(Bagian Kedua Belas)
KLOTER KETUJUH BELAS
Oleh Zulkarnaini Diran
Ibadah, apapun bentuknya, selalu ada godaan. Ibadah salat banyak godaan, ibadah puasa, zakat, juga demikian. Godaan itu juga ”menyerang” calon jemaahn haji. Saya termasuk yang mendapat ”serbuan” godaan itu. Serbuannya datang dari berbagai sisi, tetapi jika dianalisis besaranya datang dari dua sisi yakni sisi ekternal dan sisi internal. Serangan dari kedua sisi itu juga menimpa saya sebagai jemaan haji Kloter 17, Embarkasi Padang.
Regulasi dan kebijakan penyelenggara haji adalah salah satu godaan ekternal yang menyerang saya setelah sampai di Makkah 1 Juni 2024. Ada dua kebijakan yang diambil oleh penyelenggara (Kementerian Agama RI). Kedua kebijakan itu adalah ”murur” dan ”tanazul”. Tujuan kebijakan ini adalah untuk kemudahan dan keselamatan jemaah dengan kriteria tertentu. Artinya, kebijakan itu ditetapkan adalah untuk kepentingan jemaah, bukan untuk kepentingan pembuat kebijakan itu sendiri. Kebijakan ini telah dosisialisasikan sebelum keberangkatan ke Arab Saudi, namun eksekusinya akan dilaksanakan saat jemaah mengikuti prosesi di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
”Murur” adalah kebijakan meringankan jemaah di Muzdalifah. Jemaah tidak diharuskan bermalam di Muzdalifah. Dari Arafah menuju Mina, jemaah cukup berhenti sesaat di Muzdalifah. Jemaah tidak harus turun dari mobil dan tidak harus memungut kerikil untuk melontar di padang terbuka itu. Kerikil untuk melontar jamarat disediakan dari Arafah oleh petugas haji. Dengan kebijakan itu, jemaah yang mengikuti program ini akan sampai di Minna lebih awal dan energinya dapat dihemat untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya.
”Tanazul” adalah kebijakan yang membolehkan jemaah pulang ke hotel lebih cepat. Artinya, sampai di Minna, jemaah tidak harus menginap di tenda Mina. Mereka boleh pulang ke hotel dengan catatan saat melontar Kembali lagi ke Mina sebelum matahari terbenam. Bentuk kebijakan ini meringankan jemaah dan tidak bersempit-sempit di tenda Mina. Hal itu pun termasuk menyelamatkan jemaah lain, karena tempat yang seharusnya mereka gunakan, dapat dimanfaatkan oleh jemaah yang bermalam di Mina.
Murur dan tanazul tidak mengurangi makna berhaji bagi jemaah. Rukun dan wajib haji tetap terpenuhi. Hal itu selain merupakan kebijakan penyelenggara, juga mendapat rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Adanya rekomendasi itu dan tidak mengunrangi rukun dan wajib hanji, maka penyenggara menetapkan kebijakan. Intinya untuk kesehatan dan keselamatan jemaah yang berada dalam ruang lingkup kriteria tertentu.
Ada beberapa kriteria jemaah yang dapat mengikuti kebijakan itu. Di antaranya jemaah berusia lanjut, jemaah yang mengidap penyakit berbahaya, dan jemaah yang memerlukan alat bantu seperti kursi roda. Jemaah-jemaah seperti itulah yang diprioritaskan untuk mengikuti kebijakan yang meringankan ini. Saya dapat masuk dan berada di dalam ruang lingkup kriteria itu yaitu masalah usia lanjut. Meskipun tidak termasuk yang tertua, tetapi saya dan istri terkategori ke dalam keriteria itu. Saya 73 tahun dan istri 69 tahun berjalan.
Godaan internal datang dari diri sendiri. Saya mencoba mengamati dan menganalisis kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara haji 2024 ini. Di situ saya mendapat fasilitas “kemudahan” beribadah. Roh godaan itu ada di sini, ada pada kata ”kemudahan”. Kalau bisa beribadah dengan mudah, mengapa harus ditempuh yang sulit. Apatah lagi ibadah haji yang mengandalkan kemampuan, kebugaran, ketegaran, dan kekutan pisik. Kemudahan itu seyogyanya dapat saya nikmati, saya manfaatkan. Tidak ada halangan apapun untuk itu. Dari hukum syariiah kemudahan itu sah. Dari hukum lahiriah itu boleh. Akan tetapi, bagi saya inilah yang disebut ”godaan” internal yakni godaan untuk “bermudah-mudah” dalam beribadah.
Saya hampir saja terjebak oleh godaan itu. Ketika petugas Kloter 17 Embarkasi Padang menyebarkan format isian untuk skema murur, saya langsung mengisinya setelah mendapat persetujuan istri. Format itu saya isi lengkap dan saya kirim melalui aplikasi yang dibuat oleh petugas kloter. Sebelum Subuh pada hari berikutnya, usai salat tahjud di Masjidilharam, hati saya berkata dan bertanya, ”Mengapa kamu memilih yang mudah dalam beribadah?” Pertanyaan itu membuat saya risau sampai siang. Bukankah beribadah tu suatu ”proses perjuangan” untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sekaligus melaksanakan perintah-perintah-Nya? Kenapa kita tergoda oleh kemudahan-kemudahan?
Syukurlah, format aplikasi yang dibuat oleh petugas kloter tidak berfungsi atau gagal. Semua isian yang dibuat, termasuk saya ternyata tidak terakomodasi dalam aplikasi. Akhirnya petugas kloter kembali mengumpulkan data jemaah yang ikut sekma murur dan tanazul secara manual. Saya dan istri menetapkan tidak akan memilih kemudahan itu untuk beribadah. Jika program itu saya ikuti, tentu tidak akan terasa nuansa ”bermalam di Muzdalifah”, bersempit-sempit di Mina. Tentu pula tidak akan dapat menikmati semua kesulitan dalam menyelesaikan fase-fase prosesi berhaji secara utuh. Dengan gagalnya aplikasi pendataan format untuk jemaah yang diberi kemudahaan itu, saya dan istripun terbebas dari ”godaan” dalam menunaikan ibadah haji di Armuzna. Alhamdulillah!
Makah, Masjidilharam, Lobi Hotel Romnce 320, 29 Juni 2024