tawa, teriakan-teriakan dan kelakar mereka. Rumah terasa tidak berpenghuni. Begitulah setiap dua tahun kami rasakan (saya dan istri). Saat mereka datang dan berkumpul, rumah ramai dan bergembira, bahkan ada cahaya kehidupan keluarga harmoni di situ, tetapi ketika mereka kembali ke tempat masing-masing, ya itu dia, lengang dan sepi.
Ketika rumah kehabisan penghuni, saya dan istri sering ”menjemput masa lalu”. Artinya, kami mulai merunut kehidupan awal pernikahan. Saat itu kami berkomitmen. Inti komitmenya berupa pernyataan dalam kata. Mungkin dalam manajemen modern inilah yang disebut visi dan misi. Komitmen kami itu adalah “hidup layak dalam Ridha Allah”. Kami tidak muluk-muluk dan juga tidak kaku. Hidup layak dapat bermakna relatif sesuai situasi dan kondisi.
Ketika anak pertama lahir, kata itu kami tambah. Tambahannya adalah ”mengantarkan anak untuk hidup layak dalam Ridha Allah”. Kini anak-anak sudah besar, bahkan sudah berumahtangga, sudah punya anak. Dalam kenyataan kasat mata, mereka sudah hidup layak. Masing-masing mereka memiliki pekerjaan dan penghasilan yang memadai, sudah memiliki rumah dan kenderaan sendiri. Itupun tentu relatif pula. Akan tetapi, yang jelas secara nyata, mereka sudah hidup layak.
Ketika berkumpul, kami belum berani menanyakan kepada anak-anak. Apakah mereka sudah hidup layak dalam Ridha Allah? Kami hanya melihat kenyataan, mengamati kondisi mereka dari suatu fase ke fase yang lain. Hanya itu yang dapat kami lakukan. Hal yang memuaskan batin saya dan istri adalah, kehidupan keluarga anak-anak diwarnai oleh cahaya Islami. Mereka menanamkan nilai-nilai Islami sejak dini kepada anak-anaknya. Hal itu terlihat dalam ”mewajibkan” anak-anak salat tepat waktu dan membaca Al-Quran secara rutin. Anak laki-laki mereka bimbing dan biasakan salat berjamaah di masjid.
Jika cahaya Islami dalam rumah tangga itu dijadikan di antara indikator ”hidup layak dalam ridha Allah”, berarti visi dan misi saya bersama istri telah tercapai. Impian kami berumahtangga telah terwujud. Allah telah melimpahkan rahmat-Nya kepada keluarga kami untuk merealisasikan visi dan misi keluarga yang kami cetuskan 45 tahun yang silam itu. Alhamdulillah!
Usai merunut masa lalu, kini saya dan istri kembali ke masa kini. Masa pasca lebaran Idilfitri 1445 H. Ketika kembali ke masa dan saat kekinian, memang yang terasa adalah lengang dan sepi. Syukurlah teknologi komunikasi telah membantu kami untuk ”membunuh” rasa lengang dan sepi. Hingga hampir tiap hari dan tiap pekan berkomunkasi dengan anak, cucu, dan menantu di perantauan lewat komunikasi canggih itu. Alhamdulillah!
Padang, 25 April dan 2 Mei 2024